SYAIKH IBNU TAYMIYAH DAN FILSAFAT ARISTOTELES
Dalam akidah Ahlussunnah wal Jamaah, ditekankan bahwa satu-satunya prima causa atau sebab utama yang menyebabkan setiap detail kejadian adalah Kuasa Allah subhanahu wata'ala. Karena itu, maka dalam kredo mereka dinyatakan bahwa api tidak mempunyai kuasa membakar sebagaimana makanan juga tidak mempunyai kuasa untuk menyebabkan kenyang. Kuasa semacam itu hanya dimiliki oleh Allah semata. Adapun yang sehari-hari kita lihat adalah kebiasaan Allah (sunnatullah) yang selalu menciptakan kebakaran tatkala api menyentuh kertas atau benda lain dan selalu menciptakan kenyang tatkala makanan dimakan.
Meskipun kebiasaan Allah itu ajeg dalam arti terjadi terus menerus secara konsisten hingga saintis menyebutnya sebagai hukum alam, namun bagi para teolog Ahlussunnah itu tidak membuktikan bahwa api atau makanan mempunyai kuasa mandiri dalam dirinya sendiri untuk menyebabkan terbakar atau kenyang. Relasi api dan terbakar dalam perspektif akidah Ahlussunnah adalah relasi kebersamaan, bukan relasi sebab dan akibat yang harus terjadi.
Karena hanya bersifat kebiasaan (sunnatullah), maka sangat mungkin bila Allah berkehendak berbeda dari biasanya tanpa ada kesulitan apapun atau terikat dengan aturan main (hukum alam) apa pun. Kehendak Allah yang tidak seperti biasa ini terlihat dalam mukjizat para Nabi, karamah para wali atau kadang ma'unah bagi orang biasa yang dikehendaki Allah.
Tetapi bagi Syaikh Ibnu Taymiyah berbeda. Baginya, benda-benda seperti api atau makanan mempunyai kuasa sendiri dan karena itu dapat menjadi sebab terjadinya terbakar atau kenyang. Secara terang-terangan dalam hal ini ia mengakui berbeda pendapat dengan para pengikut Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad yang notabene mayoritas ulama. Apakah ia mengikuti salaf bila demikian? Jelas tidak.
Dalam klaimnya, pendapatnya tersebut justru adalah apa yang dipahami oleh seluruh manusia dan juga sesuai dengan dalil sebab orang-orang tahunya bahwa terbakar disebabkan oleh adanya api dan kenyang disebabkan oleh makan makanan. Namun sebenarnya, kata Syaikh al-Buthi pendapat semacam ini adalah pendapat filsafat Aristotelian. Dengan demikian ada pengaruh filsafat dalam pemikiran beliau.
Soal dalil, justru dalil al-Qur'an jelas mendukung pendapat mayoritas ulama, bukan pendapat filsafat beliau itu. Simak saja misalnya pernyataan dalam al-Qur'an bahwa langit ditahan oleh Allah agar tidak runtuh (collapse). Bila misalnya kita sebut bahwa benda langit dan bumi punya kuasa mandiri berupa daya dorong dan gravitasi yang seimbang sehingga tetap terjaga di orbitnya, maka berarti sebenarnya Allah tidak punya peran apa pun. Perannya hanya seperti tukang jam yang merancang sistem pertama kali lalu tidak punya apa pun dalam gerak jam tersebut. Secara akidah, ini bermasalah serius meskipun dalam pembahasan ilmu empiris sisi ini biasanya tidak dibahas.
Sedikit menyimpang dari bahasan, dalam poin ini dapat dimengerti mengapa bagi ulama ahli hakikat, hal yang paling sulit dilakukan adalah melupakan Allah sebab yang terlihat dalam semua gerak semesta adalah Kuasa Allah. Kuasa Allah inilah yang dalam al-Qur'an sering disinggung dengan uangkapan bahwa dalam berbagai hal ada ayat-ayat (tanda kekuasaan) Allah. Ini pula lah level para Ulul Albab yang selalu mengingat Allah dalam setiap situasi dan berpikir tentang ciptaan Allah. Namun bila kita mengikuti filsafat Aristoteles yang diikuti oleh Syaikh Ibnu Taymiyah, nampaknya perlu menapak jalan terjal dan putaran berbelit-belit untuk sampai pada level ini sebab kuasa Allah dipindah menjadi kuasa benda-benda ciptaan Allah.
*Sekelumit hasil bacaan dan tambahan syarah pribadi atas uraian buku yang masih fresh (terbit 2020) karya Prof Dr Muhammad Salim Abu Ashi, mantan dekan Studi Pancasarjana Univ al-Azhar, yang berjudul "Ibnu Taymiyah Wa Naqdat Fil Aqidah". Catatan biar gak hilang.
Sumber FB : Abdul Wahab Ahmad
12 November 2020·