Dalam banyak kitab Sirah Nabawiyah disebutkan bahwa ketika menikah dengan Khadijah, saat itu Nabi SAW masih perjaka dengan usia 25 tahun. Sedangkan Khadijah janda dua kali, punya anak, dan sudah berusia 40 tahun.
Buat ukuran wanita kita di masa kini, menikah di usia 40 tahun agak jarang kasusnya. Apalagi untuk pernikahan yang ketiga buat pengantin perempuan yang sudah dua kali bersuami dan punya anak pula.
Dan lebih jarang lagi pernikahan di usia 40 tahun itu menghasilkan 6 orang anak. Sebenarnya sudah agak beresiko menurut ukuran zaman kita.
Ada beberapa riwayat yang berbeda-beda terkait dengan mahar. Satu riwayat menyebut seratus ekor unta dan riwayat yang lain menyebutkan 10 ekor.
Lepas dari mana yang paling kuat, tetap saja ini merupakan mahar yang mahal, setidaknya untuk ukuran kita.
Anggaplah harga seekor unta sedikit di atas harga sapi, misalnya 30 juta rupiah seekor. Pakai riwayat yang sepuluh ekor pun sudah terbayang nilainya yaitu 300 juta. Kalau pakai riwayat seratus ekor, tinggal tambahkan nol satu lagi di belakangnya jadi 3 milyar.
Bandingkan dengan kebiasaan di negeri kita dimana mahar itu biasanya hanya seperangkat alat shalat. Nilainya jadi sangat tidak berarti.
Lalu pertanyaannya : dari mana Nabi SAW punya modal sebanyak itu?
Nah disebutkan bahwa paman-paman Beliau dalam ha lini turun tangan ikut membantu. Sehingga peran keluarga dalam hal ini lumayan besar.
oOo
Dalam banyak kitab Sirah Nabawiyah juga disebut-sebut bahwa pernikahan Nabi SAW dengan Khadijah ini diawali dari kerja sama bisnis.
Khadijah dikenal sebagai wanita pebisnis yang terbiasa meminjamkan modal berdagang buat para saudagar Mekkah.
Kala itu sudah lazim akad pinjam meminjam, dimana pengembaliannya harus dengan tambahan alias bunga.
Namun hal itu wajar dan tidak jadi masalah, karena sudah jadi kebiasaan dalam bisnis, yaitu pinjam modal buat usaha lalu waktu pengembaliannya harus dengan tambahan.
Hanya saja yang jadi sasaran kritik apabila usaha seseorang sedang tidak baik, tidak untung malah rugi, baik karena faktor alam, dirampok di jalan, bencana, dan lainnya, maka penyelesaiannya agak kurang manusiawi.
Si pedagang tetap diharuskan bayar hutang itu tanpa pertimbangan. Jadi orang sudah rugi lalu dizhalimi pula.
Kalau sudah begini, maka ujung-ujungnya bermuara kepada perbudakan. Karena terlilit hutang yang hanya bisa dibayar dengan harga dirinya, alias jadi budak.
Konon Nabi SAW saat itu masih termasuk meniti karir jadi pedagang, yang butuh suntikan modal sebagaimana umumnya saudagar lainnya.
Maka beliau pasti butuh pihak yang mau meminjamkan modal seperti Khadijah. Dan nyaris semua pedagang juga butuh peranan Kadijah.
Lalu bagaimana Khadijah bisa tertarik menikah dengan Beliau? Ada beberapa analisa, antara lain :
1. Nabi SAW Masih Perjaka.
Para saudagar itu biasanya pria-pria mapan yang sudah berkecukupan ekonominya. Dan pastinya pria mapan itu sudah beristri. Bahkan sesuai adat kebiasaan kala itu, istri tidak cukup satu tapi bisa puluhan jumlahnya.
Wajar kalau harus memilih, Khadijah akan memilih laki-laki yang masih single, alias tidak beristri. Sehingga akan jadi istri satu-satunya yang disayangi.
Ada dua tipe laki-laki yang tidak beristri, yaitu duda atau perjaka. Kalau disuruh memilih, tentu saja perjaka lebih dipilih ketimbang duda. Apalagi duda banyak anak dan cucu, urusannya bisa panjang karena rebutan warisan.
Jadi sangat manusiawi buat Khadijah untuk menikah lagi, karena hidup jadi wanita janda sebatang kara itu tidak mudah, bahkan untuk ukuran zaman segitu.
Dan kalau menikah dan cari suami, amat wajar dan masuk akal kalau beliau lebih memilih yang single ketimbang yang sudah beristri. Dan kalau pilihannya single duda atau single perjaka, masuk akal sekali kalau yang perjaka itulah yang dipilih.
Ini baru logika dasarnya, sebelum mempertimbangkan faktor realita orangnya.
Bicara sosok orang yang dipilih Khadijah, wajar kalau Beliau memilih calon suami yang merupakan pengusaha juga, biar jelas kemapanannya. Sudah perjaka, masih muda, tanpa istri dan ini yang paling penting : mapan pula. Lengkap lah kriterianya.
Segitu saja seharusnya sudah cukup alasan buat Lhajijah menikah dengan Muhammad.
Tapi kita menemukan banyak bonus-bonus lainnya.
1. Bebas Riba
Pinjaman modal dari Khadijah yang diusulkan Muhammad itu unik, kita di zaman sekarang menyebutnya sebagai pinjaman bebas riba.
Sebenarnya sistemnya bukan pinjam uang atau pinjam modal, tapi join kerjasama bagi hasil.
Muhammad bermodal otak dan tenaganya dan Khadijah bermodal dananya. Lalu bisnis itu milik berdua, bukan milik Muhammad saja atau milik Khadijah saja.
Maka kalau untung dibagi dua dan kalau rugi pun ditanggung bersama.
Mungkin buat ukuran di zaman modern sekarang, model kayak gitu biasa-biasa saja. Namun untuk ukuran di masa mereka, ini model bisnis yang masih asing.
Setidaknya join usaha di masa itu masih dianggap aneh. Dan di masa kini pun aneh juga, kecuali memang ada saling kepercayaan yang lebih.
Dan memang dalam hal ini Muhammad punya modal yang jarang diliki orang lain yaitu beliau bergelar Al-Amin yaitu orang yang sangat dipercaya.
2. Jujur dan Amanah
Meski Khadijah percaya dengan gelar Al-Amin yang disandang Muhammad, namun usaha dan ikhtiyar tetap dijalankan.
Khadijah tidak melepas Muhammad begitu saja membawa modalnya. Tapi tetap ada kontrol dan pengawasan. Maka sepanjang perjalanan bisnis Muhammad yang bawa modal miliknya, Khadijah menitipkan orang kepercayaannya bernama Maisarah.
Maisarah inilah terus menguntit Muhammad siang malam kemanapun pergi. Bahkan jadi teman perjalanan selama berniaga ke berbagai tempat.
Nama Maisarah ini kadang bikin penasaran sekaligus pertanyaan usil. Memangnya boleh Maisarah ini kemana-mana runtang-runtung berdua-duaan dengan Muhammad yang bukan muhrim?
Jawabannya boleh dan boleh. Sebab Maisarah itu kumisan dan jenggotan. Ya Maisarah itu laki-laki, bukan perempuan.
Memang kuping kita kadang suka keliru mengira nama Maisarah itu cocok buat nama perempuan. Padahal di Arab sana yang namanya Maisarah itu brewokan
Hehe
Sumber FB Ustadz : Ahmad Sarwat
Kajian · 16 Maret 2021·