BAHASA AGAMA DAN BAHASA POLITIK
Oleh Ustadz : Abdul Wahab AhmadAkhir-akhir ini media di Jawa Timur geger sebab "fatwa" yang mewajibkan untuk memilih pasangan calon tertentu. Jauh sebelumnya, beberapa kyai besar juga mengeluarkan maklumat yang mewajibkan para santrinya memilih calon lainnya. Sebenarnya fenomena semacam ini bukan hal baru sebab dari dulu memang sering terjadi bahasa agama dipakai sebagai legitimasi atas aspirasi politik tertentu. Saya sebenarnya malas sekali menulis tentang topik ini karena seobjektif apapun tetap saja bisa digoreng di atas wajan politik. Tapi untuk kali ini ingin sedikit saja saya singgung sebagai wacana yang semoga saja bisa menurunkan ketegangan. Sebelumnya, perlu saya tegaskan kalau saya bukan pendukung siapapun.
Kita, kaum muslimin, perlu ingat sejarah 14 abad yang lalu tatkala Rasulullah meninggal tanpa menentukan satu pun penggantinya. Beliau hanya menjelaskan bagaimana sikap muslim yang baik dan bagaimana yang buruk, bagaimana pemimpin muslim yang baik dan bagaimana pemimpin yang buruk, dan seterusnya yang merupakan kriteria global. Kriteria global inilah yang merupakan ajaran Syari'at yang sebenarnya yang kita yakini sebagai pasti benar dan tak boleh digugat. Jangkauan teks agama HANYA sampai ke sini saja. Siapa yang berbicara masih dalam koridor normatif ini, maka dia boleh dibilang bicara atas nama agama.
Tetapi, siapakah yang sosok yang sesuai kriteria agama di level normatif itu? Ini sudah bukan bagian dari Syariat itu sendiri, sama sekali bukan. Ini adalah bagian dari ijtihad kaum muslimin sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Dan, sebagaimana hasil ijtihad lainnya, hasil penentuan sosok ini adalah ranah salah dan benar. Dalam prakteknya, tak ada yang sepenuhnya benar dan tak ada yang sepenuhnya salah.
Siapa yang berbicara tentang nama sosok ini, maka ucapannya sudah bukan lagi atas nama agama tetapi atas nama ijtihad pribadinya yang menggunakan dalil-dalil agama sebagai parameternya. Dalam ranah ini, kesimpulan ijtihadnya BOLEH tidak disetujui oleh pihak lain yang juga menempuh jalan ijtihad yang sama. Siapa yang benar di sisi Allah, maka akan mendapat dua pahala dan siapa yang salah, maka akan dapat satu pahala. Tak ada yang dapat dosa. Ini poin yang tak boleh dilupakan.
Jadi, harus dibedakan mana ranah agama dan mana ranah politik agama. Ranah agama itu sakral dan tak boleh digugat sedangkan ranah politik agama itu relatif. Penentuan kriteria pemimpin yang baik sesuai ajaran Rasulullah adalah ranah agama, tetapi penentuan siapa sosoknya yang demikian adalah ranah politik agama. Penyebutan "politik agama" di sini hanya sebagai pembeda bagi gerakan politik praktis yang menggunakan parameter dalil agama dan yang tidak. Dalam prakteknya, sebenarnya politik ya itu-itu saja tak perlu dilabeli sebagai agama atau non-agama karena sejatinya politik praktis memang di luar ranah teks agama itu sendiri.
Pembedaan ini perlu dan merupakan salah satu ciri khas Ahlussunnah Wal Jama'ah. Dalam sejarahnya, hanya golongan di luar Ahlussunnah saja yang menjadikan ajang ijtihad dalam ranah politik praktis sebagai bagian dari ajaran agama yang sakral dan tak boleh digugat. Syi'ah dan Khawarij adalah produk klasik yang dihasilkan akibat ketidakmampuan memilah antara ranah agama dan ranah ijtihad itu sehingga keduanya bersikap berlebihan dalam politik praktis dan tak segan menyesatkan bahkan mengafirkan kelompok yang berbeda ijtihad politiknya. Kita, umat islam, sudah cukup dewasa untuk bisa meninggalkan sikap berlebihan semacam ini.
Sampai di sini kita sudah bisa memotret fatwa, maklumat atau himbauan yang menyuruh memilih paslon tententu secara spesifik tersebut. Meskipun itu semua menggunakan istilah agama seperti "fatwa", "fardlu", "barakah", dan sebagainya, namun semuanya adalah bahasa-bahasa politik dan sama sekali BUKAN bahasa agama lagi sebab sudah keluar dari ranah agama yang sakral dan tak boleh digugat itu.
Dalam diskursus fikih, sebuah putusan yang dikeluarkan oleh seorang yang ahli dalam bidang agama dengan menggunakan parameter dalil-dalil agama yang terperinci yang telah didialogkan dengan konteks sosial tertentu disebut sebagai fatwa. Jadi, ada tiga unsur bagi sebuah fatwa: Pertama, ahli yang punya kapabilitas untuk berfatwa (seorang mufti). Kedua, dalil-dalil agama yang terperinci (fiqh). Ketiga: Realitas di mana dalil-dalil agama itu akan diterapkan secara tepat menurut ijtihad Sang Mufti. Bila ada yang berbicara bahwa khamar adalah haram, maka itu bukan fatwa tetapi dalil agama itu sendiri. Akan tetapi bila ada yang berbicara bahwa minuman dengan merek ABC adalah haram dikonsumsi sebab masuk kategori khamar, maka itulah fatwa.
Fatwa yang dikeluarkan oleh seorah ahli (mufti) itu sifatnya mengikat bagi personal yang mengikatkan diri padanya (mustafti). Akan tetapi fatwa itu seringkali tidaklah tunggal sebab ijtihad para Mufti seringkali berbeda. Seorang muslim yang awam (yang tidak punya kapabilitas keilmuan agama yang memadai) diperbolehkan untuk memilih fatwa manapun, selama itu dikeluarkan oleh orang yang punya kapabilitas berfatwa, namun dia wajib mengikatkan dirinya pada salah satu fatwa yang ada.
Apabila kemudian ada fatwa yang berbicara tentang ranah politik praktis, maka sikap kita seharusnya sama seperti tatkala mendengar fatwa tentang najis, tentang makanan halal-haram dan tentang hal-hal lain. Tak ada yang spesial dari topik politik dibanding topik lainnya. Bila ternyata ada fatwa yang berbeda, maka itulah hasil ijtihad dari mufti yang bersangkutan. Silakan ikuti ijtihad mufti manapun yang dianggap paling mendekati kebenaran tanpa menggoreng dan menjelek-jelekkan mufti lainnya. Dalam poin ini kita harus sadar bahwa penggorengan sebuah fatwa politik adalah bagian dari bahasa politik itu sendiri untuk memenangkan pilihan politiknya masing-masing.
Namun bagaimana tatkala fatwa itu sendiri yang berisi tentang ujaran kebencian dan hal-hal yang berlebihan (ghuluw), misalnya vonis munafiq, sesat atau bahkan kafir apabila tidak memilih partai atau calon tertentu? Di sinilah, kita kaum muslimin perlu jeli memilah mana seorang mufti yang betul-betul berbicara berdasarkan agama dan mana yang bertingkah seolah mufti padahal tak punya kapabilitas agama yang memadai untuk berfatwa, meskipun semuanya bersurban, memiliki lembaga pesantren dan merupakan keturunan ulama. Surban itu tentang pakaian, lembaga pesantren itu tentang manajemen sekolah dan keturunan ulama itu hanya tentang jalur darah. Ketiganya tak menjamin adanya kapabilitas untuk berfatwa. Bila kebetulan Anda melihat yang demikian, tak perlu berisik dan tak perlu menggoreng, abaikan saja sambil menikmati secangkir kopi panas.
Semoga bermanfaat.
Sumber FB Ustadz : Abdul Wahab Ahmad
20 Juni 2018 pukul 07.24 ·