Jangan Main Comot Ayat
Memangnya tidak boleh, ya? Bukankah Al-Quran itu pedoman hidup, manhajul hayah dan sepanjang hidup kita harus selalu di bawah bayang-bayang Al-Quran?
Bukan tidak boleh sih, tapi coba perhatikan judulnya : Jangan main comot ayat. Pointnya adalah kata 'main comot', bukan menerapkan secara tepat.
Main comot ayat itu kira-kira mirip kasusnya dengan kita beli obat warung. Kita beli begitu saja tanpa periksa dulu ke dokter.
Sifatnya untung-untungan. Bisa cocok tapi bisa juga tidak cocok. Namanya juga obat warung. Tentu asal comot saja. Bisa saja kita sembuh minum obat itu, karena kebetulan, tapi bisa juga malah tidak sembuh-sembuh.
Dan kalau sakit berlanjut, biasanya ada himbauan : hubungi dokter.
Untuk hukum syariah, tentu tidak boleh coba-coba macam beli obat warung. Harus diserahkan kepada pakarnya. Setidaknya pakar pada dua bidang, yaitu pakar di bidang Al-Quran sekaligus pakar di bidang hukum syariah.
Ayat-ayat yang mengandung hukum-hukum syariah, kita serahkan kepada pakarnya, yaitu para mufassir yang punya kepakaran spesial di bidang hukum syariah.
Ibarat level dokter, bukan dokter umum tapi dokter spesialis. Urusan bedah perut ibu hamil tentu tidak boleh ditangani oleh dokter umum. Bahkan meskipun dia dokter spesialis, belum tentu dibenarkan, kalau beda spesialisasinya.
Dokter jantung, dokter paru, dokter kanker, dokter syaraf, dokter ortopedi, dokter kulit bahkan dokter penyakit kelamin, meski levelnya dokter spesialis, tetap tidak boleh membedah perut ibu hamil.
Memang diperlukan keterlibatan dokter anastesi, untuk membius si ibu biar nggak kesakitan. Juga butuh dokter anak untuk menangani bayi yang dibedah.
Tapi keduanya cuma dokter pendamping. Tetap yang didepan adalah dokter kandungan. Hanya dokter kandungan yang boleh melakukannya.
Ayat-ayat hukum boleh saja dibantu dijelaskan oleh mufassir secara umum. Tapi detailnya tetap di tangan para fuqaha. Fuqaha itu levelnya di atas mufassir di bidang ilmu hukum syariah.
Sumber FB Ustadz : Ahmad Sarwat
24 April 2021
Beberapa komentar :
Agus Badrin :
Ada benar juga ya pak kyai kalau zaman dulu al qur'an dilarang diterjemahkan
Ahmad Sarwat :
Agus Badrin karena ada pertimbangan maslahat dan madharatnya.
Dan sekarang ini kita mulai banyak lihat contoh madharatnya: yaitu munculnya orang yang ngotot mencomot ayat untuk ditempelkan sebagai landasan hukum suatu masalah, padahal dia cuma baca terjemahan singkat.
Dan ternyata keliru total. Malu-maluin aja sih
Muhammad Syafii Masykur :
Akibat seruan kembali ke Qur'an dan hadis diserukan pada khayalak umum... sehingga orang awam pun mau kembali ke Qur'an sesuai dengan kemauannya dan kemampuannya yang sebenarnya belum cukup.
Sekedar analisa
Ahmad Sarwat :
Muhammad Syafii Masykur Titik masalahnya adalah ketika menyerukan kembali kepada Al-Quran, tapi tanpa merujuk kepada ilmu tafsir.
Rupanya yang menyerukan pun belum pernah belajar ilmu tafsir. Bagaimana orang yang diajak bisa merujuk ke ilmu tafsir?
Mirip iklan umrah, orang diajak umroh oleh pembimbing yang seumur hidup belum pernah ke tanah suci.
Harusnya kalau sudah tahu kayak gitu, jamaahnya juga jangan diam saja. Coba kabari orang lain untuk memblack-list pelakunya.
Shalihin Abu Kansa :
Muhammad Syafii Masykur betul itu, malah bisa2 kaprah dlm menyimpulkan hukum krn modal quran terjemahan
Muhammad Syafii Masykur :
Ahmad Sarwat betul sekali. Memahami Al Qur'an lewat terjemah, pembodohan masal...tidak tahu lughah, dzauq, balaghah, asbabun Nuzul, tafasirul mufassirin...langsung ambil kesimpulan
Penjelasan seperti ini sangat bermanfaat bagi saya yang awam. Terimakasih Ustadz Ahmad Sarwat
Ahmad Sholahuddin Sudingmamisu :
Leres Ustadz, apalagi ayat yg seharusnya buat kafir ditujukan buat muslim
Amry Muhammad :
Teringat dulu ada seorang ustad menyimpulkan hukum paling kuat suatu masalah menukil dari kitab syarah hadits, ternyata setelah diteliti dlm kitab2 fiqh syafi'iyah yg mu'tabar malah berbeda dgn yg ada dlm kitab syarh hadits tadi.
Mujeeb Al-Amien :
Ayat favorit buat di comot bbtpa waktu lalu jd tren adlh "Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia bagiqn dari kaum itu"
Muhammad Nuh :
Penjelasan seperti ini sangat bermanfaat bagi saya yang awam. Terimakasih Ustadz Ahmad Sarwat