Fiqih Kontemporer
by. Ahmad Sarwat, Lc.,MA
Sederhananya fiqih kontemporer itu adalah persoalan fiqih yang belum pernah dibahas para ulama fiqih klasik di masa lalu. Alasannya karena fenomenanya di masa itu memang belum muncul.
Ternyata fiqih kontemporer tidak melulu terkait dengan teknologi terkini macam hukum bayi tabung, kloning manusia, atau kehidupan di luar angkasa.
Tapi persoalan fiqih klasik pun banyak juga yang perlu dikaji ulang karena ditemukannya fakta-fakta terbaru. Maka pada sebagian masalah fiqih klasik pun kadang terselip kajian fiqih kontemporer juga.
Ada beberapa contoh yang bisa saya sebutkan.
1. Thaharah : Mensucikan Air Najis
Dalam fiqih klasik, bila ada bangkai nyemplung ke sumur, maka cara mensucikan ya kembali air sumur yang najis itu dengan membuang dulu bangkainya, lalu airnya ditimba terus menerus hingga tergantikan dengan air baru dari mata airnya.
Itu dilakukan lewat proses yang panjang. Intinya dengan semakin banyaknya volume air ditambahkan terus, lama-lama unsur najisnya akan terabaikan.
Namun di era modern ini kita mengenal berbagai teknologi penjernihan air.
Salah satu contoh sederhana adalah proses penjernihan air butek di kolam renang. Ternyaya cukup ditaburi zat tertentu dan dibiarkan semalaman, besoknya air jernih kembali. Kotoran yang mengendap di dasar kolam tinggal divacum, beres.
Dan ada juga lewat teknologi osmosis, sehingga segala kotoran dan kuman tak nampak mata bisa disaring. Secara teknis, hasil penyaringannya pun aman diminum mentah-mentah.
Segala bau, warna, rasa yang jadi indikator najis sudah lenyap tak berjejak.
Pertanyaannya : apakah air hasil penjernihan berteknologi itu bisa dikategorikan air suci mensucikan? Mengingat dalam fiqih klasik hanya dibatasi 7 saja, yaitu air langit (hujan, embun, salju) dan air bumi (laut, sungai, mata air dan sumur).
2. Shalat : Ganti Arah Kiblat?
Contoh sederhana adalah perubahan arah kiblat di zaman modern ini.
Sejak dulu bangsa Indonesia kiblatnya ke arah Barat. Namun ketika sebagiannya pindah ke benua Amerika (Suriname), arah kiblatnya bukan lagi arah barat, tapi perlu dikoreksi ulang pakai kompas.
Nah, uniknya konon di masa awal itu, koreksi perubahan arah ini agak bikin stori tersendiri, karena fiqih yang mereka terapkan sejak zaman nenek moyang perlu dikoreksi.
Mungkin buat kita di masa sekarang yang terbiasa terbang naik pesawat ke luar negeri sudah tidak ada masalah dengan penyesuaian arah kiblat. Tapi bayangkan penduduk desa di zaman Belanda, dipindahkan ke benua Amerika begitu saja, maka terjadilah masalah arah kiblat shalat.
Beberapa daerah pun ada yang arah kiblatnya perlu mengalami penyesuaian ulang. Terutama sejak mulai dikenalnya ilmu bumi, karena arah kiblat mereka selama ini masih kurang tepat arahnya.
Khususnya bila diklukur pakai globe dengan model bumi bulat bukan bumi datar.
3. Puasa : Batal Karena Lubang Kemasukan?
Di era fiqih klasik, puasa kita difatwakan batal manakala ada lubang-lubang (jauf) pada tubuh kita yang kemasukan suatu benda, seperti lubang telinga, lubang mata dan lainnya.
Alasannya dijelaskan karena diyakini lubang-lubang itu merupakan manfadz (saluran) yang terhubung ke dalam perut kita.
Sehingga manakala lubang itu kemasukan suatu benda, secara teknis dianggap makanan Empat Mazhab fiqih klasik sepakat memfatwakan hal ini.
Tapi hari ini lewat ilmu anatomi tubuh dan dibuktikan dalam ilmu bedah, bahwa lubang-lubang itu ternyata tidak punya saluran langsung ke perut. Sehingga masuknya benda ke lubang itu kalau diqiyaskan kepada makan menjadi kurang tepat.
Koreksi semacam ini menarik diperhatikan, mengingat dahulu para ulama berfatwa dengan menggantungkan pada fenomena sains yang dikenal di masa mereka. Di masa mereka, itulah kebenaran.
Namun fakta sains mereka mereka hari ini sudah banyak sekali terkoreksi. Tidak ada saluran yang disebut-sebut terhubung ke perut itu. Akbatnya fatwa yang dibangun di atas fakta sains masa lalu otomatis butuh di-adjusting ulang pada hari ini.
4. Zakat : Hakikat Emas Perak dan Uang Kertas
Dalam Al-Quran disebutkan bahwa orang yang menimbun emas atau perak wajib mengeluarkan zakatnya. Emas dan perak yang dimaksud bukan perhiasan atau emas batangan, melainkan koin-koin Dinar dan dirham yang fungsinya sebagai alat tukar atau alat pembayaran dalam jual-beli.
Namun hari ini emas dan perak secara fisik sudah tidak lagi emas berwujud koin. Kalau pun dibikin, fungsinya pun bukan sebagai alat pembayaran yang digunakan masyarakat.
Emas hari ini hanya berfungsi sebagai koleksi perhiasan. Di masa kenabian dulu, emas yang seperti itu jelas tidak dikenakan zakat. Karena pada hakikatnya zakat emas itu adalah zakat uang.
Namun uang di masa sekarang tidak lagi berwujud emas atau perak. Uang kita hanya berupa kertas cetakan yang tidak punya nilai intrinsik. Begitu dibawa keluar dari wilayah suatu negara, langsung tidak punya nilai karena tidak diakui di negara lain.
Pertanyaannya, apakah kertas-kertas ini juga kena zakat?
Uang kertas itu bukan emas perak yang benar-benar berharga apa adanya. Kalau koin emas perak di masa lalu, mau dibawa kemanapun, pasti diakui sebagai alat tukar.
Tapi zaman berubah, emas perak hari ini sudah tidak lagi diakui sebagai alat tukar yang lazim digunakan. Meski masih jadi logam mulia dan ada nilainya, tapi sudah kehilangan fungsi dasarnya sebagai alat tukar.
Pertanyaan kedua muncul : emas yang kita miliki tapi tidak berfungsi sebagai alat tukar itu apa kena zakat?
5. Miqat Baru Haji Umrah?
Penetapan batas miqat haji atau umrah itu disepakati bersifat tauqifi, artinya ditetapkan langsung oleh Nabi SAW. Dan selama berabad-abad, rute ke Mekkah masih melalui jalur yang sama seperti di zaman Nabi SAW.
Namun seiring perkembangan zaman, mulai muncul rute-rute baru, yang belum pernah terbayang sebelumnya.
Misalnya sejak zaman dulu penduduk negeri di benua Afrikakalau haji mesti berputar lewat terusan Suez, tidak langsung menerobos laut Merah lalu mendarat di Jeddah.
Namun setelah ditemukannya kapal besar, mereka berani terobos laut Merah dan merapatkannya di dermaga Jeddah. Disitu muncul persoalan terkait batas miqat.
Bisakah dermaga pantai laut Merah di kota Jeddah itu dijadikan miqat baru, yang tidak pernah ditetapkan oleh Rasulullah SAW?
Di masa kenabian tidak ada orang Afrika berhaji menyeberang laut Merah langsung merapat di Jeddah. Makanya Nabi SAW tidak menyebut Jeddah sebagai miqat, karena bukan rute untuk mencapai Mekkah di masa itu. Bahkan hingga berabad-abad kemudian.
Apalagi hari ini orang berhaji naik pesawat. Pastinya rutenya jauh berbeda dengan rute tradisional lama. Biasakah hari ini dilakukan penetapan miqat baru lewat qiyas?
Dan faktanya, apa yang dilakukan oleh para penumpang pesawat saat ini ketika mereka bermiqat di atas udara pun sebenarnya bukan miqat yang asli. Tapi miqat bayangan saja, di atas garis imaginer.
Misalnya kita naik pesawat dari arah negeri Syam lewat Madinah. Ternyata pesawatnya tidak terbang rendah beberapa meter pas di atas masjid Bir Ali juga.
Posisi pesawat ada di ketinggian 33.000 kaki di atas awan. Masjid Bir Ali malah tidak nampak dalam pandangan mata. Secara fisik kita tidak mampir di Bir Ali. Faktanya sesungguhnya kita malah ambil miqat di angkasa raya alias di langit.
Masih banyak sekali kajian fiqih kontemporer, mungkin kalau dijumlahkan bisa memakan beratus halaman. Tapi belum selesai saya kerjakan. Masih antri dulu nunggu giliran.
Sumber FB : Ahmad Sarwat
Kajian · 18 Februari 2021 pukul 06.36 ·
Fiqih Kontemporer
Salah satu masalah paling berat dalam ilmu fiqih adalah fiqih kontemporer. Maka itu tidak keliru kalau sebagian kalangan sering menjulukinya dengan istilah 'qadhiyah fiqhiyah mu'ashirah' atau problematika fiqih kontemporer.
Qadhiyah itu bisa punya banyak makna, misalnya ketentuan, karena diambil dari kata qadha' yang berarti ketetapan. Tapi bisa juga bermakna 'problematika'.
Saya pribadi lebih suka masuk lewat makna yang kedua ini, ya qadhiyah fiqhiyah mu'ashirah. Masalah-masalah fiqih kekininan alias kontemporer.
Kenapa jadi qadhiyah atau masalah?
Karena belum sempat dibahas di kitab-kitab fiqih klasik. Masalahnya baru muncul di masa sekarang, yang nyaris tidak terbayangkan dan tidak terpikirkan oleh para ulama klasik.
Padahal di masa lalu biasanya masalah-masalah fiqih itu sudah bisa diprediksi oleh para ulama jauh sebelum kemunculannya. Itu memang salah satu kehebatan para ulama klasik, sehingga dalam banyak urusan peribadatan, kita masih nyaman menjawabnya dengan menggunakan hasil ijtihad 1.000-an tahun yang lalu.
Contoh sederhana, kitab Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib karya Al-Qadhi Abu Syuja' tahun 593 H. Al-Muhadzdzab karya As-Syairazi itu tahun 476 H dan Al-Hawi Al-Kabir karya AL-Mawardi tahun 450 H. Semau itu masih kita pakai di masa sekarang, khususnya untuk masalah peribadatan.
Tapi kalau sudah menyangkut fenomena yang terlalu kekinian, tiba-tiba kita mengalami kesulitan untuk merujuk kitab-kitab itu. Sebab zamannya berubah, keadaan sosial ekonomi dan teknologi nya juga berubah drastis. Sehingga perlu dikaji ulang dengan lebih kritis.
Bukan berarti kita buang pendapat ulama klasik karena dianggap usang. Tidak demikian maksudnya. Namun kita juga harus mempelajari secara seksama bagaimana ijtihad para lama di seribuan tahun yang lalu dengan berdasarkan fakta dan realitas mereka.
Meski sebagian besar karya fiqih dan ijtihad mereka masih tetap eksis tidak lekang dilanda perubahan zaman, namun tidak bisa dipungkiri dalam beberapa hal nampaknya memang perlu dikaji ulang, karena faktor perubahan zaman yang sangat ekstrim.
Contoh yang paling sederhana tentang konsep uang. Banyak diantara kita yang tidak sadar bahwa hakikat uang di masa lalu dengan di masa sekarang itu sangat jauh berbeda.
Di masa lalu, uang itu berwujud benda berharga seperti emas, perak dan lainnya. Nilainya include di dalam benda itu. Istilahnya nilai intrinsik.
Sedangkan uang kertas yang kita gunakan di masa sekarang, secara fisik hanya hasil cetakan mesin yang secara teknis tidak punya nilai apa-apa. Kalau pun tertulis angka sekian rupiah di atasnya, itu hanya nilai nominal saja. Persis seperti uang mainan.
Kertas itu jadi berharga hanya karena diakui oleh bank negara sebagai alat tukar resmi. Bila pengakuan itu berakhir, uang kertas itu turun derajat menjadi uang palsu atau menjadi uang mainan.
Secara kajian fiqih jelas akan sangat jauh berbeda hukumnya. Tidak sama antara orang di masa lalu punya uang dalam bentuk koin emas seberat 85 gram, dengan kita di masa sekarang punya uang kertas yang bisa untuk membeli emas seberat 85 gram.
Sekedar perbandingan saja, di masa lalu itu orang punya uang berbentuk koin emas seberat 85 gram (20 mitsqal) dan telah memilikinya setahun (haul), maka dia kena zakat atas emasnya.
Namun dim asa itu pula, bila yang dia miliki itu bukan emas, tapi perunggu (disebut fulus), maka tidak terkena zakat. Walaupun jumlahnya banyak dan senilai dengan 85 gram emas. Namun secara syar'i dia tidak terkena kewajiban berzakat.
Sebabnya karena belum terpenuhi syaratnya, yaitu uangnya tidak berbentuk emas. Yang terkena zakat itu emas, bukan harta senilai emas.
Ayatnya di dlaam Al-Quran juga tegas menyebutkan emas.
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, (QS. At-Taubah : 34)
Fulus itu uang receh, meski jumlahnya banyak sekai, setara dengan 85 gram emas, namun secara hitungan fiqih tidak termasuk yang wajib dizakati.
Lalu hari ini, justru tidak ada lagi orang yang punya uang dalam wujud emas, atau pun fulus (perunggu). Yang kita pegang hanya kertas yang tidak tidak ada harganya, kecuali hanya di tempat tertentu (NKRI) dan di waktu tertentu(selama masih berlaku). Geser sedikit lokasi dan waktunya, koleksi uang kertas kita langsung jadi mainan anak-anak.
Kalau nggak percaya, silahkan jalan-jalan ke Eropa, bawa kertas rupiah, pasti tidak laku. Kita kudu tukar dulu sebelumnya ke money changer.
Atau coba belaja di warung sebelah, pakai uang kertas keluaran tahun 80-an. Pasti ditolak sama penjualnya. Sudah tidak laku uangnya, pak.
Maka ini jadi qadhiyah fiqhiyah muashirah. Apakah uang kertas bisa diqiyas kan dengan emas, sehingga kena zakat? Ataukah sebaliknya bahwa keberadaan emas yang terkena zakat itu bersifat ta'abbudi dan tauqifi?
Ini jelas PR besar buat kita yang hidup di masa kini. Inilah contoh kecil qadhiyah fiqhiyahmuashirah itu terjadi. Dan pastinya akan ada begitu bayak pendapat yang saling berbeda. Dan perbedaan dalam qadhiyah fiqhiyah mu'ashirah sangat kental dan dominan, melebihi kajian fiqih klasik.
Sumber FB : Ahmad Sarwat
9 Mei 2020·