Era Spesialisasi
Perjalanan dakwah di Indonesia sepanjang yang saya amati mengalami masa berbeda-beda.
Biar lebih mudah dipahami, saya bagi dua saja. Tentu sesuai sudut pandang saya, menjadi era pertama dan era kedua.
ERA PERTAMA
Era pertama saya sebut sebagai era semangat berislam. Ini diawali sejak akhir tahun 70-an masuk ke tahun 80-an dan ke tahun 90-an.
Selama kurun 30-an tahun itulah menurut hemat saya, masa-masa bulan madu dakwah era pertama, yaitu era semangat kesadaran berislam. Dengan catatan, ini khusus untuk muslim perkotaan saja.
Masyarakat perkotaan yang dulunya cenderung sekuler, jauh dari agama, dan kadang hedonis serta hipokrit secara perlahan bergerak ke arah agamis.
Mulai banyak tumbuh bangunan masjid, baik yang resmi atau pun masjid dalam instansi, gedung perkantoran, mal, objek wisata bahkan masjid di kampus dan sekolah.
Dulu masjid itu dibangun oleh kiyai, kemudian berubah masjid di bangun oleh bos perusahaan.
Mulai banyak orang pakai jilbab, bahkan sampai artis dan biduan pun berhijab. Merebak sampai dunia fashion dan kosmetik pun ikut trend hijab dan muslimah.
Mulai viral ta'aruf sebagai pengganti pacaran. Mulai ramai walimah Islami yang digelar di masjid.
Merebak juga ke dunia pendidikan, bukan hanya bimbel dan kampus, tapi mulai banyak muncul sekolah berformat agama Islam untuk anak-anak mereka, macam SDIT atau Islami boarding School dan seterusnya.
Kuliner pun mulai ramai dengan kesadaran makanan halal, sehingga MUI banyak dicari untuk dapatkan label halal.
Sistem keuangan syariah non ribawi pun jadi ramai dan semakin ngetrend. Sehingga banyak bermunculan berbahai tawaran investasi berbasis syariah. Sebelumnya juga sudah diperkenalkan bank syariah dan jasa keuangan syariah.
Bahkan merebak juga sampai ke wisata syariah, setelah sebelumnya umrah dan haji jadi sangat marak.
Pendeknya, geliat muslim perkotaan dalam 30 tahun itu mendekat ke agama.
ERA KEDUA
Era kedua tentu merupakan lanjutan era pertama. Semangat keagamaan yang awalnya semata karena rangsangan eforia sesaat, kini tampil lebih pasti, karena sudah mulai didasarkan pada ilmu yang teruji keilmiyahannya.
Bukan sekedar ikut trend dan gaya-gayaan, bukan hanya semangat dan emosi sesaat. Tapi sudah mulai menjadi sistem yang kokoh dan implementatif.
Namun proses sampai kesitu tidak mudah. Sebab era kedua ini tidak mungkin bisa digapai kecuali orang yang berada di era pertama harus sudah mulai sadar.
Selama mereka masih asyik dengan mimpi-mimpi era pertama, maka kesadaran era kedua belum bisa sepenuhnya diharapkan.
Lagi pula era kedua yang saya bilang era ilmu ini punya banyak syarat. Yang paling utama tentu basis keilmuan yang baku.
Kalau di era pertama, siapa saja boleh ngomong syariah, tapi di era kedua yang boleh ngomong hanya mereka yang punya spesialisasi di bidang syariah.
Ustadz yang tidak punya latar belakang pendidikan khusus di suatu bidang agama, maka sudah tidak bisa lagi dijadikan Nara sumber di era kedua.
Era kedua sudah masuk era profesional dan spesialisasi. Sudah tidak bisa lagi sembarangan kayak dulu. Yang jadi narasumber harus benar-benar yang kompeten dan resmi menguasai bidangnya.
Tidak ada lagi kajian tafsir yang diajar oleh tokoh yang bukan ahli tafsir betulan. Kajian fiqih hanya boleh diajar oleh ahli fiqih.
Bersyariat itu bukan sekedar menempel-nempelkan ayat dan hadits pada suatu produk jadi. Tapi langsung ke kajian ilmu hukum syariah di empat mazhab secara mengakar dan mendalam.
Ibarat sekolah SD dan kampus. Di SD guru yang mana saja boleh ngajar pelajaran apa saja. Tapi di kampus, para dosen hanya boleh mengampu mata kuliah sesuai dengan spesialisasinya.
Maka nasehat saya kepada adik-adik dan anak-anak saya sesma ustadz, jangan berhenti belajar. Cuma Lc itu nggak ada apa-apanya untuk era berikutnya. Sekarang ente boleh bangga sekedar sarjana strata satu.
Jangan sampai ente jadi sampah generasi era pertama yang kesasar masuk di era kedua. Lama-lama punah juga sih. Terdesak oleh generasi terbaru yang lebih kekinian.
Soalnya produk lama itu pasti segera ditinggalkan orang. Mirip HP jadul yang cuma bisa telpon dan SMS doang. Akhirnya punah tanpa bekas.
Yang pasti sebentar lagi perubahan zaman akan segera terjadi. Kalau ente tidak punya kafaah yang spesialisasinya jelas, siap terlindas roda zaman.
Jadi narasumber itu tidak sekedar butuh sertifikat, tapi butuh keahlian akademik yang baku dan resmi diakui.
Sumber FB : Ahmad Sarwat
Favorit · 10 Februari 2021 pada 10.06 ·