Kalau mengingat zaman tarbiyah dulu di era 90-an, saya suka senyum-senyum sendiri. Khususnya terkait dengan materi tarbiyah.
Sebagai seorang murobbi, saya tentu harus menyiapkan materi liqo' seminggu sekali. Modalnya apalagi kalau bukan materi 'panah-panah' itu. Penyebutannya macam-macam sih, ada yang menyebutnya rosmul bayan. Ada juga yang menyebut materi paket tarbiyah. Seorang teman menggunakan istilah Materi Tamhidi, dan seterusnya.
Saya sendiri suka memplesetkan menjadi 'panah-panah beracun' secara internal. Cuma buat becandaan, tapi jangan diekspose.
Semasa SD saya sekolah pagi di SD dan sore di madrasah, maka materi panah-panah yang bertulisan arab itu tidak terlalu asing buat saya. Apalagi murobbi saya saat itu Alm. Ustadz Rahmat Abdullah.
Sosok ini kemudian digelari Sang Murobbi dalam video CD besutan anak-anak jebolan IKJ. Ikut liqo' dengan beliau, tentu materi panah-panah jadi jelas di otak saya. Istilahnya dapat dari sanad pertama.
Ustadz Rahmat sendiri meski bukan lulusan Timur Tengah, tapi urusan bahasa Arab jelas beliau paham. Beliau mondok di Pesantren Asy-Syafi'iyah Jakarta. Santri langsung Kiyai Haji Abdullah Syafi'i Allah yarham.
Yang menarik justru siapa pencipta atau pengarang materi panah-panah itu, ternyata tidak ada yang tahu. Kita cuma menebak-nebak saja, apakah Ustadz Rahmat atau Ustad Hilmi Aminuddin. Materi itu nampaknya rada sakral dan setengah dirahasiakan. Ustadz Rahmat sendiri pun tidak secara terang-terangan menyebutkan siapa yang bikin panah-panah. Udah lah, ente tsiqoh aja, begitu biasanya kita diperintah.
Dengan wujud teks Arab diberi panah-panah seperti itu, beberapa rekan saya sesama murobbi yang basis pendidikannya umum, tentu pusing 7 keliling untuk memahaminya. Sudah nggak bisa bahasa Arab, lalu apa maksud dari tiap panah itu pun juga tidak jelas. Apakah makna panah itu sebab akibat, atau kah pembagian jenisnya, atau lawan kata, pokoknya mumet.
Dengan pemahaman amburadul itu terus dia ngisi sebuah liqo'. Karuan saja mad'u-nya (penyebutan buat murid anggota suatu liqo') lebih bingung lagi. Gurunya aja puyeng, apalagi muridnya.
Ditambah lagi di masa itu, materi panah-panah belum masuk era percetakan. Semua masih dalam tulisan tangan, yang disalin langsung dari whiteboard. Jadi kekeliruan penyalinan itu tidak bisa dihindari. Maklum, kebanyakan baik yang ngajar atau pun yang diajar, sama-sama tidak bisa menulis Arab, plus sama-sama tidak paham bahasa Arab pula. Jadi ya 'waw' banget lah pokoknya.
Seorang teman di LIPIA bercerita waktu itu dia baru direkrut jadi mad'u. Terus dalam suatu dauroh rekrutmen, seorang murobbi ngisi materi dan menulis di whiteboard judul materi seperti berikut :
معنا شهدتين
Teman saya ini meski anak baru, tapi dia lulusan pesantren tradisional dan hafal alfiyah ibnu malik. Melihat tulisan si murobbi yang keliru fatal kayak gitu, langsung dia putuskan berhenti dan gak mau ikut liqo lagi.
Nulis lafadz 'makna asy-syahadatain' saja sudah keliru gitu, kok bisa-bisanya mau ngajarin masalah agama. Begitu dia ngomel-ngomel kepada saya, ketika ketemu saya tahun lalu. Beliau sekarang sudah jadi doktor ushul fiqih dan dosen di kampus international luar negeri.
Di masa berikutnya, materi panah-panah yang anonime ini kemudian dibakukan dan dibuatkan semacam syarahnya. Salah satu teman saya, Ustadz Jasiman Lc, yang dulu pernah sama-sama kuliah di LIPIA juga, kemudian malah menerbitkannya menjadi buku yang dijual di pasar umum.
Beliau bilang kita sudah masuk era jamahiri, liqo' sudah tidak lagi rahasia-rahasiaan, begitu juga dengan materi tarbiyah. Makanya beliau memberanikan diri menerbitkan materi panah-panah menjadi sebuah buku resmi. Judulnya : Syarah Rosmul Bayan Tarbiyah.
Tentu saja sudah tidak lagi salah tulis, beliau kan lulusan LIPIA. Lalu arti tiap istilah pun beliau tuliskan juga. Sambil juga ada syarah penjelasan dalam bentuk paragraf-paragraf.
Yang belum beliau tuliskan adalah footnote yang menjelaskan dari buku atau kitab mana rujukan materi tersebut. Karena mungkin kebutuhannya sekedar bekal buat para murobbi yang lagi kebingungan bagaimana caranya 'membunyikan' materi panah-panah itu. Bukan dalam arti sedang membedah isi pemikiran dan konten materinya.
Saya kemudian iseng pas lagi buka-buka koleksi buku-buku lawas yang sudah rada bulukan, ketemu buku karya Ustadz Jasiman, Lc itu.
Saya bolak-balik materi panah-panah ini, menurut hemat saya inti pembahasannya terletak pada materi aqidah dan tauhid. Ada Makna Syahadatain, Makrifatullah, Makrifaur-rasul dan Makrifatu Din Al-Islam. Saaya tertarik mencermati salah satunya materi yang berjudul Makrifatullah.
Dilihat sekilas, ada pembagian 3 jenis tauhid, yaitu tauhid rububiyah, mulkiyah dan uluhiyah. Nah ini jadi menarik dan unik sekaligus. Saya mendeteksi nampaknya ini rada-rada kompilasi antara pemikiran Ibnu Taimiyah dan Sayid Qutub.
Kalau Ibnu Tamiyah tidak mengenal tauhid Mulkiyatullah, yang ada justru tauhid asma' wa sifat. Kuliah di LIPIA 4 tahun membuat saya agak ngelotok dengan konsep trio tauhid versi Ibnu Taimiyah ini.
Yang unik jutru tauhid asma' wa sifat dihilangkan malah diganti dengan tauhid Mulkiyatullah. Ini jelas bukan konsep tauhid Ibnu Taimiyah. Istilah Mulkiyatullah itu kalau dicari-cari rujukannya berasal dari kitabnya Sayid Qutub, baik Ma'alim fit Thariq atau pun Fi Zhilalil Quran, yaitu istilah aslinya Hakimiyatullah.
Maksudnya, bertauhid itu harus mengakui tidak ada hukum kecuali hukum Allah. Dan bahwa hukum yang kita punya ini hukum kafir alias hukum thogut. Kalau sampai mengakui hukum thogut, maka iman kita belum benar, karena belum mengakui mulkiyatullah.
Sebagai bagian dari murobbi di masa lalu, memang inilah yang saya ajarkan di tiap daurah dan halaqah tarbiyah. Namun doktrin semacam ini cuma ada dalam penjelasan saja. Di dalam panah-panah itu sendiri tidak pernah disebutkan. Apalagi sampai kepada wajibnya mendirikan negara Islam alias khilafah. Tentu saja itu menjadi materi rahasia.
Meski pun sebenarnya kalau di Mesir sana, kewajiban mendirikan hukum Islam secara tegas dituliskan dalam Majmu'ah Rosail Hasan Al-Banna dengan istilah khas : ustadziyyatul 'alam. Itulah puncak perjuangan Al-Ikhwan Al-Muslimun.
Penjelasan lebih dalamnya dilanjutkan oleh Sayid Qutub sendiri yang menegaskan bahwa seluruh kita ini jahiliyah selama tidak berhukum dengan hukum Allah.
Cuma lagi-lagi dalam materi panah-panah itu sama sekali tidak tercantum nama-nama pemilik pemikiran aslinya seperti Ibnu Taimiyah, Hasan Albanna atau Sayid Qutub. Jangankan pemilik pemikiran aslinya, wong siapa yang menyusun materi panah-panah ini pun juga tidak dijelaskan. Sangat-sangat anonime lah pokoknya. Bagian dari sirriyatud-dakwah dan sirriyatut-tanzhim.
Bahkan yang sudah liqo' lebih dari 30 tahun pun juga tidak sadar bahwa dia sedang menjalankan pemikiran-pemikiran para tokoh itu. Yang mereka tahu, Islam itu ya kayak gitu itu. Sesimpel itu lah pokoknya.
Yang ada di dalam memang susah untuk bisa membuat profil secara akurat. Bisa karena baper atau terbawa subjektifitas. Yang bisa melakukannya hanya yang ada di luar. Sebab penampakannya lebih full body. Bahwa bumi itu bulat, lebih mudah dipahami kalau kita mengorbit bumi, melihatnya dari luar angkasa. Sedangkan kita yang ada di bumi, masih berdebat apakah bumi itu bulat atau rata seperti meja.
baca juga : Materi Tarbiyah 1.0 Materi Tarbiyah 2.0 Materi Tarbiyah 3.0
FB : Ahmad Sarwat
22 Januari 2020 pukul 04.14 ·
FB : Ahmad Sarwat
22 Januari 2020 pukul 04.14 ·