APA YANG DIMAKSUD SYAHWAT
Sering kita mendengar keterangan, misal yang membatalkan puasa adalah “melihat dengan syahwat”. Atau keterangan tentang dua syarat yang ditentukan ulama hingga melihat bayangan wanita dikatakan boleh, yaitu “tidak khawatir timbul fitnah dan syahwat”.
Misalnya keterangan dalam Tuhfat al-Muhtaj:
وَمَحَلُّ ذَلِكَ كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ حَيْثُ لَمْ يَخْشَ فِتْنَةً وَلاَ شَهْوَةً
“Kondisi tersebut, sebagaimana sudah jelas, sekira ia tidak mengkhawatirkan timbulnya fitnah atau syahwat.” (Tuhfat al-Muhtaj, jilid 7, hal 192)
Nah, sekarang apakah pengertian syahwat itu?
Para ulama memberikan penjelasan, standar, dan ukuran syahwat. Sebagaimana karakter fikih pada umumnya, ada pendapat yang dirasa berat, ada yang dirasa ringan. Fikih itu Galak Gampil, ada pendapat yang “galak”, ada pendapat yang “gampil”.
(1) Penjelasan al-Qurthuby:
الشَّهَوَاتُ عِبَارَةٌ عَمَّا يُوَافِقُ الْإِنْسَانَ وَيَشْتَهِيهِ وَيُلَائِمُهُ وَلَا يَتَّقِيهِ
“Syahwat adalah sesuatu yang disukai, diinginkan, dianggap cocok, dan tidak dapat diantisipasi oleh seseorang.” (Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthuby, Jilid 11, hal. 125)
(2) Standar atau ukuran syahwat menurut Ibnu Abidin:
)وَحَدُّهَا فِيهِمَا) أَيْ حَدُّ الشَّهْوَةِ فِي الْمَسِّ وَالنَّظَرِ تَحَرُّكُ الآلَةِ (قَوْلُهُ: أَوْ زِيَادَتُهُ) أَيْ زِيَادَةُ التَّحَرُّكِ إنْ كَانَ مَوْجُودًا قَبْلَهُمَا (قَوْلُهُ: بِهِ يُفْتَى)
“Standar dalam menilai syahwat sebab sentuhan atau pandangan adalah bergerak/bereaksinya alat kelamin, atau “bertambah bergerak” jika sejak awal sudah ada reaksi. Pendapat ini difatwakan (oleh ulama Madzhab Hanafi, pen).” (Ibnu Abidin, Hasyiyah Ibn ‘Abidin, Jilid 3, hal. 380)
(3) Penjelasan al-Baijuri:
وَمِثْلُ الشَّهْوَةِ خَوْفُ الفِتْنَةِ فَلَوْ انْتَفَت الشَّهْوَةُ وَخِيْفَت الفِتْنَةُ حَرُمَ النَّظَرُ أَيْضًا وَلَيْسَ المُرَادُ بِخَوْفِ الفِتْنَةِ غَلَبَةُ الظَّنِّ بِوُقُوْعِهَا بَلْ يَكْفِي أَنْ لاَ يَكُوْنُ ذَلِكَ نَادِراّ وَإِنْ كاَنَ بِغَيْرِ شَهْوَةٍ وَبِلاَ خَوْفِ فِتْنَةٍ.
“Termasuk syahwat, kekhawatiran terjadinya fitnah. Jika syahwat tidak dirasakan, namun ditakutkan terjadi fitnah, maka haram pula melihat objek tersebut. Yang dimaksud dengan ‘takut terjadi fitnah’ bukan sangkaan yang dominan bahwa fitnah akan terjadi. Namun anggapan kecil yang mungkin jarang terjadipun, sudah masuk konteks ‘takut terjadi fitnah’, meski tanpa syahwat atau tanpa kekhawatiran timbulnya fitnah.” (Al-Bajuri, Hasyiyah Bajuri, jilid 3, hal 96)
Berdasarkan beberapa pengertian dan ukuran syahwat tersebut kita dapat mengambil beberapa kesimpulan berikut ini. Pengertian syahwat versi Syaikh al-Qurthubi sulit, karena kecenderungan hati pada sesuatu sudah dianggap syahwat dan ini sulit dikendalikan oleh seorang manusia.
Dosen kami di Universitas al-Ahgaff Dr Musthofa bin Syihab pernah memberikan contoh, saat kau melihat berita dan pembaca beritanya ada yang lelaki dan ada yang perempuan, lalu kamu lebih condong untuk melihat pembaca berita yang perempuan, itu sudah dinamakan syahwat.
Selanjutnya, pendapat Syaikh Ibnu Abidin rupanya “lebih gampang”, karena seseorang dikatakan syahwat bila alatnya sudah bereaksi. Ini berarti “dosis keinginannya” sudah cukup tinggi, tidak sekedar kecenderungan hati. Sementara pendapat Syaikh al-Bajuri juga terasa ketat dalam memberikan standar fitnah dan syahwat, karena dengan adanya dugaan terjadi fitnah dan syahwat – meski sedikit, sudah termasuk fitnah dan syahwat.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Sumber FB Ustadz : Faris Khoirul Anam
6 Mei 2021