Dosen hadits saya pernah ditanya di kelas terkait kriteria shahabat. Kalau syarat jadi shahabat itu harus pernah ketemu Nabi SAW, lalu bagaimana dengan orang yang didatangi Nabi SAW dalam mimpinya?
Apakah statusnya jadi selevel dengan shahabat nabi juga?
Sebab, bukankah syetan itu tidak akan mampu menyerupakan diri seperti Nabi SAW. Jadi bisa dikatakan bahwa yang datang itu pasti 100% Nabi SAW.
Dosen kami saat itu menjawab : Bahwa kalau orang yang semasa hidupnya memang pernah ketemu langsung dengan Nabi SAW, lalu mengaku ketemu lagi dengan Nabi SAW dalam mimpi, insyaallah dipastikan benar.
Sedangkan orang yang sama sekali belum pernah ketemu Nabi SAW sebelumnya, kalau dia mengaku didatangi Nabi SAW dalam mimpi, ini jadi masalah dan tanda tanya besar.
Bagaimana caranya dia memastikan bahwa yang datang dalam mimpi itu memang Nabi SAW, padahal seumur hidup dia belum pernah ketemu Nabi SAW? Bukankah dia tidak kenal Nabi SAW?
Terus mau membandingkannya dengan apa?
Kan Nabi SAW tidak boleh dilukis, juga belum ada foto atau video.
Pak dosen melanjutkan bahwa beliau seumur hidup belum pernah ketemu langsung dengan Bung Karno, presiden RI pertama.
Tapi ketika nonton film tentang Bung Karno, beliau bisa membandingkan bahwa pemeran film itu mirip dengan aslinya.
Kok bisa? Kan nggak kenal dengan sosok aslinya?
Ya kan foto Bung Karno itu ada dimana-mana. Film dokumenternya pun banyak di internet. Jadi membandingkan pemeran di film dan sosok tokoh aslinya itu amat sangat mudah.
Lain halnya dengan sosok Nabi SAW. Bagaimana cara kita membandingkan sosok yang muncul dalam mimpi kita, dengan sosok Nabi SAW yang asli?
Kan kita nggak pernah ketemu langsung, foto dan video pun juga tidak ada. Lukisan pun haram.
Saat itu kami pun sekelas terdiam lama. Dalam hati kami berpikir, iya juga sih ya. Logis loh itu dan masuk akal.
Makanya orang yang mengaku bertemu Nabi SAW hanya lewat mimpi, tidak bisa disejajarkan dengan para shahabat Nabi SAW.
Syarat untuk jadi shahabat Nabi adalah harus betul-betul ketemu Nabi SAW secara fisik, bukan hanya mimpi, bukan sekedar bayangan, bukan hanya dengar suara, apalagi hanya hologram.
Bukan banget!!!
Tapi bagaimana dengan banyak ulama yang sering cerita pernah ketemu Nabi SAW dalam mimpi?
Terserah saja, boleh percaya boleh tidak.
Tapi kalau bicara periwayatan hadits, maka metode periwayatan lewat mimpi itu tidak bisa diterima secara disiplin ilmu hadits
Maka bila ada seorang perawi mengaku bertemu dengan perawi di atasnya, tapi bertemunya cuma dalam mimpi, riwayatnya gugur dengan sendirinya.
Apalagi tabi'in misalnya, kok ngaku ketemu Nabi SAW tapi hanya dalam mimpi, maka haditsnya dianggap tidak tersambung kepada Nabi SAW.
Nah bayangkan kalau kita yang terpisah jarak 14 abad dengan Nabi SAW, terus kok ngaku ketemu Nabi SAW dalam mimpi.
Lantas tiba-tiba mengaku-ngaku bisa meriwayatkan hadits Nabi SAW secara langsung tanpa jalur sanad yang baku, jelas haditsnya bukan hanya dhaif tapi masuk hadits palsu, terputus, hasil ngarang, dan tidak terpakai.
Sumber FB : Ahmad Sarwat
19 Desember 2020 pada 19.32 ·