Ustadz Rahmat Abdullah vs Dr. Salim Segaf Al-Jufri (#bag. 1)
Dua orang tokoh ini punya pengaruh besar mengajak saya jalan-jalan berpetualang dalam pemikiran.
Ustadz Rahmat Abdullah yang kemudian dikenal dengan Sang Murabbi, adalah murabbi saya ketika saya masih SMP dan SMA tahun 80-an. Saya ikut banyak taklim yang beliau jadi pengajarnya, bahkan jadi salah satu anggota liqo' binaannya langsung.
Suasana kebatinan kita saat itu ingin membela Islam dan membanggakannya. Maka materi-materi terkait dengan Al-Ghazwul Fikri, Kemunduran Islam, serta Fiqhud Dakwah sangat mendominasi.
Intinya bagaimana anak-anak nongkrong berambut gondrong bisa cinta kepada Islam dan punya ruh perjuangan.
Cuma saat itu memang semua kepentingan jadi satu. Beliau sempat juga menjadi pengagum Khomaini. Poster-poster dari Kedutaan Iran sempat menghiasi rumah-rumah kami saat itu.
Kemudian beliau berkenalan dengan fikrah dari Ikhwan dan banyak baca buku harakah, semacam Hasan Al-Banna, Sayid Qutub, Said Hawwa dan seterusnya. Sampai akhirnya bertemu dengan Hilmi Aminuddin dan membentuk tanzim. Saya pun ikut jadi muayyidnya saat itu.
Namun kalau bicara tentang hukum syariah, khususnya ilmu fiqih, harus diakui memang ada banyak sekali kelemahan. Agaknya beliau banyak terpengaruh dengan kalangan PERSIS atau salafi wahabi saat itu. Padahal beliau betawi tulen, murid langsung KH. Abdullah Syafi'i, ayahanda KH. Abd Rosyid Syafi'i, yang seharusnya amat kental dengan fiqih mazhab Syafi'i.
Kita-kita yang sebenarnya lahir di tengah kultur fiqih klasik NU yang sejati, justru diajak untuk keluar dan dibina untuk agak antipati. Alih-alih ngaji Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib, Ustadz Rahmat malah mengajar saya dan teman-teman buku Albani, Sifat Shalat Nabi, selama Ramadhan. Karuan saja kami jadi musuh besar kalangan muslim tradisional, qunut shubuh ditinggal, celana jadi cingkrang, kalau shalat tangan di dada, telunjuk jadi goyang, kaki jadi ngangkang, dan selalu selalu mencari-cari kaki orang selama sembahyang.
Saya jadi orang yang amat anti maulid, isra' mi'raj, nuzulul quran, nujuh bulan, bahkan tidak pernah ikut shalat tarawih karena saya anggap bid'ah kalau tarawih 20 rakaat. Saat itu yang saya rasakan tidak pernah mendapatkan ilmu fiqih yang benar, kecuali justru mengajarkan yang kira-kira kita bisa berbeda dengan masyarakat saja. Makin beda, makin mantab, kira-kita begitu.
Urusan politik, ini yang paling seru. Kita didoktrin bahwa negara Indonesia ini adalah negara kafir dan bukan negara Islam. Pancasila itu kafir dan semua pejabat negara itu thogut. PNS, tentara, polisi dan golkar juga thogut. Termasuk presiden dan semua menteri itu juga thogut alias toge.
Urusan sekolah dan kuliah juga sama, yaitu kafir dan thogut. Maka zaman segitu, kalau bisa berhenti sekolah dan keluar dari kuliah, ooo bisa jadi pahlawan di tengah teman-teman. Menjunjukkan bahwa kualitas al-wala' dan al-bara' kita amat tinggi.
Dan semua itu berujung dengan keluarnya saya dari kampus UGM, karena saya menganggap itu adalah kampus thogut.
Lha, abis itu saya malah bingung sendiri, nggak kuliah nggak kerja, terus mau jadi apaan? masa depan runyam dan tidak jelas.
Saat itulah saya berpikir ingin mendaftar ke LIPIA. Karena kebanyak senior saya memang pada kuliah di LIPIA. Rasanya iri kalau melihat mereka saling berbicara dengan bahasa Arab, diskusi dan mujamalah pakai bahasa Arab.
Maka saya coba peruntungan mendaftar ke LIPIA, di kelas i'dad lughawi atau persiapan bahasa. Dan saya tidak diterima, gagal dalam ujian lisan . . . (bersambung)
Sumber FB : Ahmad Sarwat
10 April 2018 · Daerah Khusus Ibukota Jakarta ·
1. Ustadz Rahmat Abdullah vs Dr. Salim Segaf Al-Jufri (#bag. 1)
2. Ustadz Rahmat Abdullah vs Dr. Salim Segaf Al-Jufri (#bag. 2)
3. Dari Dakwah Keras ke Era Tarbiyah (#bag. 3, habis)