Cancel Culture
Saya menyimak reaksi komunitas ilmu komputer terkait isu lulusan S3 Ilmu Komputer yang katanya tidak bisa coding padahal itu adalah hal yang sangat dasar bagi bidang keilmuan tersebut. Tulisan ini tidak untuk mengomentari pribadi beliau karena beliau juga salah satu friendlist saya dan ga ada masalah pribadi apapun antara kami, tapi saya tertarik untuk membahas dari sisi reaksi komunitas keilmuannya karena ini sangat relate dengan bidang keilmuan yang saya geluti.
Suatu cabang ilmu itu ada komunitasnya, ada otoritas keilmuannya, ada batasan-batasannya, tak bisa seseorang tiba-tiba muncul dan menyatakan suatu hal dalam bidang ilmu tersebut tanpa mengikuti hal-hal di atas. Imam Malik b. Anas sendiri menyatakan, "Demi Allah saya tidak berfatwa sampai 70 orang ulama bersaksi bahwa saya punya kapasitas untuk berfatwa.", dan Imam Syafi'i pernah berkomentar tentang Imam Malik, "Jika disebutkan komunitas fukaha maka Malik b. Anas adalah bintang di antara mereka."
Respon penolakan dari komunitas keilmuan itu tak lain adalah suatu bentuk cancel culture untuk menjaga batasan-batasan keilmuan agar tidak ada orang yang berbicara dalam bidang itu tapi keluar dari koridor keilmuan yang baku dalam komunitas tersebut.
Namun sayang dalam bidang ilmu agama cancel culture semacam ini dinilai sebagai hal buruk karena dianggap melestarikan ortodoksi atau menjauhkan umat dari sumber asli agama. Dengan bebasnya mereka menabrak batasan-batasan keilmuan, memposisikan diri mereka sejajar dengan para ulama yang memegang otoritas keilmuan, bahkan tak segan memberikan tuduhan dan celaan kepada mereka.
Anda pastinya sudah kenal suara-suara yang membebaskan penafsiran ulang terhadap teks, menjadikan semua hukum sekadar subjektifitas penafsir belaka, menyatakan hukum-hukum yang janggal semisal kebebasan pernikahan beda agama, tafsir ulang konsep zina, kesamaan hak waris wanita dan lelaki, bolehnya wanita menjadi imam shalat atau wanita haid untuk berpuasa, dan sejumlah hukum lain.
Anda juga pastinya sudah bosan mendengar orang yang dengan mudahnya memberikan tuduhan sesat kepada ulama sekelas Imam Suyuthi atau Imam Haramayn, menganjurkan orang awam untuk langsung melihat dalil dan meninggalkan mazhab, atau orang yang tak mampu berbahasa Arab namun sudah percaya diri melakukan tarjih dan ijtihad.
Tulisan dan ucapan yang saya sampaikan berulang kali dalam berbagai kesempatan tak lain adalah bertujuan untuk cancel culture ini, menjelaskan kepada masyarakat bahwa ilmu itu ada batasannya, dan ada otoritas keilmuannya. Tak semua orang bisa bebas berbicara dalam suatu ilmu, tak semua perbedaan pendapat bisa diterima, ada koridor yang melindungi tradisi keilmuan ini dari suara-suara janggal atau orang-orang baru yang tidak sesuai dengan standar keilmuan dalam bidang ilmu tersebut. Selama masih berada dalam koridor tradisi ini maka suara anda akan dihormati, namun jika sudah keluar dari koridor ini ya reaksi kami akan menolaknya.
Jika komunitas ilmu komputer bereaksi keras ketika ada lulusan S3 yang dikatakan tak bisa melakukan coding, seharusnya komunitas ilmu agama lebih bereaksi keras lagi ketika praktik ijtihad dan tarjih dilakukan oleh orang-orang yang tidak punya kapasitas, punya gelar doktor dan profesor tapi tak menghormati tradisi dan komunitas keilmuan. Inilah kenapa kita terus bereaksi, terus menulis, terus mengingatkan, karena otoritas ilmu agama ini sudah sejak lama tak lagi dihargai.
Kalimat di bawah ini sering kali dijadi legitimasi bagi orang-orang yang tak berkompeten untuk melakukan kritik dan menyalahkan tradisi intelektual mazhab hanya dengan bermodalkan sejumlah hadis yang baru dia ketahui. "Ini loh hadisnya sahih, kenapa masih ambil pendapat mazhab?", atau "Anda ikut Rasulullah atau Imam Syafi'i? Imam Syafi'i sendiri bilang kalo ada hadis sahih maka...dst."
Kalimat tersebut dikutip dari kitab al-Majmu' Syarah Muhadzdzab karya Imam Nawawi, ia sama sekali bukan ditujukan bagi orang awam namun ditujukan bagi orang yang memiliki tingkatan ijtihad untuk mereview dan membahas kembali kesimpulan-kesimpulan hukum yang dihasilkan oleh Imam Syafi'i.
Setelah mengutip pernyataan tersebut Imam Nawawi menjelaskan bahwa dalam internal mazhab apa yang dinyatakan oleh Imam Syafi'i ini telah sering dilakukan oleh para ulama dalam mazhab Syafi'i, tidak sedikit pendapat Imam Syafi'i yang kemudian dikaji dan dikritik lalu dihadirkan pendapat lain yang lebih kuat dalilnya.
Setelah menjelaskan itu Imam Nawawi kemudian menyatakan:
وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ الشافعي ليس معناه ان كل أحد رَأَى حَدِيثًا صَحِيحًا قَالَ هَذَا مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَعَمِلَ بِظَاهِرِهِ: وَإِنَّمَا هَذَا فِيمَنْ لَهُ رُتْبَةُ الِاجْتِهَادِ فِي الْمَذْهَبِ عَلَى مَا تَقَدَّمَ مِنْ صِفَتِهِ أَوْ قَرِيبٍ مِنْهُ: وَشَرْطُهُ أَنْ يَغْلِبَ عَلَى ظَنِّهِ أَنَّ الشَّافِعِيَّ رَحِمَهُ اللَّهُ لَمْ يَقِفْ عَلَى هَذَا الْحَدِيثِ أَوْ لَمْ يَعْلَمْ صِحَّتَهُ: وَهَذَا إنَّمَا يَكُونُ بَعْدَ مُطَالَعَةِ كُتُبِ الشَّافِعِيِّ كُلِّهَا وَنَحْوِهَا مِنْ كُتُبِ أَصْحَابِهِ الْآخِذِينَ عَنْهُ وَمَا أَشْبَهَهَا وَهَذَا شَرْطٌ صَعْبٌ قَلَّ من ينصف بِهِ: وَإِنَّمَا اشْتَرَطُوا مَا ذَكَرْنَا لِأَنَّ الشَّافِعِيَّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَرَكَ الْعَمَلَ بِظَاهِرِ أَحَادِيثَ كَثِيرَةٍ رَآهَا وَعَلِمَهَا لَكِنْ قَامَ الدَّلِيلُ عِنْدَهُ عَلَى طَعْنٍ فِيهَا أَوْ نَسْخِهَا أَوْ تَخْصِيصِهَا أَوْ تَأْوِيلِهَا أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ
Karena pernyataan Imam Syafi'i ini sering kali dipotong dari konteksnya akhirnya muncullah orang-orang yang memiliki percaya diri kuat dan menyalahkan pihak lain padahal ia tidak memiliki kompetensi yang cukup untuk melakukannya.
Sumber FB Ustadz : Fahmi Hasan Nugroho