Agar Rezeki Berkah, Terapkan Standar Prioritas Penyaringan Berikut Ini!
Kehidupan sosial amatlah pelik dan tidak semudah goresan idealitas pena. Suatu ketika kita tepat berada di lingkungan yang Islami, dan di lain waktu bisa saja kita berada di lingkungan yang tidak islami. Takdir senantiasa menuntun kita pada sesuatu yang kita sendiri kadang merencanakan, namun ternyata Allah subhanahu wata'ala menghendaki lain. Semua itu membutuhkan langkah penyikapan bagi kita.
Pandangan ini pernah disampaikan oleh KH. Hasan Mutawakkil Alallah, pengasuh Pondok Pesantren Genggong, pada kesempatan bicara di hadapan Forum Nahdliyin PWNU Jawa Timur 2017 lalu. Beliau menyampaikan bahwasa fiqih hadir sebagai sikap sosial seorang individu. Fiqih tidak semata hadir untuk membatasi ruang gerak individu, melainkan ia hadir sebagai filter terhadap fenomena sosial yang terjadi “saat ini”, dan selanjutnya menuntut kita agar pandai-pandai dalam mengambil sikap dan keputusan sehari-hari. Dengan tegas beliau menyampaikan, bahwa fiqih adalah sikap sosial dari sudut pandang syariat.
Apa yang disampaikan beliau ini bukan tanpa dasar. Dalam praktik muamalah keseharian misalnya, ada kalanya karena didorong oleh sebuah kebutuhan, seorang individu Muslim bekerja di tempat yang benar dan adakalanya ia bekerja di tempat yang salah. Maksud bekerja di tempat yang benar, adalah tempat kerjanya jelas, tidak bersangkutan dengan barang haram, sehingga rezeki yang didapatkan juga jelas halal. Namun, adakalanya juga ia terpaksa bekerja pada lokasi yang kurang Islami, sehingga dalam kesehariannya ia kadang berhubungan dengan perkara yang dilarang oleh syariat, dan kadang juga berhubungan dengan perkara yang sama sekali tidak melanggar. Bahkan, ada juga yang terpaksa bekerja di tempat yang jelas-jelas banyak berhubungan dengan perkara yang haram, namun ia sendiri hanya sebatas bekerja dan tidak turut mengkonsumsinya.
Untuk individu yang mampu menghindar dari pekerjaan yang dilarang tersebut, memang tidak ada masalah dan tidak ada khilaf (perbedaan pendapat) di kalangan ulama. Namun, untuk beberapa individu lain, yang dalam kondisi terpaksa, kadang kita perlu pertimbangan khusus dalam memutuskan status hukumnya. Hal ini disebabkan karena di dalam konteks syariah dikenal kaidah al-dlarurah (kondisi darurat). Apalagi ia sebatas bekerja dan tidak turut mengkonsumsinya dalam rangka mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya.Sebuah contoh misalnya pekerjaan seorang satpam di pabrik miras, atau status orang yang bekerja di tempat sebuah lembaga yang melaksanakan riba. Yang jadi permasalahan adalah, bagaimana status nafkah yang diperoleh dari hasil bekerja di tempat tersebut? Inilah yang mengundang perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Ulama berselisih pendapat dalam hal hukum nafkah ini. Ada yang membolehkan, karena ada kemungkinan mengubah tujuan (sharfu al-maqshud) dalam bekerja. Ulama yang berpegang pada pendapat ini berpedoman pada bunyi hadits, bahwasanya: “niat seorang mukmin adalah lebih baik dari amalnya.” Jadi, dalam kasus seorang karyawan pabrik miras di atas, berdasarkan nash ini, seorang mukmin yang bekerja sebagai petugas sekuriti di pabrik miras, bisa mengubah niatnya menjadi bukan dimaksudkan menjaga mirasnya, melainkan aset perusahaan yang lain, seperti mesin, mobil, perangkat kantor, dan lain-lain.
Adapun ulama yang mengharamkan pada kasus karyawan di atas, mereka berpedoman pada dalil nash berupa larangan tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan (Q.S. Al-Maidah: 2). Imam Al-Mawardi rahimahullah misalnya, berkata sebagaimana dinukil oleh Al-Qurtuby dalam kitab tafsirnya:
Artinya: “Allah subhanahu wata'ala mensunnahkan perbuatan tolong-menolong dalam perbuatan baik lalu disertai dengan perbuatan takwa. Karena sesungguhnya di dalam takwa terdapat ridla Allah subhanahu wata'ala, sedangkan di dalam kebaikan terdapat ridla manusia. Barang siapa bisa mengumpulkan keduanya - antara ridla Allah dan ridla manusia–maka sempurnalah kebahagiannya dan purna kenikmatan yang diterima.” (Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshary al-Qurthuby, al-Jami’u li Ahkami al-Qur’an, Daru al-Fikr, Juz 6, halaman 10)
Imam Al-Mawardi pada kasus di atas, berbicara bahwa kenikmatan paripurna seorang mukmin adalah manakala ia bisa menggapai ridla Allah dan ridlanya manusia melalui amal sosial. Persoalannya kemudian, bagaimana jika ada dua sisi yang harus dipertimbangkan dan diambil salah satu. Ibnu Khuwaiz Mandad dalam kitab Ahkam li Ibni Khuwaiz mentafshil bahwasannya:
Artinya: “Tolong-menolong dalam perbuatan baik dan takwa bisa terjadi dalam beberapa cara: ‘Wajib bagi seorang ‘alim menolong manusia dengan jalan mengajarkan ilmunya, seorang yang kaya dengan kekayaannya, seorang pemberani dengan keberaniannya di jalan Allah, dan hendaknya kaum Muslim saling membantu ibarat tangan yang satu. Orang mukmin itu darahnya sama, dan sama-sama menjamin keamanan orang lain yang dibawahnya. Mereka ibarat tangan yang lain bagi selainnya. Wajib baginya berpaling dari sikap bermusuhan dan wajib meninggalkan menolong sikap permusuhan itu, serta berusaha mencegahnya sebagaimana harusnya. Lalu dia menyinggung ayat larangan Allah: “Dan jangan tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan.’ Ayat ini berbicara mengenai hukum yang berkaitan dengan jarîmah (melukai orang lain) serta menjauhi sikap bermusuhan, yaitu sikap menzalimi manusia.” (Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshary al-Qurthuby, al-Jami’u li Ahkami al-Qur’an, Daru al-Fikr, Juz 6, halaman 10)
Berdasarkan tafsir al-Qurthuby di atas dan menukil pendapat Ibnu Khuwaiz Mandad, maka bisa ditarik kesimpulan bahwasannya yang dimaksud dengan larangan tolong-meolong dalam Q.S. Al-Maidah ayat 2 adalah tidak termasuk di dalamnya perihal bekerja sebagaimana kasus seorang security sebagaimana telah diungkap di awal. Larangan tersebut ternyata berkisar di dalam perkara melukai orang lain, seperti membunuh, permusuhan dan yang semisalnya.
Dengan demikian, kesimpulan hukum untuk kasus orang yang bekerja di lingkungan haram, namun dalam kondisi ia sebagai security dan tidak turut mengkonsumsinya bisa masuk dalam kelompok hukum syubhat, disebabkan adanya ulama yang memandang keharamannya, dan sekaligus ada ulama yang membolehkannya.
Lantas, bagaimana dengan sikap kita? Dalam hal tuntunan mencari rezeki, Rasulillah SAW menyabdakan dalam sebuah hadits marfu’ riwayat Imam Ibnu Majah, dari shahabat Jabir bin Abdillah radliyallahu ‘anhu:
Artinya: Dari Jabir bin Abdillah radliyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Wahai manusia, bertakwalah kalian kepada Allah, dan baguskanlah dalam mencari, karena sesungguhnya jiwa tidak akan mati sebelum mengenyam rezekinya, meskipun terlambat datangnya. Maka dari itu, bertakwalah kalian kepada Allah, dan tunaikan jalan yang baik dalam mencari, ambil apa yang halal dan tinggalkan apa yang haram.” (HR. Ibnu Majah dalam Muhammad al-Mad’u bi ‘Abdi al-Rauf al-Munawy, Faidlu al-Qadir Syarah Jami’u al-Shaghir, Cet. Ke-2, Beirut, Daru al-Ma’rifah, 1391H, Juz 3, halaman 159-160)
Berdasarkan hadits ini, Rasulullah memerintahkan kita agar berbaik-baik diri dalam menjaga segala perkara yang berkaitan dengan kebutuhan konsumtif kita. Sikap berbaik diri ini dalam menempuh jalan rezeki ini oleh al-Munawy disebutkan sebagai sikap berusaha mencari jalan yang baik dalam mendapatkannya, sebagaimana hal ini disinggung pada penggalan hadits di atas, yakni ambil yang halal dan tinggalkan yang haram. Jika dalam posisi di tengah-tengah sebagaimana pekerjaan sekuriti di atas, dengan tidak meninggalkan pendapat ulama yang membolehkan adalah hasil pekerjaan jangan dipakai untuk konsumsi. Ambil upah minimum rata-rata daerah sebagai yang dikonsumsi, sementara untuk bonusnya berikan kepada jalur yang lain, seperti membangun jalan, menyantuni orang faqir dan miskin, dan lain sebagainya! Mengapa ujrah (gaji) tersebut tetap diambil, meski statusnya syubhat? Karena dalam pekerjaan mewajibkan adanya ujrah/upah. Sementara bonus pekerjaan bukan termasuk bagian dari ujrah, sehingga alangkah bijaknya bila tidak dikonsumsi. Sikap tidak mau mengambil justru malah membantu perusahaan. Alangkah lebih bijak bila bonus tersebut diberikan kepada yang kekurangan atau membangun sarana umum.
Akan tetapi, yang lebih baik lagi adalah, bilamana kita bisa mendapatkan pekerjaan yang halal lagi baik. Dengan demikian kita bisa keluar dari persoalan syubhat. Berada dan bermain di lingkup yang syubhat terkadang suatu saat bisa menjatuhkan kita pada keharaman.
Kesimpulan akhir dari tulisan ini adalah, hasil dari sebuah pekerjaan mutlak harus difilter. Pilah semua pendapatan yang masuk ke keluarga, mana yang jelas halalnya, mana yang syubhat, mana yang haram! Mengapa sikap ini harus kita lakukan? Tidak lain dan tidak bukan adalah agar hidup dan rezeki kita lebih barokah, doa kita mudah dikabulkan oleh Allah, dan kita terhindar dari perkara haram yang tidak kita ketahui. Wallahu a’lam bish shawab.
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim
Pandangan ini pernah disampaikan oleh KH. Hasan Mutawakkil Alallah, pengasuh Pondok Pesantren Genggong, pada kesempatan bicara di hadapan Forum Nahdliyin PWNU Jawa Timur 2017 lalu. Beliau menyampaikan bahwasa fiqih hadir sebagai sikap sosial seorang individu. Fiqih tidak semata hadir untuk membatasi ruang gerak individu, melainkan ia hadir sebagai filter terhadap fenomena sosial yang terjadi “saat ini”, dan selanjutnya menuntut kita agar pandai-pandai dalam mengambil sikap dan keputusan sehari-hari. Dengan tegas beliau menyampaikan, bahwa fiqih adalah sikap sosial dari sudut pandang syariat.
Apa yang disampaikan beliau ini bukan tanpa dasar. Dalam praktik muamalah keseharian misalnya, ada kalanya karena didorong oleh sebuah kebutuhan, seorang individu Muslim bekerja di tempat yang benar dan adakalanya ia bekerja di tempat yang salah. Maksud bekerja di tempat yang benar, adalah tempat kerjanya jelas, tidak bersangkutan dengan barang haram, sehingga rezeki yang didapatkan juga jelas halal. Namun, adakalanya juga ia terpaksa bekerja pada lokasi yang kurang Islami, sehingga dalam kesehariannya ia kadang berhubungan dengan perkara yang dilarang oleh syariat, dan kadang juga berhubungan dengan perkara yang sama sekali tidak melanggar. Bahkan, ada juga yang terpaksa bekerja di tempat yang jelas-jelas banyak berhubungan dengan perkara yang haram, namun ia sendiri hanya sebatas bekerja dan tidak turut mengkonsumsinya.
Untuk individu yang mampu menghindar dari pekerjaan yang dilarang tersebut, memang tidak ada masalah dan tidak ada khilaf (perbedaan pendapat) di kalangan ulama. Namun, untuk beberapa individu lain, yang dalam kondisi terpaksa, kadang kita perlu pertimbangan khusus dalam memutuskan status hukumnya. Hal ini disebabkan karena di dalam konteks syariah dikenal kaidah al-dlarurah (kondisi darurat). Apalagi ia sebatas bekerja dan tidak turut mengkonsumsinya dalam rangka mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya.Sebuah contoh misalnya pekerjaan seorang satpam di pabrik miras, atau status orang yang bekerja di tempat sebuah lembaga yang melaksanakan riba. Yang jadi permasalahan adalah, bagaimana status nafkah yang diperoleh dari hasil bekerja di tempat tersebut? Inilah yang mengundang perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Ulama berselisih pendapat dalam hal hukum nafkah ini. Ada yang membolehkan, karena ada kemungkinan mengubah tujuan (sharfu al-maqshud) dalam bekerja. Ulama yang berpegang pada pendapat ini berpedoman pada bunyi hadits, bahwasanya: “niat seorang mukmin adalah lebih baik dari amalnya.” Jadi, dalam kasus seorang karyawan pabrik miras di atas, berdasarkan nash ini, seorang mukmin yang bekerja sebagai petugas sekuriti di pabrik miras, bisa mengubah niatnya menjadi bukan dimaksudkan menjaga mirasnya, melainkan aset perusahaan yang lain, seperti mesin, mobil, perangkat kantor, dan lain-lain.
Adapun ulama yang mengharamkan pada kasus karyawan di atas, mereka berpedoman pada dalil nash berupa larangan tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan (Q.S. Al-Maidah: 2). Imam Al-Mawardi rahimahullah misalnya, berkata sebagaimana dinukil oleh Al-Qurtuby dalam kitab tafsirnya:
وقال الماوردي : ندب الله سبحانه إلى التعاون بالبر وقرنه بالتقوى له ; لأن في التقوى رضا الله تعالى ، وفي البر رضا الناس ، ومن جمع بين رضا الله تعالى ورضا الناس فقد تمت سعادته وعمت نعمته
Artinya: “Allah subhanahu wata'ala mensunnahkan perbuatan tolong-menolong dalam perbuatan baik lalu disertai dengan perbuatan takwa. Karena sesungguhnya di dalam takwa terdapat ridla Allah subhanahu wata'ala, sedangkan di dalam kebaikan terdapat ridla manusia. Barang siapa bisa mengumpulkan keduanya - antara ridla Allah dan ridla manusia–maka sempurnalah kebahagiannya dan purna kenikmatan yang diterima.” (Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshary al-Qurthuby, al-Jami’u li Ahkami al-Qur’an, Daru al-Fikr, Juz 6, halaman 10)
Imam Al-Mawardi pada kasus di atas, berbicara bahwa kenikmatan paripurna seorang mukmin adalah manakala ia bisa menggapai ridla Allah dan ridlanya manusia melalui amal sosial. Persoalannya kemudian, bagaimana jika ada dua sisi yang harus dipertimbangkan dan diambil salah satu. Ibnu Khuwaiz Mandad dalam kitab Ahkam li Ibni Khuwaiz mentafshil bahwasannya:
والتعاون على البر والتقوى يكون بوجوه; فواجب على العالم أن يعين الناس بعلمه فيعلمهم، ويعينهم الغني بماله ، والشجاع بشجاعته في سبيل الله، وأن يكون المسلمون متظاهرين كاليد الواحدة المؤمنون تتكافأ دماؤهم ويسعى بذمتهم أدناهم وهم يد على من سواهم، ويجب الإعراض عن المتعدي وترك النصرة له ورده عما هو عليه. ثم نهى فقال: ولا تعاونوا على الإثم والعدوان وهو الحكم اللاحق عن الجرائم، وعن العدوان وهو ظلم الناس
Artinya: “Tolong-menolong dalam perbuatan baik dan takwa bisa terjadi dalam beberapa cara: ‘Wajib bagi seorang ‘alim menolong manusia dengan jalan mengajarkan ilmunya, seorang yang kaya dengan kekayaannya, seorang pemberani dengan keberaniannya di jalan Allah, dan hendaknya kaum Muslim saling membantu ibarat tangan yang satu. Orang mukmin itu darahnya sama, dan sama-sama menjamin keamanan orang lain yang dibawahnya. Mereka ibarat tangan yang lain bagi selainnya. Wajib baginya berpaling dari sikap bermusuhan dan wajib meninggalkan menolong sikap permusuhan itu, serta berusaha mencegahnya sebagaimana harusnya. Lalu dia menyinggung ayat larangan Allah: “Dan jangan tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan.’ Ayat ini berbicara mengenai hukum yang berkaitan dengan jarîmah (melukai orang lain) serta menjauhi sikap bermusuhan, yaitu sikap menzalimi manusia.” (Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshary al-Qurthuby, al-Jami’u li Ahkami al-Qur’an, Daru al-Fikr, Juz 6, halaman 10)
Berdasarkan tafsir al-Qurthuby di atas dan menukil pendapat Ibnu Khuwaiz Mandad, maka bisa ditarik kesimpulan bahwasannya yang dimaksud dengan larangan tolong-meolong dalam Q.S. Al-Maidah ayat 2 adalah tidak termasuk di dalamnya perihal bekerja sebagaimana kasus seorang security sebagaimana telah diungkap di awal. Larangan tersebut ternyata berkisar di dalam perkara melukai orang lain, seperti membunuh, permusuhan dan yang semisalnya.
Dengan demikian, kesimpulan hukum untuk kasus orang yang bekerja di lingkungan haram, namun dalam kondisi ia sebagai security dan tidak turut mengkonsumsinya bisa masuk dalam kelompok hukum syubhat, disebabkan adanya ulama yang memandang keharamannya, dan sekaligus ada ulama yang membolehkannya.
Lantas, bagaimana dengan sikap kita? Dalam hal tuntunan mencari rezeki, Rasulillah SAW menyabdakan dalam sebuah hadits marfu’ riwayat Imam Ibnu Majah, dari shahabat Jabir bin Abdillah radliyallahu ‘anhu:
عَنْجَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ ، فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَوْفِيَ رِزْقَهَا ، وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا ، فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ خُذُوا مَا حَلَّ وَدَعُوا مَا حَرُمَ " .
Artinya: Dari Jabir bin Abdillah radliyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Wahai manusia, bertakwalah kalian kepada Allah, dan baguskanlah dalam mencari, karena sesungguhnya jiwa tidak akan mati sebelum mengenyam rezekinya, meskipun terlambat datangnya. Maka dari itu, bertakwalah kalian kepada Allah, dan tunaikan jalan yang baik dalam mencari, ambil apa yang halal dan tinggalkan apa yang haram.” (HR. Ibnu Majah dalam Muhammad al-Mad’u bi ‘Abdi al-Rauf al-Munawy, Faidlu al-Qadir Syarah Jami’u al-Shaghir, Cet. Ke-2, Beirut, Daru al-Ma’rifah, 1391H, Juz 3, halaman 159-160)
Berdasarkan hadits ini, Rasulullah memerintahkan kita agar berbaik-baik diri dalam menjaga segala perkara yang berkaitan dengan kebutuhan konsumtif kita. Sikap berbaik diri ini dalam menempuh jalan rezeki ini oleh al-Munawy disebutkan sebagai sikap berusaha mencari jalan yang baik dalam mendapatkannya, sebagaimana hal ini disinggung pada penggalan hadits di atas, yakni ambil yang halal dan tinggalkan yang haram. Jika dalam posisi di tengah-tengah sebagaimana pekerjaan sekuriti di atas, dengan tidak meninggalkan pendapat ulama yang membolehkan adalah hasil pekerjaan jangan dipakai untuk konsumsi. Ambil upah minimum rata-rata daerah sebagai yang dikonsumsi, sementara untuk bonusnya berikan kepada jalur yang lain, seperti membangun jalan, menyantuni orang faqir dan miskin, dan lain sebagainya! Mengapa ujrah (gaji) tersebut tetap diambil, meski statusnya syubhat? Karena dalam pekerjaan mewajibkan adanya ujrah/upah. Sementara bonus pekerjaan bukan termasuk bagian dari ujrah, sehingga alangkah bijaknya bila tidak dikonsumsi. Sikap tidak mau mengambil justru malah membantu perusahaan. Alangkah lebih bijak bila bonus tersebut diberikan kepada yang kekurangan atau membangun sarana umum.
Akan tetapi, yang lebih baik lagi adalah, bilamana kita bisa mendapatkan pekerjaan yang halal lagi baik. Dengan demikian kita bisa keluar dari persoalan syubhat. Berada dan bermain di lingkup yang syubhat terkadang suatu saat bisa menjatuhkan kita pada keharaman.
Kesimpulan akhir dari tulisan ini adalah, hasil dari sebuah pekerjaan mutlak harus difilter. Pilah semua pendapatan yang masuk ke keluarga, mana yang jelas halalnya, mana yang syubhat, mana yang haram! Mengapa sikap ini harus kita lakukan? Tidak lain dan tidak bukan adalah agar hidup dan rezeki kita lebih barokah, doa kita mudah dikabulkan oleh Allah, dan kita terhindar dari perkara haram yang tidak kita ketahui. Wallahu a’lam bish shawab.
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim
Sumber Web : https://islam.nu.or.id/post/read/87054/agar-rezeki-berkah-terapkan-standar-prioritas-penyaringan-berikut-ini (Ahad 11 Maret 2018 12:00 WIB)