Fiqih Ikut Imam Syafi’i Tapi Akidah Ikut Imam Asy’ari, Kok Bisa?
Oleh : Yendri Junaidi
Seorang akh fadhil mengirimi saya buku kecil yang ditulis oleh Ustadz Abu Ubaidah (UAU) yang isinya membantah Ustadz Abdul Shomad (UAS) tentang pembahasan ‘dimana’ Allah.
Saya pribadi mengapresiasi bantahan tersebut, dimana UAU mencoba memaparkan masalah dari sudut pandang yang menurutnya UAS tergelincir di dalamnya. Bantahan itu juga didukung oleh berbagai nukilan dari para ulama.
Sebagai sebuah tradisi ilmiah ini tentu sesuatu yang positif. Hanya sayangnya, ada kalimat-kalimat yang menurut saya sudah melanggar etika munazharah, misalnya dengan menyebut pihak yang berbeda sebagai kelompok menyimpang dan dibantu oleh syetan.
☆☆☆
Saya tidak akan membela UAS jika memang beliau keliru. Karena UAS adalah manusia yang bisa benar bisa salah. Membela seseorang atas dasar suka, kedekatan, se-almamater, se-manhaj dan sebagainya, tanpa melihat substansi yang diperdebatkan untuk menilai benar-salah, tentu ini fanatisme buta yang dilarang agama. Tapi jika ternyata bantahan tersebut tidak pada tempatnya, atau bahkan membuat banyak orang menjadi salah paham, sesuatu yang benar dianggap salah atau sebaliknya, tentu kita perlu bersuara untuk –seperti kata orang Minang- mamulangkan gagang ka tampuaknyo.
Tentu untuk merespon atau memberikan catatan atas buku yang ditulis UAU tidak akan cukup disampaikan dalam beberapa halaman saja. Namun sebagaimana kata ahli ushul ; ma la yudraku kulluh la yutraku kulluh aw julluh (kalau tidak semua, jangan ditinggalkan semua).
☆☆☆
Yang cukup menggelitik bagi saya adalah pernyataan UAU dalam muqaddimah bukunya. Ia merasa heran, kenapa orang-orang yang menisbatkan diri kepada Imam Syafi’i dalam permasalahan fiqih tapi dalam masalah akidah menisbatkan diri kepada Imam Asy’ari. Menurutnya ini adalah sebuah kontradiksi. Bahkan, lanjutnya, Imam Syafii tentu berlepas diri dari orang yang seperti ini.
Saya sendiri juga merasa heran kenapa UAU merasa heran melihat hal itu? Merasa heran terhadap sesuatu yang tak patut diherankan tentu akan mengherankan. Sepertinya banyak hal yang sesungguhnya tidak mengherankan kadang dilihat sebagian orang mengherankan. Sebagaimana banyak hal yang seharusnya mengherankan justeru dinilai biasa-biasa saja.
☆☆☆
Imam Tajuddin as-Subki menegaskan bahwa seluruh ulama bermazhab Malikiyyah adalah Asya’irah. Mayoritas ulama bermazhab Syafi’iyyah juga Asya’irah, kecuali segelintir yang menjadi Mujassimah atau Muktazilah. Kebanyakan ulama bermazhab Hanafiyyah juga Asya’irah. Sebagian lainnya memilih mazhab Maturidiyyah. Ulama-ulama mutaqaddimin terkemuka dalam mazhab Hanabilah juga Asya’irah. Walaupun memang banyak dari mereka menjadi Mujassimah (Thabaqat Syafi’iyyah Kubra 3/378).
Hal yang sama juga disampaikan oleh Imam Izzuddin bin Abdussalam (Syafi’iyyah), Imam Ibnu al-Hajib (Malikiyyah) dan Imam al-Hashiri (Hanafiyyah). Ditegaskan juga oleh Imam Ibnu ‘Asakir dalam Tabyin Kadzib al-Muftari.
Jadi ini adalah pilihan ribuan ulama sejak dahulu. Dalam bidang furu’ mereka memilih salah satu mazhab yang empat (Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, atau Hanabilah), tapi dalam masalah ushul atau akidah mereka memilih Asy’ariyyah. Jadi adalah hal yang sangat biasa ketika seorang alim itu Hanafiyy Asy’ariy, Malikiyy Asy’ariy, Syafi’iy Asy’ariy atau Hanbaliy Asy’ariy.
Jika demikian, bukankah kita yang seharusnya merasa heran melihat orang yang heran terhadap sesuatu yang sama sekali tidak mengherankan?
☆☆☆
Pertanyaannya, kenapa mereka memilih berintisab kepada Imam Abul Hasan al-Asy’ari dalam masalah akidah? Bukankah akan lebih total kesyafi’iyyahannya, kalau seorang ulama bermazhab Syafi’i juga berintisab kepada Imam Syafi’i dalam masalah akidah? Begitu juga dengan ulama bermazhab Maliki berintisab kepada Imam Malik dan ulama bermazhab Hanafi berintisab kepada Imam Abu Hanifah dalam masalah akidah juga?
Pertama, pilihan seorang alim untuk berintisab pada orang yang lebih alim darinya, baik dalam masalah furu’ maupun ushul, tidaklah dilakukan secara asal-asalan. Ia tidak seperti memilih menjadi penggemar Real Madrid atau MU (ups maaf, jadi kemana-mana…).
Ketika seorang alim memilih berintisab kepada Imam Syafi’i dalam masalah furu’, berarti ia melihat bahwa pendapat atau mazhab Imam Syafi’i dalam bidang ini jauh lebih kuat dibandingkan mazhab yang lain, dan ini yang akan ia ikuti.
Jika ia seorang yang ilmunya dalam (rasikh), ia bisa saja membuat mazhab sendiri dan menisbahkan itu pada dirinya. Tapi pada akhirnya, ia menyadari bahwa hasil ijtihadnya tidak akan jauh berbeda dari ijtihad-ijtihad Imam Syafi’i. Kalau begitu maka hasrat untuk membuat mazhab sendiri dalam konteks ini tidak lebih sekedar memenuhi syahwat dan keinginan untuk dikenal dan dikenang.
Kedua, ketika seorang alim memilih berintisab kepada Imam Syafi’i dalam masalah furu’, hal ini karena ijtihad-ijtihadnya dalam bidang fiqih sudah tercatat dengan baik, jelas dan utuh, dikaji dan dijaga oleh para muridnya serta bisa dipertanggungjawabkan otentisitasnya.
Hal ini tidak terjadi pada pendapat Imam Syafi’i dalam bidang akidah. Ia tidak menuangkan secara khusus pendapat-pendapatnya dalam bidang akidah dalam bentuk yang utuh untuk dijadikan sebagai rujukan dan dapat dipertanggungjawabkan orisinilitasnya.
Memang ada perkataan-perkataan beliau yang berkaitan dengan masalah akidah yang dinukil oleh beberapa muridnya seperti Imam Muzani, Imam ar-Rabi’ dan lain-lain. Tapi itu tidak mencakup seluruh pembahasan tentang akidah. Sehingga untuk berintisab kepada Imam Syafi’i dalam bidang akidah, padahal tidak ada sumber yang bisa dijadikan rujukan untuk melihat akidah Imam Syafii secara utuh dan menyeluruh, tentu sesuatu yang gegabah.
Adapun kitab yang ditulis oleh Imam al-Hakkari berjudul I’tiqad Imam Syafi’I, ini juga tidak serta merta bisa dijadikan sebagai rujukan untuk melihat bagaimana akidah Imam Syafi’i secara utuh. Pertama, karena isinya tidak menyinggung seluruh hal yang berkaitan dengan akidah. Kedua, Imam Hakkari sendiri hidup di abad kelima hijriah. Berarti jarak antara beliau dengan Imam Syafi’i sekitar 2-3 abad. Maka, mesti dikaji juga keshahihan setiap penukilan Imam Hakkari dari Imam Syafi’i. Belum lagi kalau dihadapkan pada ushul (pokok-pokok pemikiran) Imam Syafi’i yang tersebar di berbagai kitab beliau, apakah ada kesesuaian atau malah kontradiktif. Jadi tidak sesederhana itu untuk menisbahkan sesuatu pada seorang imam.
Ini berbeda dengan peninggalan Imam Syafii dalam bidang fiqih. Tidak ada yang meragukan bahwa kitab al-Umm adalah karya beliau. Begitu juga dengan kitab ar-Risalah. Dan kitab-kitab yang lain yang sudah pasti penisbahannya pada beliau, sehingga bisa dikatakan bahwa mazhab Imam Syafi’i dalam bidang fiqih begini (dengan merujuk pada kitab al-Umm), dalam bidang Ushul Fiqih begini (dengan merujuk kepada kitab ar-Risalah).
Ketiga, para ulama Syafi’iyyah memilih berintisab kepada Imam Abul Hasan al-Asy’ari karena mereka melihat bahwa Imam Asy’ari yang benar-benar konsen terhadap masalah akidah. Pendapat-pendapatnya dalam bidang akidah terangkum dengan baik dalam berbagai kitab yang ditinggalkannya. Walaupun ada beberapa kitab yang diragukan penisbahannya kepada beliau, tapi secara umum kitab-kitab yang terbukti benar penisbahannya sudah bisa menjadi acuan untuk melihat bagaimana pandangan beliau dalam bidang akidah.
Para ulama juga melihat bahwa akidah Imam Asy’ari sesuai dengan akidah salaf shalih. Jadi, ketika mereka menisbahkan diri kepada Imam Asyari dalam bidang akidah, tidak berarti mereka menyelesihi Imam Syafi’i seperti yang dituduhkan UAU. Karena akidah yang digariskan oleh Imam Asy’ari pada hakikatnya merupakan imtidad (perpanjangan) dari akidah para salaf shaleh, diantaranya adalah Imam Syafi’i. Jadi bermazhab Syafi’i dalam furu’ jangan dipertentangkan dengan bermazhab Asy’ari dalam ushul. Seperti mempertentangkan Yendri al-Minangkabawi (orang Minang) dengan ia sebagai al-Azhari (alumni Azhar). Tentu tidak kena.
Perhatikan penjelasan Imam as-Subki berikut :
اعلم أن أبا الحسن لم يبدع رأيا ولم ينشئ مذهبا وإنما هو مقرر لمذاهب السلف مناضل عما كانت عليه صحابة رسول الله صلى الله عليه وسلم فالانتساب إليه إنما هو باعتبار أنه عقد على طريق السلف نطاقا وتمسك به وأقام الحجج والبراهين عليه فصار المقتدى به فى ذلك السالك سبيله فى الدلائل يسمى أشعريا (طبقات الشافعية الكبرى 3/365)
“Ketahuilah, sesungguhnya Abu Hasan (al-Asy’ari) tidak menciptakan pendapat atau mazhab yang baru. Yang ia lakukan sebenarnya adalah mengukuhkan mazhab salaf dan memperjuangkan apa yang telah ditinggalkan oleh para sahabat. Jadi, berintisab kepadanya adalah dalam konteks ia yang memberikan wadah dan jalan untuk memahami metode salaf, ia yang memperjuangkan dan berpegang teguh dengannya, dan ia yang membangun berbagai argumentasi untuk menguatkannya. Karena itulah, setiap orang yang mengikuti metode yang telah dibentangkannya disebut sebagai Asy’ari.”
Ini diperkuat juga dengan penjelasan Imam al-Maayurqi :
لم يكن أبو الحسن أول متكلم بلسان أهل السنة إنما جرى على سنن غيره وعلى نصرة مذهب معروف فزاد المذهب حجة وبيانا ولم يبتدع مقالة اخترعها ولا مذهبا انفرد به ألا ترى أن مذهب أهل المدينة نسب إلى مالك ومن كان على مذهب أهل المدينة يقال له مالكى ومالك إنما جرى على سنن من كان قبله وكان كثير الاتباع لهم إلا أنه لما زاد المذهب بيانا وبسطا عزى إليه كذلك أبو الحسن الأشعرى لا فرق ليس له فى مذهب السلف أكثر من بسطه وشرحه وتواليفه فى نصرته
“Abul Hasan bukan orang pertama yang berbicara dengan lisan ahlussunnah. Ia hanya berjalan di atas rel yang telah dilewati orang-orang sebelumnya. Hanya saja ia lebih dikenal dengan hal itu (masalah akidah). Ia juga yang membuat metode itu menjadi lebih jelas dan kuat. Ia tidak membuat sesuatu yang baru atau mazhab pribadi. Ini tidak bedanya dengan mazhab Malikiyyah, ketika mazhab ulama Madinah dinisbahkan kepada Imam Malik. Bukan karena Malik yang menciptakannya. Ia hanya melanjutkan dan mengokohkan mazhab yang sudah ada. Hanya saja ia yang berjasa membuat mazhab itu menjadi lebih jelas, rinci, dan luas, sehingga setiap orang yang menempuh metode yang sama dinisbahkan kepadanya ; Malikiyyah. Begitu juga halnya yang terjadi pada Abul Hasan al-Asyari. Tidak ada beda. Yang dilakukan oleh Abul Hasan pada mazhab salaf hanyalah menjelaskan, memperkuat, membentangkan dan menulis berbagai buku untuk membelanya.”
☆☆☆
Jika dibahas lagi tentu ini bisa semakin panjang, bak kata orang Minang : kok dirantang namuanyo panjang, rancak dipunta bianyo singkek… 😁
Kita tutup dengan satu poin penting kenapa para ulama dalam masalah furu memilih salah satu mazhab fiqih yang ada, sementara dalam masalah ushul memilih mazhab akidah, baik Asy’ari atau Maturidi :
Dalam mengambil sesuatu, baik furu’ maupun ushul, mereka mengambilnya dari ahlinya, dari orang-orang yang telah mewakafkan hidupnya untuk itu, mengorbankan waktu dan segala potensinya untuk mengkaji hal itu. Maka, dalam bidang furu’ mereka memilih menjadi Hanafi, Maliki, Syafi’i atau Hanbali. Tapi dalam masalah ushul atau akidah mereka memilih Asy’ari atau Maturidi. Mereka tentu tidak meragukan kedalaman ilmu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad dalam bidang ushul atau aqidah. Hanya saja mereka melihat pada imam itu lebih berkonsentrasi pada bidang furu’. Sementara dalam bidang ushul, ada yang lebih berkonsentrasi untuk itu, yaitu Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. رحمهم الله جميعا ورضي عنهم
إذا وسد الأمر إلى غير أهله فانتظر الساعة
Sumber FB : Yendri Junaidi
18 Agustus 2020·