Tradisi Lebaran Perspektif Al-Quran dan Hadis
Indonesia merupakan negara dengan segudang tradisi yang dilestarikan oleh masyarakatnya. Mulai dari yang bersifat sehari-hari sampai setahun sekali. Tentu dari sekian banyak tradisi Indonesia itu ada yang positif dan ada pula sebagian yang negatif. Dalam memandang sebuah tradisi, Islam tidak serta merta memangkas dan anti. Islam memperbolehkan tradisi, adat-istiadat, kebudayaan, kebiasaan suatu masyarakat selama tidak bertentangan dengan ajaran dan keyakinan yang diajarkan Islam.
Rasulullah shallahu alaihi wa sallam pernah melestarikan tradisi atau kebiasaan orang-orang Persia yang beragama Majusi. Pada tahun 5 H, Madinah dikagetkan akan datangnya 10.000 pasukan gabungan orang-orang kafir Mekkah yang akan menyerbu kota Nabi itu. Rasulullah mengadakan musyawarah bersama para Sahabatnya dan tidak menemukan siasat perang apa yang mampu mengatasi jumlah pasukan yang sangat besar tersebut. Salman Al-Farisi, Sahabat asal Persia yang baru saja masuk Islam mengusulkan kepada majelis musyawarah, “Rasulullah, kami di Persia jika diserbu dan dikepung pasukan lawan dengan jumlah yang banyak, kami menggali parit.” Strategi perang asal Persia yang tidak pernah diketahui oleh satu pun orang Arab saat itu akhirnya diterima dan dilakukan.[1]
Di kesempatan yang lain, beberapa orang Habasyah datang ke Madinah, mereka diperkenankan Nabi unjuk kebolehan menari, bermain tombak dan lembing di dalam masjid. Mereka asyik memamerkan tarian perang. Nabi pun memanggil istri tercinta, Aisyah, untuk menontonnya dari dalam rumah dengan bersandar pada punggung Nabi, sampai ia merasa senang dan puas.[2]
Adapun tradisi yang menabrak aturan-aturan Islam, tentu ditolak oleh Rasulullah shallahu alaihi wasallam. Contoh merayakan dua hari raya Nairuz dan Mahrajan. Dua hari tersebut merupakan hari raya umat Persia yang rutin dirayakan dengan pesta pora, mabuk-mabukan, dan perbuatan sia-sia di Madinah. Ketika Rasulullah tiba di Madinah, beliau bertanya perihal dua hari raya tersebut. Lalu beliau bersabda,
إنَّ اللَّهَ قد أبدلَكم بِهما خيرًا منهما يومَ الأضحى ويومَ الفطرِ
“Allah telah mengganti hari raya Nairuz dan Mahrajan dengan dua hari raya yang jauh kebih baik bagi kalian, yaitu hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.” (HR. Abu Dawud)[3]
Pada saat hari raya Idul Fitri atau lebaran, Indonesia memiliki beberapa tradisi di antaranya keliling kampung meminta maaf antar tetangga dan memberi uang kepada keponakan, anak tetangga, dan anak-anak kecil lainnya. Tradisi ini digagas dan dilestarikan oleh para ulama dan kyai Indonesia karena bagus dan mempunyai dasar dalil Al-Quran dan hadis. Sebelum lebaran, kita memiliki kewajiban puasa Ramadan selama satu bulan dengan tujuan “La’allakum tattaqun” berdasarkan QS. Al-Baqarah: 183. Standarisasi orang yang bertaqwa dengan jelas difirmankan Allah subhanahu wa ta’ala di QS. Ali Imron 133-135:
وَسَارِعُوٓاْ إِلَىٰ مَغۡفِرَةٖ مِّن رَّبِّكُمۡ وَجَنَّةٍ عَرۡضُهَا ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلۡأَرۡضُ أُعِدَّتۡ لِلۡمُتَّقِينَ ١٣٣ ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَٱلۡكَٰظِمِينَ ٱلۡغَيۡظَ وَٱلۡعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ١٣٤ وَٱلَّذِينَ إِذَا فَعَلُواْ فَٰحِشَةً أَوۡ ظَلَمُوٓاْ أَنفُسَهُمۡ ذَكَرُواْ ٱللَّهَ فَٱسۡتَغۡفَرُواْ لِذُنُوبِهِمۡ وَمَن يَغۡفِرُ ٱلذُّنُوبَ إِلَّا ٱللَّهُ وَلَمۡ يُصِرُّواْ عَلَىٰ مَا فَعَلُواْ وَهُمۡ يَعۡلَمُونَ
“Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa (133). (yaitu) orang-orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan (134). Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, (segera) mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui (135)."
Pada ayat di atas ada kalimat “wal kadziminal ghaidz wal afiina aninnas wallahu yuhibbul muhsinin” yang berarti menahan amarah, memaafkan kesalahan orang lain dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik. Saling meminta maaf dan memaafkan merupakan ciri orang yang bertaqwa, sehingga landasan dalil inilah yang mendasari para ulama kita mentradisikan saling maaf-maafan dengan keliling kampung ke rumah tetangga dan sanak keluarga agar tidak lagi mempunyai kesalahan dan permasalahan yang bersifat sosial sebab secara spritual, dosa-dosa kita telah diampuni oleh Allah subhanahu wata’ala sesuai hadis Nabi:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.
“Siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan, dengan iman dan ikhlas, maka diampuni dosanya yang telah lalu". (HR. Bukhari) [4]
Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin menjelaskan, memaafkan dalam istilah tasawuf atau tazkiyatunnafs disebut “Al-Afwu” yang berarti mengugurkan dan membebaskan seseorang dari hukuman atau denda. Dalam potongan QS. Al-Baqarah: 237, tindakan memaafkan atau “al-afwu” itu paling dekat kepada ketakwaan.
وَأَن تَعۡفُوٓاْ أَقۡرَبُ لِلتَّقۡوَىٰۚ
Dalam sebuah hadis riwayat Imam Ahmad, Rasulullah menyatakan, bahwa salah satu orang yang pasti tidak akan dikecewakan Allah yaitu orang yang dizalimi lalu ia memaafkan. Kelak di hari kiamat Allah berikan kemuliaan yang tidak terkira kepadanya. [5]
Pemberian uang di hari lebaran tidak berseberangan dalam Islam, melainkan sesuai dengan isi kandungan Al-Quran dan hadis dan merupakan tradisi yang baik dan patut dilestarikan. Pada QS. Ali Imron ayat 134 di atas, Allah menyatakan salah satu ciri orang bertakwa yaitu berinfak di waktu lapang maupun sempit. Infak berarti menggunakan uang untuk segala kebaikan. Jika uang digunakan untuk foya-foya dan tidak ada manfaatnya, maka tidak dinamakan infak. Kata infak jika disertai “fi sabilillah”, maka uang itu digunakan hanya untuk kepentingan agama semata.[6] Ayat 134 Surat Ali Imron itu ditutup dengan:
وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ.
“Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.”
Kata “ihsan” yang menjadi “muhsinin” dalam Tafsir Al-Qurthubi didefinisikan menggunakan segala kenikmatan Allah untuk ketaatan kepada Allah,[7] sehingga tidak salah jika lebaran tradisi di Indonesia bagi-bagi parcel, hadiah, bahkan uang sebagai bentuk mensyukuri kenikmatan Allah untuk hal-hal yang diperbolehkan dan dicintai Allah. Dua tradisi lebaran di Indonesia yaitu meminta maaf, saling memaafkan dengan keliling kampung, dan saling memberi uang kepada keponakan atau anak tetangga sesuai dengan ajaran Islam dan berdasarkan Al-Quran dan hadis. Wallahu a’lam.
Referensi:
[1] Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri, Ar-Rahiqul Makhtum (Mashurah: Darul Wafa’, 2010), 269.
[2] Nizar Abazhah, Bilik-Bilik Cinta Muhammad, terj. Asyari Khatib (Jakarta: Zaman, 2016), hlm. 88.
[3] ‘Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmatu al-Tasyri’ wa Falsafatuhu (Beirut: Darul Fikri, 1997), vol. 1, hlm. 91.
[4] Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Sahih Al-Bukhari (Kairo: Dar Thuq An-Naja, 1422 H), vol. 1, hlm. 16.
[5] Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin (Beirut: Darul Fikr, 2008), vol. 3, hlm. 187.
[6] Muhammad Sayid At-Thantawi, Tafsir Al-Wasith (Kairo: Darun Nahdlah, 1997), vol. 1, hlm. 414.
[7] Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi (Kairo: Darul Kutub Al-Misriyah, 1964), vol. 13, hlm. 315.
Sumber FB Ustadz : Achmad Ainul Yaqin