Al-Imam al-Syafi'i di dalam banyak tulisannya tidak mengangkat isu tauhid dan syirik sebagaimana disangka oleh Dr. Abdullah al-Anqari di dalam risalah tipisnya. Isu bahwa Imam al-Syafi'i menyoal pembagian tauhid menjadi rubūbiyyah, ulūhiyyah, dan al-asmă was shifāt hanyalah rekaan dari Dr. al-Anqari. Isu itu "terpaksa" dibangun sebagai cara melegitimasi pemahaman tauhid yang dianut mazhab Wahabi--di mana Dr. al-Anqari ada di dalamnya--bahwa mereka adalah penerus dari pemahaman ulama salaf seperti Imam al-Syafi'i.
Di dalam Kitab al-Umm dan al-Risalah, Imam al-Syafi'i lebih banyak berbicara tentang hukum. Kalau pun beliau menyinggung persoalan aqidah, tulisan itu ditujukan kepada para pendukung Mazhab Mu'tazilah yang menurut Imam al-Syafi'i telah menyimpang dari Sunnah Nabawiyyah.
Pendapat Imam al-Syafi'i yang menganggap negatif ilmu Kalam, didasarkan kepada ketidaksukaannya terhadap Paham Mu'tazilah. Kenapa demikian? Ini tidak dilepaskan dari agitasi yang dilancarkan oleh Kelompok Mu'tazilah yang selalu menyudutkan para ahli hadits dan ahli fikih. Imam al-Syafi'i, sebagaimana ditulis oleh Imam al-Rāzi, mencela ilmu kalam, karena pada masanya ilmu kalam digunakan untuk menarik hati para penguasa. Pada waktu itu, kelompok Mu'tazilah dikenal sebagai pemuka ilmu Kalam dan berhasil masuk ke jantung kekuasaan Dinasti Abbasiyyah. Mereka memanfaatkan penguasa untuk menyingkirkan para ahli hadits dan ahli fikih dari ruang publik.
Terhadap Imam al-Syafi'i, seorang tokoh Mu'tazilah, Bisyr al-Mursy menyampaikan informasi palsu kepada Khalifah Harun al-Rasyid, penguasa Dinasti Abbasiyyah, bahwa Imam al-Syafi'i merupakan pendukung berat Imam Muhammad al-Nafsu al-Zakiyyah, pemimpin perlawanan kelompok Ahlul Bait terhadap Dinasti Abbasiyyah. Agitasi Bisyr ini efektif membangkitkan kecurigaan Khalifah Harun al-Rasyid yang kemudian mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Imam al-Syafi'i.
Imam al-Baihaqy dan Imam Fakhruddin al-Rāzy mengutip riwayat perdebatan Imam al-Syafi'i dengan Bisyr al-Mursy yang disaksikan langsung oleh Khalifah Harun al-Rasyid tersebut. Perdebatan itu berkisar tentang isu pembuktian wahdaniyyat Allah. Di dalam perdebatan itu, Imam al-Syafi'i membangun argumen yang diambil dari hadits Rasulullah, kemudian diramu sedemikian rupa menjadi penalaran yang logis dan rasional.
Narasi bahwa Imam al-Syafi'i membangun nalar dari Qur'an dan Sunnah ini yang tidak tampak dari pembacaan Dr. Al-Anqari di dalam risalahnya tentang Imam al-Syafi'i. Sehingga, pembaca seakan diarahkan kepada pemahaman bahwa Imam al-Syafi'i merupakan seorang pemikir tekstual yang sama sekali tidak mengelaborasi muatan yang tersimpan di dalam al-Qur'an dan Sunnah. Jika hanya berpikir tekstualis saja, tentu semua orang bisa menjadi mujtahid sekelas Imam al-Syafi'i. Jika Imam al-Syafi'i hanya menyandarkan pemahamannya kepada teks, tidak perlu ada qoul qodim dan qoul jadid di dalam Mazhab yang diikuti banyak orang sampai sekarang.
Dari narasi di atas, sudah sewajarnya umat ini waspada terhadap manipulasi data atau informasi sejarah ulama salaf. Imam al-Syafi'i dalam hal ini bisa dikatakan sebagai "korban" manipulasi sejarah oleh kalangan yang mengaku mengikuti salaf, namun terjebak ke dalam berpikir salah.
Selamat hari Jum'at. Jangan lupa: perbanyak istighfar, shalawat dan sedekah...wallahu ma'ana wa ma'akum jami'an...
Sumber FB Ustadz : Abdi Djohan