TIGA MACAM GURU
Guru ada itu ada tiga macam. Yang jadi guru, berusaha jadi yang komplit. Pun yang jadi murid, berusaha mendapatkan tiga macam guru ini dengan komplit.
Pertama, Syaikh al-Ta’lim, yaitu guru yang mengajari kita. Guru pertama ini harus ada, agar kita dapat mengetahui hukum berbagai hal dalam kehidupan kita. Beliau mengajari kita ilmu tentang halal dan haram, tatacara ibadah, dan sebagainya.
Kedua, Syaikh al-Tahdzib, yaitu guru yang mengajari akhlak, mengarahkan diri dan cara hidup kita.
Ketiga, Syaikh al-Fath atau guru pembuka hati dan jalan. Tidak semua orang bisa mendapatkan guru ketiga ini. Bahkan terkadang kita tidak mengetahui siapa beliau.
Namun, Habib Abu Bakar bin Abdullah al-Aththas Huraidhah, guru Habib Ali al-Habsyi penulis Simthuddurar mengatakan, “Idza shadaqal murid, wajada syaikhahu amama babihi (Apabila seorang murid bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu, maka dia akan mendapati gurunya di depan pintu rumahnya).”
IMAM AHMAD SEBAGAI SALAH SATU ROLE MODEL
Imam Ahmad seorang alim dan pemberani. Meski demikian beliau masih memerlukan orang yang dapat memberi inspirasi dan menguatkan hati. Putra beliau yang bermana Abdullah bin Ahmad pernah menuturkan, “Aku sering mendengar ayahku berdoa, ‘Semoga Allah merahmati Abu Haitsam. Semoga Allah mengampuni Abu Haitsam.”
Aku pun bertanya, “Siapa Abu Haitsam, Ayah?”
“Kau belum tahu?”
“Belum.”
“Dia adalah Abu Haitsam al-Haddad. Pada hari aku akan dicambuk dan aku serahkan tanganku di hadapan para algojo, tiba-tiba ada seorang lelaki menarik bajuku dari belakang. Ia berkata, ‘Kau mengenaliku?’ Aku jawab, ‘Tidak.’ Lalu ia berkata, ‘Aku adalah Abu Haitsam, seorang pencuri, yang telah ditulis dalam keputusan Amirul Mukminin bahwa aku harus dicambuk sebanyak 18.000 kali dengan acak. Aku menghadapinya dengan sabar. Padahal aku menerima hukuman itu sebab ketundukan pada setan dan demi dunia. Maka bersabarlah, karena engkau menerima hukuman itu demi ketaatanmu pada Allah dan demi agama.” (Abdul Ghani al-Maqdisi, Mihnat al-Imam Ahmad, hal. 148)
Imam Ahmad bin Hanbal juga pernah merasa terbuka hati dan pikiran beliau setelah mendengar ucapan seorang badui (udik). Beliau mengatakan:
ما سمعت كلمة منذ وقعت في هذا الأمر أقوى من كلمة أعرابي كلمني بها في رحبة، قال: يا أحمد، إن يقتلك الحق، مت شهيداً، وإن عشت، عشت حميداً، فقوى قلبي.
“Sejak aku mengalami kejadian ini, aku tidak pernah mendengar ucapan yang lebih kuat dari ucapan seorang badui. Ia mengatakan kalimat itu di lapangan pelaksanaan hukuman, ‘Wahai Ahmad, jika kebenaran sampai membuat kamu mati, maka kau mati sebagai martir. Jika kau hidup, maka kau hidup dalam keadaan terpuji.’ Mendengar kalimat itu, hatiku menjadi mantap.” (Siyar A’lam al-Nubala, Vol. 11, 241)
#SELAMAT_HARI_GURU
Sumber FB : Faris Khoirul Anam
25 November 2020·