= Beragama Kok Taklid Buta? =
Sekeras apapun seseorang menolak taklid, saat Ramadan (dan tentu pada hari-hari biasa), mau tak mau ia harus bertaklid, BUTA. Terutama saat sahur dan berbuka.
Ia akan hentikan makan sahurnya saat mendengar pertanda imsak (atau azan subuh, bagi yang berani main di tepi 'jurang'), dan ia akan berbuka saat mendengar azan magrib. Padahal ia tak tahu apakah muazin itu melihat matahari langsung atau tidak, apakah yang menghitung waktu salat itu memang ahli hisab atau tidak. Pokoknya manut saja. Buta.
Pertanyaannya, sahkah puasa orang yang taklid buta seperti ini?
Kalau ditanya ke saya, ya sah-sah saja. Selama pedoman yang ia ikuti telah teruji, baik itu muazin di masjid, sirine radio, alarm smartphone, durasi kebiasaan bacaan Quran dan zikir, bahkan ayam yang sudah dilatih pun bisa.
Nah, pertanyaan selanjutnya, yang melarang-larang taklid itu, apakah sudah berijtihad? Apakah sebelum subuh mereka lihat ufuk timur dulu sehingga tampak garis fajar atau tidak? Apa sebelum berbuka, mereka cek dulu horizon barat agar tahu bahwa matahari memang benar-benar tenggelam, atau tidak?
Nah repot kan? Jika dikatakan bahwa taklid tidak boleh, otomatis puasa hampir seluruh umat Islam dunia akan dianggap tidak sah. Jika dikatakan taklid boleh, berarti harus menelan pil pahit dan menarik kembali anggapan lama yang sudah tertanam kuat.
Sebenarnya, hampir seluruh ibadah kita juga dibangun atas landasan taklid. Wudu, salat, puasa, bahkan anak-anak berkhitan, semuanya taklid. Tapi taklid ke siapa? Ya tentu kepada sumber yang teruji. Makanya kita (hanya) mengenal mazhab yang empat, karena sudah teruji lebih dari satu milenial.
Okelah, awam tak paham mazhab, mereka hanya mengenal mufti (pemberi fatwa). Namun untuk menjadi mufti, tidak mungkin tidak melewati satu dari empat jalur mazhab muktabar tadi. Alumninya bisa taklid mutlak, bisa pula #taklid manhaji.
Jika menentukan masuknya waktu salat saja boleh bertaklid, apatah lagi cabang-cabang ibadah lain yang hanya bisa disingkap oleh ahlinya ( #mujtahid ). Padahal kita sama-sama bisa melihat matahari lho. Jadi tak usah arogan mengaku muqallid, biasa saja. Siapa kita dibanding Imam Baihaqi dan Imam Nawawi, sehingga malu betul mengaku muqallid?
Ini bukan masalah kasta, tapi tentang profesionalitas. Setiap bidang ada ahlinya, dan tugas kita untuk bercermin, apakah saya ahli, ataukah saya harus bertanya kepada ahli?
Bagaimana orang sakit bisa sehat jika ia tak mengaku sakit? Bagaimana orang bodoh bisa pintar jika ia tak mengaku bodoh?
Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik..
Sumber FB Ustadz : Fakhry Emil Habib
4 Mei 2021