Menilai Makalah
Dosen saya kalau menilai makalah yang saya tulis cuma melirik ke barisan paling bawah halaman yaitu footnote atau halaman paling akhir yaitu daftar pustaka.
Dengan mengecek daftar pustaka, Beliau sudah bisa memposisikan kualitas dan kadar keilmiyahan karya mahasiswanya.
Misalnya, ketika menyebut rujukan kitab fiqih mazhab tertentu, ternyata kita tidak sampai merujuk ke kitab induknya, cuma merujuk ke kitab sampingan, maka langsung kena semprot.
Begitu juga misalnya kalau mengutip hadits, ternyata bukan ke kitab asli perawinya langsung, habis lah kita dimaraharinya.
Jangan sekali-kali mencantumkan nomor hadits, bakalan jadi sasaran empuk beliau. Kudu disebutkan judul kitab, nama penyusun, lalu penerbit, tahun terbitan, jilid, no halaman dan seterusnya.
Sebab nomor hadits itu sendiri bukan standar baku dalam pencantuman rujukan ilmiyah kitab hadits. Sebab aslinya hadits-hadits itu memang tidak dinomori oleh penyusunnya.
Yang menomori justru penerbitnya. Beda penerbit beda nomor hadits. Bahkan beda tahun cetakan terbitan, beda lagi nomornya.
Saya pernah menerjemahkan kitab Bulughul Maram, ternyata puyeng ketika menuliskan nomor haditsnya. Karena saya pakai beberapa versi penerbit, rupanya tiap penerbit punya versi nomor yang berbeda. Apalagi kalau baca kitab Syarahnya, nomornya beda lagi.
Maka kalau tugas makalah dari dosen satu ini, kita kudu hati-hati sekali dalam bab rujukan.
...
Setelah melirik footnote dan daftar pustaka, dosen saya akan mengecek kutipan atas kitab rujukan itu.
Rupanya beliau hafal sekali siapa saja tokoh-tokoh ulama yang menulis berbagai kitab rujukan, sekaligus hafal apa pendapat masing-masingnya.
Dan ketika kutipan kita terasa ngambang, beliau akan bertanya begini : Yakinkah Anda membaca langsung dari kitabnya? Atau Anda cuma mengutip dari kutipannya orang lain?
Nah kalau sudah sampai ke pertanyaan kayak gitu, namanya sudah chakmat, skak ster. Maju raja mati mundur perdana menteri mati.
Paling cuma ngaku salah sambil menunduk. Kalau cuma dinasehati awas jangan diulangi, masih mending.
Tapi kalau makalah kita diremes-remes lalu dibuang tong sampah, hmm menjret lah awak.
Tapi punya dosen killer macam ini ada bagusnya juga. Kita jadi nggak asal-asalan kalau menulis.
Tahu kalau menulis makalah itu susah, saya pun berinisiatif untuk menyimpan semua makalah saya, bahkan karya teman sekelas yang sudah dibagikan.
Minimal buat kenang-kenangan. Saya bawa ke tukang foto copy untuk saya jilid dan saya bundel.
Ketika saya sudah selesai kuliah, simpanan bundel makalah masih saya simpan. Kadang saya buka-buka lagi, setidaknya buat mengingat-ingat pelajaran lama.
Nanti kalau misalnya harus menulis tema seperti yang ada di makalah itu, saya sudah punya bahan.
Beberapa makalah itu ada juga yang saya foto lalu saya kirim ke teman lama. Mereka kaget, yang nulis makalah malah sudah tidak punya lagi kopiannya. Kok malah saya punya.
Sekarang saya lagi menulis ulang semua makalah yang pernah ditugaskan kepada kami sewaktu masih kuliah dulu.
Mau saya perbaiki dan sempurnakan, biar bisa menjadi karya yang dinikmati banyak orang.
...
8 September 2020·