By. Ahmad Sarwat, Lc.MA
Wah saya bukan belain, tapi saya tahunya memang cuma itu. Mohon maaf sekali dan bukan apa-apa juga, sebab saya belajar agamanya memang lewat jalur mazhab yang tersedis di depan mata, yaitu mazhab Syafi'i.
Mungkin kalau saya lahir di India, Pakistan, Turki, boleh jadi saya bermazhab Hanafi.
Atau kalau bapak saya orang Saudi dan saya sejak kecil belajar agama di Saudi, mungkin saya pun bermazhab Hambali.
Atau misalnya engkong saya orang Maroko dan saya tinggal di rumah si engkong, bisa jadi saya bermazhab Maliki.
Tapi saya orang Indonesia, ngaji belajar agama dari kecil sama ulama Indonesia. Wajar dong kalau mazhab saya Syafi'i.
Sebab satu-satunya mazhab fiqih yang ada disini, cuma mazhab Syafi'i. Mazhab lainnya bukan tidak ada, tapi sinyalnya terlalu lemah dan nyaris tidak tertangkap di kawasan Asia Tenggara sebelah sini.
Maka kalau bicara fiqih, kok rada kesyafi'i-syafi'iyan, ya wajar lah. Memang ngajinya kepada ulama mazhab Syafi'i. Kitabnya pun pakai kitab Syafi'i pastinya.
Mohon maaf, kitab fiqih mazhab lain tidak ada yang jual di negara kita.
Justru kalau ujug-ujug belain mazhab lain, kok jadi aneh rasanya. Nggak belajar mazhab itu kok tiba-tiba jadi pembelanya?
Tidak pernah ngaji kitabnya kok malah ngaku-ngaku. Aneh kan?
Kenapa Tidak Mentarjih?
Ada juga yang tanya ke saya, kalau menyampaikan fiqih perbandingan mazhab kok tidak memberi kesimpulan, mana pendapat paling kuat?
Kenapa orang dibikin bingung, cuma diberi pilihan-pilihan, tapi tidak berani ngaku pilih yang mana?
Bukannya kayak gitu itu sifatnya banci?
Walah, banci kok dibawa-bawa, ya.
Sebenarnya ketika saya mengutip pendapat mazhab A B C dan D, semuanya itu adalah kesimpulan akhir yang benar semuanya.
Maksudnya, pendapat itu sudah hasil tarjih yang paling shahih di masing-masing mazhab. Maka sudah tidak perlu lagi ditarjih. Memtarjih yang sudah ditarjih lan sebenarnya pekerjaan yang agak sia-sia.
Tidak ada sedikit pun kewajiban untuk melakukan tarjih atas mazhab fiqih yang sudah eshtablish 14 abad lamanya.
Lagian, siapa lah kita ini. Yang pasti kita bukan mujtahid, bahkan juga bukan muttabi'. Level saya ini 100% muqallid, bisanya cuma taqlid doang.
Lagian, lucu saja, saya yang nggak ngerti ilmu ushul kok sok belagak mentarjih. Kalau ente tanya saya, apakah saya hafal 500 ribu hadits, pasti saya geleng kepala. Tanya lagi apakah saya hafal Al-Quran, saya juga tetap geleng kepala.
Saya tidak paham Al-Quran kecuali kalau baca kitab tafsir. Saya juga tidak paham Hadits, kecuali kalau sudah baca kitab syarah hadits.
Kayak gini masak sok petantang petenteng ngaku-ngaku sebagai orang yang bisa mentarjih mazhab fuqaha? Tahu diri lah.
Jadi kalau isi pendapat saya miring ke mazhab Syafi'i, ya mohon maklum saja karena saya memang taqlider alias muqallid.
Apakah taqlid itu keliru?
Kalau taqlidnya kepada yang bukan ahlinya, pastinya keliru. Taklid masalah fiqih kepada bukan ahli fiqih, jelas keliru dan offside.
Tapi kalau taqlidnya kepada ahli fiqih, maka itu adalah taqlid yang right on the track.
Baca juga kajian ulama tentang mazhab berikut :
- Imam Besar Madzhab Maliki Membahas Sifat Kalam Allah
- Cara Mengangkat Jari Telunjuk Saat Tahiyat Dari Madzhab Empat
- Meski Tak Sepakat, Hargai Jugalah ‘Mazhab’ Masyarakat
- Mazhab Hambali Jalur yang Mana Anda Ikuti?
- Tampil Beda
Sumber FB : Ahmad Sarwat
13 September 2020·