Makna Anak Tergadaikan Sebelum Diaqiqahi
Dalam suatu hadits disebutkan bahwa anak yang lahir dan belum diaqiqahi pada hakikatnya dalam kondisi tergadaikan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut:
عَنْ سَمُرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «الغُلَامُ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ يُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ، وَيُسَمَّى، وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ» (رواه الترمذي وأبو داود)
Dari Samurah - radhiyallahu ‘anhu -, ia berkata: Rasulullah - shallallahu 'alaihi wasallam - bersabda: “Seorang anak laki-laki itu tergadai dengan aqiqahnya yang disembelih pada hari ketujuh, pada hari itu ia diberi nama dan dicukur rambutnya.” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud)
Lantas, apa sebenarnya makna dari anak yang tergadaikan hingga diaqiqahi?. Para ulama dalam hal ini menyebutkan sejumlah makna sebagaimana berikut:
Pertama: Anak belum bisa memberi syafaat di akhirat kelak untuk kedua orang tuanya, hingga ia diaqiqahi.
Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah (w. 751 H) berkata dalam kitabnya, Tuhfah al-Maudud bi Ahkam al-Maulud (hlm. 69):
قَالَ الامام أَحْمد: مُرْتَهن عَن الشَّفَاعَة لوَالِديهِ. وَقَالَ عَطاء بن أبي رَبَاح: مُرْتَهن بعقيقته قَالَ يحرم شَفَاعَة وَلَده.
Imam Ahmad berkata: Maksud dari tergadaikan adalah terhalangi dari syafaat untuk kedua orang tuanya. ‘Atha’ bin Abi Rabah berkata: maksud dari anak tergadaikan oleh aqiqahnya adalah diharamkan atas kedua orang tua syafaat anaknya.
Kedua: Belum sepenuhnya terjaga dari gangguan setan.
Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah (w. 751 H) berkata dalam kitabnya, Tuhfah al-Maudud bi Ahkam al-Maulud (hlm. 74):
جعل الله سُبْحَانَهُ النسيكة عَن الْوَلَد سَببا لفك رهانه من الشَّيْطَان الَّذِي يعلق بِهِ من حِين خُرُوجه إِلَى الدُّنْيَا ... كَمَا قَالَ تَعَالَى: {وشاركهم فِي الْأَمْوَال وَالْأَوْلَاد} (الْإِسْرَاء: 64).
Allah jadikan aqiqah untuk anak dalam rangka membebaskannya dari gangguan setan yang terus menggantungnya dari sejak lahir, sebagaimana yang Allah tegaskan dalam al-Qur’an: “Dan bersekutulah engkau (wahai Iblis) dengan mereka pada harta dan anak.” (QS. Al-Isra’: 64).
Sumber FB Ustadz : Isnan Ansory