Benarkah Asy'ariyah Mendahulukan Akal daripada Teks Al-Qur’an dan Hadits?
Ada sebagian orang dewasa ini yang mengatakan bahwa mazhab aqidah mayoritas kaum muslimin, yakni Asy'ariyah, selalu mendahulukan akal daripada teks hadits apabila keduanya bertentangan. Misalnya Dr. Sa’id Abdul Adhim yang mengatakan dalam bukunya sebagai berikut:
مصدر التلقي عند الأشاعرة هو العقل وقد صرح الجويني والرازي والبغدادي والغزالي والآمدي والإيجي وابن فورك والسنوسي وشراح الجوهرة وسائر أئمتهم بتقديم العقل على النقل عند التعارض مخالفين بذلك ما كان عليه سلفنا الصالح من تقديم النقل على العقل عند التعارض
“Sumber validitas menurut ulama Asy'ariyah adalah akal. Ar-Razi, al-Baghdadi, al-Ghazali al-Amudi, al-Iji, Ibnu Furak, as-Sanusi dan para pensyarah kitab Jauharah at-Tauhid dan seluruh imam-imam mereka menyatakan agar mendahulukan akal dari teks ketika ada pertentangan. Berbeda dengan apa yang dilakukan oleh salafush shalih yang mendahulukan teks daripada akal ketika ada pertentangan.” (Sa’id Abdul Adhim, Manhaj Ibnu Taymiyah at-Tajdîdî as-Salafî wa Da‘watihi al-Ishlâhiyyah, halaman 139).
Anggapan seperti itu bermula dari kesalahpahaman terhadap pernyataan-pernyataan para ulama Asy’ariyah dalam kitab-kitab mereka yang sepintas mendahulukan akal daripada teks. Padahal yang dimaksud para ulama itu bukan seperti apa yang disangka sebagian orang bahwa apabila suatu teks Al-Qur'an atau Hadits mengatakan A tetapi akal mengatakan B maka yang benar adalah B—sama sekali bukan demikian. Yang sebenarnya mereka maksud adalah seperti dijelaskan oleh Imam al-Ghazali berikut ini:
واطلعوا على طريق التلفيق بين مقتضيات الشرائع وموجبات العقول وتحققوا أن لا معاندة بين الشرع المنقول والحق المعقول
“Ulama Ahlussunnah wal Jamaah memandang dengan cara menggabungkan antara ketentuan syariat dan kepastian akal. Dan, mereka menyimpulkan dengan seksama bahwa tidak ada pertentangan antara teks syariat dengan kebenaran rasional.” (Imam al-Ghazali, al-Iqtishad fi al-I’tiqad, halaman 9)
Jadi, pada hakikatnya ulama Asy'ariyah meyakini bahwa keputusan akal yang benar tidak mungkin bertentangan dengan ajaran yang dibawa oleh teks syariat. Karena itu, maka antara akal dan teks syariat harus digabungkan dan saling melengkapi.
Selanjutnya Imam al-Ghazali menjelaskan situasi di mana teks syariat seolah bertentangan dengan ketetapan akal. Beliau berkata:
كل ما ورد السمع به ينظر، فإن كان العقل مجوزاً له وجب التصديق به قطعاً…وأما ما قضى العقل باستحالته فيجب فيه تأويل ما ورد السمع به ولا يتصور أن يشمل السمع على قاطع مخالف للمعقول، وظواهر أحاديث التشبيه أكثرها غير صحيحة، والصحيح منها ليس بقاطع بل هو قابل للتأويل، فإن توقف العقل في شيء من ذلك فلم يقض فيه باستحالة ولا جواز وجب التصديق أيضاً لأدلة السمع
“Segala sesuatu yang dibawa oleh teks syariat harus diperinci; apabila akal dapat menerimanya maka wajib membenarkan teks tersebut secara pasti. Adapun apa yang diputuskan sebagai hal yang mustahil oleh akal maka wajib mentakwil teks tersebut sebab tidak mungkin dibayangkan bahwa ada teks syariat yang berlawanan dengan keputusan akal yang sudah pasti kebenarannya. Adapun makna lahir dari hadits-hadits yang menunjukkan adanya keserupaan antara Allah dan makhluk, kebanyakan adalah tidak shahih. Hadits yang shahih tentang itu juga tidak mempunyai makna yang pasti tetapi masih bisa ditakwil. Apabila akal tidak bisa memutuskan tentang hal itu sehingga tidak bisa menetapkan kemustahilan atau kebolehannya maka wajib akal tunduk pada dalil-dalil tekstual.” (Imam al-Ghazali, al-Iqtishad fi al-I’tiqad, halaman 115-116)
Dari keterangan Imam al-Ghazali itu, dapat disimpulkan dua hal, yaitu:
1. Bila dalil tekstual bukan sesuatu yang mustahil menurut akal, maka wajib diterima sepenuhnya. Misalnya dalil tekstual yang menyatakan bahwa Allah Maha Melihat dan Maha Mendengar, bahwa nanti ada surga dan neraka, bahwa manusia akan mempertanggungjawabkan perbuatannya di alam kubur maupun di akhirat dan seterusnya.
2. Bila makna dhahir suatu dalil tekstual adalah mustahil menurut akal, maka makna tersebut wajib ditakwil, baik secara global (tafwidh atau dipasrahkan makna spesifiknya kepada Allah) maupun secara terperinci (ditentukan maknanya secara spesifik menurut ungkapan yang berlaku dalam bahasa Arab).
Misalnya ketika dalil tekstual menyatakan bahwa Allah berada di depan orang yang sedang shalat, bahwa Allah lebih dekat dengan urat leher, bahwa Allah istawa (bersemayam, red) di atas Arasy, dan seterusnya. Dalil-dalil seperti itu dapat dibaca apa adanya tanpa dibahas maknanya secara spesifik (tafwidh) atau boleh juga ditakwil menjadi pengawasan Allah yang selalu menyertai manusia dan bahwasanya Allah berkuasa mutlak atas segala makhluknya yang disimbolkan dengan kekuasaan mutlaknya atas Arasy selaku makhluk terbesar.
Penggunaan akal dalam memahami dalil tekstual seperti itu tidak hanya dilakukan oleh ulama Asy'ariyah, tetapi dilakukan oleh seluruh ulama. Apabila akal tidak boleh ikut campur dalam memahami dalil tekstual maka yang ada dalil tekstual hanya akan tampak bertentangan satu sama lain. Karena itulah maka tidak ada satu pun ulama yang bisa menghindar dari takwil, meskipun dia mengaku anti-takwil sekalipun. Ketika dalam Surat al-A’raf ayat 51 dinyatakan, yang artinya: “Pada hari ini Aku melupakan mereka seperti halnya mereka melupakan pertemuan dengan hari ini”, tak ada satu pun ulama yang memahami bahwa Allah bisa lupa sebab ini bertentangan dengan ketentuan akal. Mereka sepakat mentakwil sifat “lupa” itu menjadi ketiadaan rahmat dari Allah bagi orang-orang kafir.
Dalam konteks seperti itulah pernyataan para ulama Asy’ariyah yang seolah mendahulukan akal itu harus dipahami. Adapun dalam konteks yang tidak bermasalah secara akal, maka ulama Asy’ariyah sepenuhnya mewajibkan ketundukan akal kepada teks syariat. Sikap ini adalah jalan yang ditempuh para ulama salaf, baik dalam permasalahan fiqih maupun aqidah.
Bila kita melihat kasus per kasus yang diajarkan dalam aqidah Asy’ariyah, justru kita akan tahu bahwa sejatinya Asy’ariyah menundukkan akal di bawah dalil tekstual. Kesimpulan ini sangat terlihat dari contoh kasus berikut:
1. Penentuan baik dan buruk.
Dalam hal ini, Asy’ariyah sepakat bahwa kebaikan dan keburukan hanya bisa ditentukan oleh teks syariat. Apa yang diputuskan sebagai kebaikan oleh syariat maka itu adalah baik meskipun akal menganggapnya buruk, contohnya adalah tetap salat (semampunya) sewaktu sakit parah. Sebaliknya, apa yang diputuskan sebagai keburukan oleh syariat maka itu adalah buruk meskipun akal menganggapnya baik, contohnya adalah mendapat kekayaan dari hasil perjudian, minum khamr untuk menghangatkan badan dan pergaulan bebas. Demikian pula dengan hal yang tidak diputuskan sebagai baik atau buruk oleh akal, maka untuk menentukan baik buruknya juga harus dipasrahkan kepada syariat, contohnya: memakan hewan yang tak memenuhi syarat sah penyembelihan. Secara akal, sama saja antara hewan yang mati disembelih syar’i dan yang tidak, namun dalam hal ini akal harus tunduk pada syariat yang hanya menghalalkan hewan yang mati karena disembelih secara syar’i.
2. Melihat Allah di akhirat tanpa arah dan tata cara tertentu.
Muktazilah menganggap mustahil melihat Allah di akhirat sebab menurut mereka berkonsekuensi menganggap Allah seperti jisim, sedangkan Mujassimah mengatakan Allah dapat dilihat dalam arah tertentu seperti halnya melihat jisim. Keduanya menggunakan akal mereka saja dan memalingkan makna teks ayat atau hadits yang bertentangan dengan kesimpulan akal mereka. Akan tetapi Asy’ariyah mengambil jalan tengah antara keduanya dengan mengatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat berdasarkan dalil tekstual yang ada tetapi juga tak perlu arah dan tatacara tertentu berdasarkan dalil tekstual yang berbicara tentang itu. Hal ini bukanlah hal yang mustahil secara akal sebab Allah memang Maha Berkuasa untuk membuat hambanya melihat-Nya dengan cara demikian.
Dua contoh itu dan banyak contoh lainnya membuktikan bahwa Asy’ariyah tidak mendahulukan akal daripada teks syariat seperti disalahpahami. Justru kesimpulan seperti ini tidak dikenal dalam pelajaran aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah sesuai mazhab Asy’ariyah. Yang diajarkan dalam mazhab Asy’ariyah kepada para pelajar justru seperti yang diterangkan dalam nadham Aqidatul Awam berikut:
وكل ما اتى به الرسول # فحقه التسليم والقبول
“Setiap hal yang dibawa oleh Rasul, maka harus pasrah dan diterima.”
Juga seperti yang dijelaskan oleh Syekh al-Bajuri dalam Syarah Jauharah at-Tauhid berikut:
فكل من كلف شرعاً وجبا # عليه أن يعرف ما قد وجبا
“Semua yang dibebankan oleh syariat, maka wajib bagi seorang mukmin untuk mengetahuinya (untuk diimani)”.
Demikian uraian singkat ini, semoga bermanfaat.
Oleh:
Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember & Peneliti di Aswaja NU Center PCNU Jember
Sumber : NU Online
Sekedar berbagi semoga bermanfaat.