Oleh: Silmi Adawiya
Salah satu dari pintu-pintu kebaikan adalah melakukan puasa. Puasa yang dilakukan dengan menahan lapar dan dahaga seharian mulai terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Rasulullah menjelaskan bahwa puasa juga merupakan perisai bagi umatnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلَا أَدُلُّكَ عَلَى أَبْوَابِ الْخَيْرِ؟ الصَّوْمُ جُنَّةٌ
“Maukah aku tunjukkan padamu pintu-pintu kebaikan? Puasa adalah perisai, …” (HR. Tirmidzi, hadits ini hasan shohih).
Begitupun dengan puasa sunnah yang merupakan satu kebaikan yang bisa dilakukan kapan saja. Namun bagaimanakah sikap seorang muslim yang baik ketika sedang berpuasa sunnah? Sedangkan pada waktu tersebut banyak agenda rapat dan silaturahmi. Berterus terangkah jika saya sedang berpuasa? Ataukah hendaknya menyembunyikan puasanya?
Dikisahkan bahwa Ibrahim bin Ad-ham jika diajak makan sedangkan ia sedang berpuasa, maka ia tidak mengatakan “Maaf saya sedang berpuasa”. Begitulah yang dicontohkan sebagian ulama salaf. Mereka sering menyembunyikan puasa sunah ataupun amalan lainnya tidak wajib hukumnya.
Dari Sa’ad bin Abi Waqqash, Nabi Muhammad bersabda:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِىَّ الْغَنِىَّ الْخَفِىَّ
“Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, hamba yang hatinya selalu merasa cukup dan yang suka mengasingkan diri (amalannya pun sering tidak ditampakkan pada orang lain.).” (HR. Muslim no. 2965).
Dalil di atas menerangkan bahwa Allah menyukai amalan yang tidak ditampakkan oleh hambanya. Semisal puasa dan sedekah yang disembunyikan dari orang-orang sekitarnya. Ia tidak menginginkan pujian atau dugaan yang bagus dari orang lain. Yang diharapkan hanyalah ridla Allah. oleh karena itu ia merahasiakan semuanya kecuali pada Allah.
Puasa sunnah dianjurkan untuk menyembunyikan status puasanya. Bahkan seharusnya ia tidak memamerkan puasanya kepada lainnya. Sebagaimana Allah melarang hambanya untuk menyebutkan sedekahnya kepada lainnya. Tidak hanya sedekah, melainkan amal lainnya yang disyariatkan dalam Islam. Allah berfirman dalam QS Al-Baqarah ayat 264:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا ۖ لَا يَقْدِرُونَ عَلَىٰ شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan Dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah Dia bersih (tidak bertanah). mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”.
Imam Bukhori menceritakan dalam kitab shahih-nya, bahwa sebagian salaf senang berhias agar tidak nampak lemas atau lesu karena puasa. Mereka menganjurkan untuk menyisir rambut dan memakai minyak di rambut atau kulit di kala itu. Ibnu ‘Abbas mengatakan:
إِذَا كَانَ صَوْمُ أَحَدِكُمْ فَلْيُصْبِحْ دَهِينًا مُتَرَجِّلاً
“Jika salah seorang di antara kalian berpuasa, maka hendaklah ia memakai minyak-minyakan dan menyisir rambutnya.” Disebutkan oleh al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya tanpa sanad (secara mu’allaq).
Islam Rahmatan Lil ‘Alamin
Fikih & Ushul Fikih
Silmi Adawiya
Penulis adalah alumnus Unhasy dan Pondok Pesantren Putri Walisongo Jombang.
Baca juga kajian Sunnah berikut :
- Ibadah Sunnah Enak, Wajib Kok Tidak Enak?
- Maulid Nabi Perspektif Al-Qur'an dan Sunnah
- Merestui Bidah Hasanah adalah Termasuk Sunnah Nabi SAW
- Sunnah Menghibur Anak-Anak
- Bid'ah Hasanah adalah Sunnah Nabi