Sifat Pengampun Allah Termasuk Sifat Wajib Atau Jaiz?
Seorang Wahabi berkomentar mengkritik Asy'ariyah yang mengatakan bahwa sifat Pengampun bagi Allah bukan sifat wajib tapi sifat jaiz. Menurutnya, biarpun Allah tidak mengampuni, tetapi tetap Maha Pengampun.
Ini adalah salah satu dari sekian banyak kesalahpahaman kawan-kawan Wahabi-Taymiy tentang istilah "sifat wajib" sebab memang tidak pernah belajar pada guru yang tepat. Anehnya, mudah sekali berkomentar tentang apa yang tidak dipahami.
Begini, yang disebut sifat wajib itu bukan sifat yang pokok ada di Qur’an atau hadis, sama sekali bukan. Kategori sifat wajib adalah kategori sifat-sifat yang menjadi syarth al-uluhiyah alias syarat ketuhanan. Artinya, kalau Tuhan tidak punya sifat itu meski sekejap, atau punya lawan dari sifat itu meski sekejap, maka ia bukan lagi Tuhan.
Contohnya adalah sifat wujud (ada). Meskipun kalimat "Allah Maha Wujud" tidak ditemukan di al-Qur’an, tetapi ini adalah sifat wajib sebab keberadaannya dipastikan benar dan mustahil tidak ada meskipun sekejap. Bila sekejap saja pernah tidak ada, maka bukan Tuhan namanya.
Demikian pula sama' (pendengaran) dan Bashar (penglihatan), keduanya ada dalam al-Qur’an dan masuk dalam kategori sifat wajib. Alasannya sebab sosok Tuhan pastilah selalu memiliki sama' dan mustahil buta atau tuli meskipun sekejap. Bila sekejap saja pernah buta atau tuli, maka bukan Tuhan namanya.
Nah, kriteria ini tidak dipenuhi oleh sifat Maha Pengampun sebab Allah kadang mengampuni dan kadang tidak mengampuni. Dalam al-Qur’an, Allah disebut sebagai al-Ghafur (Pengampun) tapi sekaligus Syadid al-Iqab (Pemberi siksa yang keras).
Dua keadaan yang bertolak belak belakang ini: kadang mengampuni dan kadang tidak, membuatnya tidak masuk pada kriteria sifat wajib. Alasannya, sebab ketika Allah mengampuni, ia adalah sosok Tuhan dan ketika tidak mengampuni maka tetap sosok Tuhan. Dengan kata lain, keberadaan ampunan dan ketiadaannya bukan merupakan syarat ketuhanan.
Bila sifat Maha Pengampun dipaksa dijadikan sebagai sifat wajib, maka artinya ketika ada satu saja orang yang dimasukkan ke neraka meskipun sekejap , maka Allah tidak lagi menjadi Tuhan. Tapi karena bukan begitu kejadiannya, Allah bebas memberi ampun atau tidak pada hambanya yang dikehendaki, dan ini dinyatakan dalam banyak ayat al-Qur’an, maka artinya sifat ini bukan sifat wajib. Ketika Allah berperan sebagai al-Ghafur, maka Dia adalah Tuhan, dan ketika berperan sebagai al-Muntaqim (Maha Pembalas), Dia juga adalah Tuhan.
Seluruh sifat Allah yang bukan merupakan syarat ketuhanan, masuknya di sifat jaiz. Ada buaaaanyaaaak sekali sifat jaiz ini. Bukan sekedar banyak, tapi buaaaaaanyaaak. Pokoknya seluruh sifat yang kebalikannya juga ada, maka masuk di kategori sifat jaiz. Allah al-Muhyi (Maha menghidupkan) tapi sekaligus al-Mumit (Maha Mematikan), Dia al-Nafi' (Maha Memberi Manfaat) tapi sekaligus al-Dlar (Maha Memberi Musibah), Dia Maha Rahman, Rahim, Ghafur, Syakur dan seterusnya yang enak-enak bagi hambanya, tapi sekaligus al-Jabar, al-Qahhar, al-Muntaqim dan seterusnya. Ini semuanya ditetapkan adanya tapi masuk kategori sifat jaiz.
Pembahan dari atas adalah soal penetapan kategorinya. Adapun soal penyebutan, maka semua sifat dan nama yang disebutkan dalam al-Qur’an atau hadis sahih, selalu bisa disebutkan untuk Allah. Meskipun kenyataannya Allah tidak mengampuni Abu Lahab, Fir'aun, Iblis dan lainnya tapi Allah tetap bisa disebut al-Ghafur. Demikian pula meskipun Allah mengampuni banyak pendosa, Allah tetap bisa disebut sebagai al-Muntaqim. Jadi, bedakan antara penetapan kategori dan penyebutan sebab ini adalah dia sisi yang berbeda.
Itulah bedanya sifat wajib dan sifat jaiz. Semuanya ada dan ditetapkan oleh para ulama Ahlussunah wal Jamaah (Asy'ariyah-Maturidiyyah), tapi secara ilmiah harus dimasukkan pada kluster yang berbeda sesuai kriteria masing-masing. Sayangnya, inilah yang tidak diketahui oleh kalangan Wahabi-Taymiy. Mereka tahunya Asy'ariyah hanya menetapkan sifat wajib lalu menyebar fitnah bahwa selain itu dianggap tidak ada atau tidak diakui.
Karena itu, saya sering bilang bahwa kawan-kawan Wahabi-Taymiy tidak kenal sifat mustahil dan sifat jaiz. Problem utama mereka karena kebodohan tentang dua kategori sifat itu. Perbedaan utama mereka dengan Ahlussunah wal Jamaah ada di kedua kategori ini tapi selalu saja yang dibahas adalah sifat wajib, akhirnya tidak pernah nyambung.
Semoga bermanfaat.
baca juga :
Bila kawan-kawan Wahabi-Taymiy membahas tentang klasifikasi sifat ala Asy'ariyah, baik itu syaikhnya, ustadznya hingga awamnya, hampir selalu (untuk tidak mengatakan semua), hanya membahas sifat wajib 20 saja atau versi yang diringkas jadi 13 atau jadi 7. Dengan itu lalu dibangun narasi framing bahwa seluruh sifat lain ditolak atau diabaikan. Framing ini adalah penyakit lama yang dilestarikan berabad-abad.
Padahal, jangankan kitab yang tebal, sejak kitab paling kecil seperti Aqidatul Awam saja dibahas bahwa sifat Allah itu ada yang wajib, ada yang jaiz dan ada yang mustahil. Sayangnya, kawan-kawan Wahabi-Taymiy hanya fokus pada yang wajib dan mengabaikan pembahasan sifat jaiz dan mustahil. Padahal, titik tengkar antara Asy'ariyah dan Wahabi-Taymiy kebanyakan ada di wilayah jaiz dan mustahil. Harusnya kedua klasifikasi ini yang dibahas panjang lebar, bukan malah sifat wajib yang pasti disepakati.
Pembahasan tentang makna Istawa, nuzul, yad, ain, ridha, dhahk, dan semacamnya masuk dalam ranah jaiz dan mustahil semua dalam perspektif Asy'ariyah. Malah salah sasaran kalau yang dibahas justru ranah wajib.
Tapi maklum sih, kan mereka memang mengharamkan ilmu kalam dan manthiq, jadi ranah ilmu rasional memang tidak akan pernah nyambung dalam pembahasan mereka. Bahkan banyak Wahabi-Taymiy yang menyangka sifat wajib sebagai upaya ngatur-ngatur mewajibkan Allah agar begini dan begitu, saking tidak pahamnya akan apa yang disebut wajib dalam bab ini.
Sumber FB Ustadz : Abdul Wahab Ahmad