Tarbiyah
By. Ahmad Sarwat, Lc.MA
Tahun 80-an ketika saya diajak liqo', memang era tarbiyah murni. Kita tidak bicara politik, bahkan juga sama sekali tidak bicara struktur organisasi.
Yang ada saya muslim, Anda muslim, kita muslim, maka kita ini bersaudara.
لا تسل عن عنصري عن نسبي
إنه الإسلام أمي وأبي
إخوة نحن به مؤتلفون
Maka baju kelompok kita lepas, jaket partai kita lepas, kaos ormas kita lepas, bendera jamaah kita turunkan. Kita ini Islam, titik. Udah itu aja.
Tidak ada Islam A, Islam B, Islam C, D, E, F atau G.
Maka ketika ada jamaah di Mesir bernama Al-Ikhwan Al-Muslimun, semangat yabg ditonjolkan adalah persaudaraan, ada usroh, ada doa robithoh, ada tiga proses : ta'aruf, tafahum dan takaful, wah kita surprais banget.
Apalagi agendanya murni keilmuan semata. Duduk melingkar, baca kitab. Tiap Ahad pagi liqo' naqib membaca Majmuah Rosail Hasan Al-Banna. Kajian tiap bulan membedah tafsir Zhilal Sayyid Quthub.
Plus tiap pekan kajian materi panah-panah, bicara Makrifatullah, Makrifatur-rasul, Makrifatu Dinil Islam, Makna As-Syahadatiain, Ilmullah, Makrifatul Insan, Fiqhuddakwah, Ahdafut Tarbiyah, dan seterusnya.
Maka liqo' mingguan di masa itu nyaris jadi setetes air di tengah gurun gersang.
Apalagi tiap liqo' diawali tilawah per orang satu halaman.
Jadi tarbiyah di masa itu bisa dibilang bulan madu buat para aktifis ROHIS macam saya ini. Saya bukan santri, saya anak SMA negeri umum. Jatah pelajaran Agama Islam cuma 2 jam saja seminggu.
Maka kalau di luar kelas ada acara tarbiyah, yang isinya menambah nilai-nilai keagamaan, jelas amat positif.
Tapi . . .
Kemudian zaman berganti. Agenda-agenda lain ikut masuk. Yang paling menonjol adalah agenda politik. Tarbiyah yang awalnya murni belajar agama, mulai bertransformasi menjadi gerbong-gerbong politik.
Semboyan 'Ukhuwah Islamiyah' dan 'Islam hanya satu' yang awalnya kita agungkan, perlahan mulai bergeser, semakin hari semakin jauh, jauh dan jauuuuhhh sekali.
Akhirnya pecah berkeping-keping. Masing-masing punya agenda, masing-masing jadi mangsa atas sesama. Manusia jadi srigala buat sesamanya. Homo Homini Lupus.
Ilmu keislaman yang awalnya jadi primadona utama, mulai minggir sedikit demi sedikit dan cuma sekedar jadi penggembira. Yang awalnya jadi bintang film sebagai pemeran utama, lama-lama hanya jadi pemeran pembantu, terus jadi figuran, akhirnya jadi tiang lampu doang.
Saat itu kebanyakan teman saya nyaris mati kehausan. Kering kerontang, gersang, tiada lagi hujan menyirami. Semua agenda berubah jadi urusan politik saja, politik saja dan politik saja.
Yang di atas maunya kesana, padahal yang bawah butuhnya kesono. Men Sana in Corpore Sano. Jaka Sembung naik delman, nggak nyambung, Man.
Ibaratnya kita lagi asyik sekolah, belajar A B C D E, tiba-tiba gedung sekolah kita runtuh ketimpa pohon tumbang. Terpaksa kita semua jadi putus sekolah.
Kasihan, padahal semangat belajar menuntut ilmu masih tinggi, tapi kita anak sekolah malah disuruh kerja saja.
Kirain kerjanya untuk membangun kembali gedung sekolah kami, eh ternyata bukan. Gedung sekolah tidak pernah dibangun lagi. Maka pendidikan kita jadi terbengkalai. Kita ini anak-anak putus sekolah, yang dipaksa masuk dunia kerja.
Ilmu kita tidak pernah bertambah. Kalau begini terus caranya, maka kita tetap jadi anak bodoh terus selamanya. Baca Quran masih mengeja, jauh dari tafsirnya, tapi sudah dipaksa berdakwah.
Di saat itulah saya kemudian pergi keluar untuk mencari sekolah baru biar bisa tetap menuntut ilmu. Gedung sekolah boleh runtuh, tapi studi saya harus jalan terus. Tidak bisa belajar di sekolah lama yang runtuh, masih banyak sekolah lain.
Dan alhamdulillah, saya bisa sekolah lagi atas bimbingan Allah. Kalau memang tekadnya kuat, pasti ada saja jalannya.
Malah bukan cuma PAUD, tapi jenjang yang lebih tinggi, masuk SD, SMP, SMA, terus kuliah S1-S2 sampai S3.
Tapi saya sedih kalau bertemu dengan teman-teman semasa PAUD dulu. Mereka rupanya tidak sempat meneruskan studinya. Kelasnya masih PAUD-PAUD juga. Nggak naik ke SD apalagi SMP.
Dalam hati kecil, ingin rasanya berbagi ilmu kepada mereka. Tapi kan belum tentu mereka juga mau. Bisa karena gengsi, atau pun bisa juga memang sudah tidak punya semangat belajar lagi. Atau karena agendanya sudah kebanyakan, gak sempat lagi mikirin ilmu.
Pokoknya banyak lah alasan, kalau mau tinggal dibikin aja. Lagian kan sudah terbiasa berpolitik, kata bisa dirangkai, argumen bisa dibangun, walau pun hati kecil tak bisa dipingkiri.
Kalau mau ya ayok, kalau nggak mau ya nggak apa-apa. Ilmu itu cahaya sih memang, tapi bersungguh-sungguh itu penting.
العلم نور والجد مهم
Sumber FB : Ahmad Sarwat
21 Juni 2020 ·