Konteks larangan tidak melulu menunjukkan makna haram. Salah satunya, adalah hadis tentang larangan makan dan minum sambil berdiri. Dalam masalah ini ada dua sisi. Di sisi pertama, ada hadis yang zahirnya melarang makan dan minum sambil berdiri. Diantaranya, hadis yang diriwayatkan dari sahabat Abu Said Al-Khudri radhiallahu ‘anhu, beliau berkata :
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ الشُّرْبِ قَائِمًا
“Sesungguhnya Rasulullah ﷺ melarang dari minum dalam kondisi berdiri.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Namun di sini lain, ada riwayat yang zahirnya membolehkan hal ini. Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu, beliau berkata :
سَقَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ زَمْزَمَ فَشَرِبَ وَهُوَ قَائِمٌ
“Aku memberi minum air Zam-Zam kepada Rasulullah ﷺ, lalu beliau minum dalam kondisi berdiri.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dua hadis di atas sekilas bertentangan. Maka metode terbaik menghadapi kasus seperti ini adalah dengan cara mengkompromikan keduanya. Hadis yang melarang dibawa kepada makna larangan makruh, sebagai bentuk kompromi kepada hadis kedua yang membolehkan. Dan perlu dicatat, bawha Nabi ﷺ minum sambil berdiri di sini dalam rangka menjelaskan bahwa hal itu boleh.
Imam An-Nawawi (w. 676 H) rahimahullah berkata :
وَالصَّوَابُ فِيهَا أَنَّ النَّهْيَ فِيهَا مَحْمُولٌ عَلَى كَرَاهَةِ التَّنْزِيهِ وَأَمَّا شُرْبُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمًا فَبَيَانٌ للجواز
“Yang benar dalam masalah ini, sesungguhnya larangan di dalamnya dibawa kepada kemungkinan makna makruh, sedangkan minumnya beliau ﷺ dalam kondisi berdiri menunjukkan akan bolehnya hal tersebut.” (Syarah Shahih Muslim : 7/113)
Untuk hukum makan sambil berdiri, maka diqiyaskan kepada hadis-hadis di atas. Sebagaimana disebutkan dalam shahih muslim (7/112) dari Ma’mar bin Rasyid, beliau bertanya kepada Qatadah : “Bagaimana dengan makan ?” Beliau (Qatadah) menjawab : “Dia lebih jelek lebih buruk.”
Kesimpulannya, makan dan minum dalam kondisi berdiri hukumnya makruh, bukan haram. Ini pendapat mayoritas ulama. Kalau makruh, berarti dilarang tapi tidak harus ditinggalkan. Kalau dilakukan, boleh, kalau ditinggalkan maka berpahala. Tapi secara adab, dianjurkan untuk makan dan minum dalam kondisi duduk. Dengan mengetahui hal ini, kita akan bisa menempatkan hukum dan menyikapinya secara proporsional. Jangan sampai perkara makruh, disikapi seperti perkara haram. Walhamdulillah Rabbil ‘alamin.
14/01/2021
Abdullah Al-Jirani
***
Sumber FB : Abdullah Al Jirani
14 Januari 2021 pada 09.14 ·