Rukhsah Tidak Disangkutkan dengan Kemaksiatan
NGAJI KAIDAH FIKIH
الرخص لا تناط بالمعاصي
"Rukhsah tidak disangkutkan dengan kemaksiatan."
Rukhsah secara sederhana dapat diartikan sebagai keringanan hukum yang diberikan dalam syariat akibat adanya kesukaran tertentu. Secara istilah rukhsah diartikan sebagai perpindahan hukum (maksud; muta'allaqnya) dari sukar menjadi mudah disebabkan alasan/kesulitan tertentu (al-'uzr) serta masih tetapnya sebab hukum asal.
• Tidak termasuk rukhsah hukum yang tidak mengalami perubahan seperti kewajiban shalat 5 waktu.
• Tidak termasuk rukhsah hukum yang berubah dari mudah menjadi sukar. Seperti perubahan hukum kebolehan berburu menjadi haram berburu setelah melakukan ihram.
• Tidak termasuk rukhsah hukum yang berubah dari sukar menjadi mudah bukan karena 'uzr (kesulitan), seperti perubahan hukum dari wajibnya berwudhu menjadi tidak wajib untuk shalat kedua jika kesucian belum batal.
• Tidak termasuk rukhsah hukum yang berubah dari sukar menjadi mudah karena dasar 'uzr, namun saat perubahan terjadi sebab hukum asal tidak ada lagi. Seperti kewajiban bertahan dalam saf peperangan saat kekuatan kaum Muslimin dihadapkan pada kekuatan musuh 10 kali lipat (1:10), kemudian berubah dan diringankan menjadi (1:2). Jika musuh berkekuatan 3 kali misalnya, sudah dibolehkan untuk tidak bertahan dalam saf peperangan. Saat terjadinya perubahan, sebab hukum asal yaitu sedikitnya jumlah kaum Muslimin tidak ada lagi, karena saat hukum diringankan jumlah kaum Muslimin telah banyak. Alasan dibolehkannya tidak bertahan saat berhadapan dengan kekuatan musuh lebih dua kali lipat adalah rasa berat atau masyaqqah untuk bertahan saat Muslimin telah banyak. Hal ini perumpamaannya seperti anak satunya dalam keluarga tidak berat baginya sering disuruh bantu orang tua. Tapi perbuatan yang sering dilakukannya sendirian akan terasa berat saat kakak adiknya banyak, tetapi kepadanya dibebankan untuk bekerja sendirian.
Contoh rukhsah seperti bolehnya memakan bangkai saat mudharat (terdesak) untuk sekedar menyelamatkan jiwa.
Contoh ini memenuhi 4 kriteria rukhsah sebagaimana yang terdapat pada definisi di atas. yaitu ;
• Adanya perubahan hukum,
• berubah dari sukar menjadi mudah, yaitu dari haram kepada boleh (bahkan wajib yang sesuai dengan kemaslahatan keselamatan jiwa)
• Adanya 'uzr yaitu kekhawatiran akan kebinasaan jiwa jika tidak mengkonsumsinya,
• Masih tetapnya sebab pada hukum asal atau hukum kenapa bangkai diharamkan yaitu kondisinya yang busuk/buruk.
Ada banyak rukhsah dalam syariat seperti kebolehan shalat jamak dan qashar atau berbuka puasa bagi musafir (orang yang menempuh perjalanan) dengan ketentuannya masing-masing, bolehnya menyapu sepatu dengan syarat tertentu, dan lain-lain.
Namun suatu hal yang perlu digarisbawahi bahwa segala bentuk keringanan hukum yang diberikan dalam syariat tidak dikaitkan pada suatu perbuatan kemaksiatan.
الرخص لا تناط بالمعاصي
Apa maksudnya?
Maksudnya adalah saat adanya suatu rukhsah yang digantungkan pada hal tertentu, maka hal yang menjadi sebab adanya rukhsah akan diperhatikan dengan teliti. Jika penyebab rukhsah itu sendiri merupakan kemaksiatan, maka rukhsah tidak diberikan. Berbeda halnya bila kemaksiatan bukan pada penyebab rukhsah, namun hanya bersamaan saja, maka dalam hal ini rukhsah masih diberikan.
Misalnya kebolehan menyapu sepatu yang disangkutkan hukumnya pada lubsu (pemakaian sepatu). Jika terjadinya maksiat dengan sebab memakai sepatu, maka rukhsah tidak diberikan. Maka bagi orang yang sedang berihram, baginya tidak ada rukhsah menyapu sepatu karena maksiatnya terletak pada "memakai" sepatu. Berbeda halnya orang yang memakai sepatu curian, letak maksiatnya bukan pada "memakainya", tetapi pada "menguasai harta orang lain tanpa izin". Jadi meskipun sepatu yang dicuri itu tidak dipakai hukumnya tetap haram karena maksiat tidaklah secara khusus pada memakainya. Jadi tolong dibedakan antara maksiat bil lubsi dengan maksiat 'indal lubsi.
Demikian juga dengan rukhsah jamak dan qashar yang disangkutkan hukumnya pada safar (perjalanan). Maka safar itu akan diperhatikan. Jika safar itu sendiri yang dinilai sebagai maksiat, maka jamak qashar tidak dibolehkan. Beda halnya jika maksiat terletak pada hal lain yang kebetulan terjadi bersamaan dengan safar. Jadi harus dibedakan antara maksiat bis safar (bermaksiat dengan perjalanan) dengan maksiat fis safar (bermaksiat dengan suatu perbuatan yang kebetulan terjadi pada perjalanan).
Bagaimana perjalanan dianggap maksiat? Contohnya seperti seorang hamba sahaya yang lari dari tuannya. Maka dia bermaksiat dengan perjalanannya. Demikian juga dengan orang yang merencanakan perjalanannya untuk melakukan tindak kejahatan, maka dia bermaksiat dengan perjalanannya. Kalau bermaksiat dengan kejahatan yang direncanakan itu sesuatu yang belum pasti dan bisa jadi urung dilaksanakan. Maka maksiat yang pasti sudah terjadi adalah maksiat yang dihukumi atas perjalanannya. Dalam hal ini rukhsah tidak diberikan.
Berbeda halnya bagi orang yang secara kebetulan sambil menempuh perjalanan, saat ngobrol bersama temannya mengupat orang lain, atau saat mampir di warung makan menipu dan tidak membayar seperti yang seharusnya, maka ini adalah bermaksiat dengan hal lain, bukan bermaksiat dengan safar. Hanya saja secara kebetulan maksiat itu dilakukan tepat saat safar. Padahal kalaupun hal itu dilakukan bukan saat safar hukumnya tetap haram. Jadi karena maksiat ini tidak secara khusus terkait dengan safar, rukhsah safar seperti jamak dan qashar masih tetap diberikan.
Dalam hal ini sebagain Ulama membagi maksiat dengan safar atau saat safar menjadi 3 :
Pertama :
Maksiat fis safar ; Perjalanannya untuk tujuan taat atau mubah, namun dalam perjalanan musafir bermaksiat seperti mengupat. Maka rukhsah tetap diberikan dan tidak gugur sama sekali.
Kedua :
Maksiat bis safar fis safar ; Perjalanan yang awalnya tidak diagendakan untuk melakukan kejahatan kemudian berubah. Dalam hal ini ia dianggap bermaksiat "dengan perjalanannya" yang mulai terjadi kemaksiatan itu di tengah-tengah perjalanan bukan sejak dari tempat asal. Dalam kondisi seperti ini rukhsah yang sebelumnya didapatkan terhenti sementara sampai si musafir itu bertaubat dan membatalkan niat jahatnya. Setelah bertaubat, rukhsah kembali dilanjutkan.
Ketiga :
Maksiat bis safar ; Perjalanan yang sejak dari awal direncanakan untuk melakukan tindak kejahatan. Dalam kondisi ini rukhsah tidak diberikan kecuali si musafir itu bertaubat dengan membatalkan rencana jahatnya dan jarak perjalanan yang tersisa masih mencapai dua marhalah.
Pembagian ketiga ini berbeda dengan pembagian kedua karena pada pembagian kedua musafir telah sempat menjadi ahli rukhsah sebelumnya, namun ahliyyah itu dijeda sementara sampai musafir itu bertaubat. Sedangkan pada poin ketiga, musafir belum pernah menjadi ahli rukhsah sama sekali sehingga saat bertaubat ia dianggap baru memulai perjalanannya yang mubah dan baru diberikan rukhsah dengan perjalanannya jika masih menyisakan jarak 2 marhalah.
Semoga bermanfaat!
Muhammad Iqbal Jalil
Samalanga - Aceh, 10 Februari 2021
Sumber FB : Muhammad Iqbal Jalil
10 Februari 2021 pada 14.27 ·