Mencari Titik Temu Perbedaan Para Ulama Dalam Masalah Permainan Alat Musik
Oleh Ustadz Isnan Ansory, Lc., M.Ag
(Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ushuluddin Dirasat Islamiyah Al-Hikmah Jakarta)
Perbedaan pendapat para ulama dalam masalah bermusik atau bermain alat musik sebenarnya dapat dikatakan sebagai perbedaan yang tidak kontradiktif (ikhtilaf tanawwu’i), jika dipahami dari alasan hukum masing-masing ulama yang berbeda itu. Karena itulah, klaim ijma’ sebagian ulama atas keharaman musik bisa saja diterima oleh para ulama yang membolehkan bermain musik. Sebab para ulama yang mengharamkan musik, mengharamkannya pada jenis permainan musik tertentu. Sebagaimana para ulama yang membolehkannya, juga membolehkan pada jenis permainan musik tertentu.
Atas dasar ini, bisa dikatakan bahwa persoalan hukum permainan alat musik yang diharamkan oleh para ulama yang mengharamkannya, tidaklah sama dengan persoalan hukum permainan alat musik oleh pihak yang membolehkannya.
Hal ini bisa dianalogikan dengan misalnya penilaian hukum atas cairan yang berwarna merah. Di mana bisa saja ada yang mengharamkannya karena menghukuminya sebagai khamer atas dasar kesamaan sifat yang ada pada khamer yaitu warna merah. Namun bisa saja sebagian lain mengatakan bahwa hukumnya adalah halal karena menghukuminya sebagai jus semangka yang bukan khamer. Jadi karena sama-sama berwarna merah, lantas hukum yang lahir akan berbeda tergantung pada tashowwur (konsepsi) yang dilakukan oleh masing-masing pihak.
Hal demikian dapat pula berlaku dalam persoalan permainan alat musik. Di mana pihak yang menghalalkannya, berargumentasi dengan adanya permainan alat musik yang dibolehkan di masa kenabian, sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini.
عَنِ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذٍ، قَالَتْ: دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - غَدَاةَ بُنِيَ عَلَيَّ، فَجَلَسَ عَلَى فِرَاشِي كَمَجْلِسِكَ مِنِّي، وَجُوَيْرِيَاتٌ يَضْرِبْنَ بِالدُّفِّ، يَنْدُبْنَ مَنْ قُتِلَ مِنْ آبَائِهِنَّ يَوْمَ بَدْرٍ، حَتَّى قَالَتْ جَارِيَةٌ: وَفِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا فِي غَدٍ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لاَ تَقُولِي هَكَذَا وَقُولِي مَا كُنْتِ تَقُولِينَ» (رواه البخاري)
Dari ar-Rubayyi' binti Mu'awwidz, ia berkata: Nabi - shallallahu 'alaihi wasallam - datang menemuiku pada pagi hari dan membangunkan aku. Lalu beliau duduk di atas tikarku seperti posisi dudukmu di hadapanku ini. Saat itu, ada dua budak wanita sedang menabuh gendang sambil bersenandung mencela orang-orang yang terbunuh dari kalangan orangtua mereka pada perang Badar. Hingga berkata salah seorang dari budak itu; "Bersama kami ada Nabi yang mengetahui apa yang bakal terjadi besok". Maka Nabi - shallallahu 'alaihi wasallam - segera berkata: "Janganlah kamu mengatakan begitu. Tapi cukup katakan apa yang kamu katakan sebelumnya". (HR. Bukhari)
Demikian pula yang mengharamkan juga berargumentasi dengan adanya dalil yang menunjukkan bahwa permainan alat musik adalah haram seperti yang diisyaratkan dalam hadits tentang haramnya al-ma’azif.
Namun satu hal yang menjadi titik kesepakatan antara dua sikap ini adalah bahwa para ulama yang menghalalkan permainan alat musik, tidaklah menghalalkannya secara mutlak. Sebagaimana pihak yang mengharamkannya juga tidak mengharamkannya secara mutlak. Pada titik inilah, bisa diterima adanya klaim ijma' (kesepakatan) para ulama pada persoalan hukum permainan alat musik.
Lantas pada persoalan apakah perdebatan tentang permainan alat musik ini muncul?. Setidaknya penulis menilai ada pada dua masalah.
Pertama: apa sesungguhnya hukum asal bermain musik? Apakah hukum asalnya adalah halal sehingga ada dalil yang secara spesifik mengharamkannya sebagai pengecualian dari hukum asalnya yang halal.
Kedua: apa illat (alasan hukum) atas keharaman permainan alat musik?
Jika kita katakan bahwa hukum asal permainan alat musik adalah halal, maka tentunya tidak diperlukan pencarian atas ‘illat kehalalannya. Sebab berdasarkan kaidah istishab (hukum asal segala sesuatu), sudah cukup untuk menghalalkannya selama tidak ditemukan dalil yang mengharamkannya. Adapun jika dikatakan bahwa hukum asalnya adalah haram, maka barulah harus ditemukan ‘illat yang mengharamkannya. Karena hukum haram adalah hukum sekunder (far’i) yang mengharuskan adanya ‘illat secara spesifik.
Untuk persoalan pertama (hukum asal bermain musik), penulis cenderung kepada hukum asalnya yang halal atau mubah. Sebab, persoalan musik bukanlah termasuk wilayah ta’abbudiyyah atau ibadah mahdhoh yang dihukumi dengan hukum haram sebagai hukum asalnya. Karena itulah, dapat dikatakan bahwa hukum asal bermain musik adalah halal sampai ditemukan adanya dalil yang mengharamkannya dengan illat yang spesifik. Hal ini sejalan dengan pernyataan imam Murtadha az-Zabidi berikut ini dalam kitabnya, Ittihaf as-Sadah al-Muttaqin bi Syarah Ihya’ Ulumiddin (hlm. 2/1):
القياس الحل لولا ورود الاخبار وكونها صارت شعار أهل الشرب.
Berdasarkan qiyas (kaidah asal), bermain alat musik pada dasarnya adalah halal, jika seandainya tidak ditemukan adanya akhbar (hadits) yang mengharamkannya dan dijadikannya permainan musik sebagai syiar peminum khamer.
Dan akhirnya, pertanyaan dan jawaban pertama ini mengarahkan kepada pertanyaan kedua, yaitu apa illat yang menyebabkan munculnya hukum haram atas permainan musik?
Dalam hal ini, jika merujuk kepada ayat al-Qur’an yang dijadikan dasar oleh para ulama yang mangharamkan permainan alat musik, dapat disimpulkan bahwa illatnya berputar kepada dua hal, yaitu al-lahwu (melalaikan manusia) dan al-idhlal (menyesatkan manusia dari jalan Allah menuju kepada kemaksiatan).
Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam ayat berikut ini:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ (لقمان: 6)
Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan PERCAKAPAN KOSONG UNTUK MENYESATKAN (MANUSIA) DARI JALAN ALLAH tanpa ilmu dan menjadikannya olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. (QS. Luqman: 6)
Dan illat atas keharaman alat musik ini, juga sejalan dengan penafsiran para ulama atas makna al-ma’azif dalam hadits berikut ini yang dimaknai sebagai al-malahi (alat-alat yang melenakan).
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ، يَسْتَحِلُّونَ الحِرَ وَالحَرِيرَ، وَالخَمْرَ وَالمَعَازِفَ (رواه البخاري)
“Sungguh akan ada sebagian dari umatku yang menghalalkan zina, sutera, minuman keras, dan al-ma’azif (alat-alat musik yang melalaikan).” (HR. Bukhari)
Para ulama yang mensyarah kitab Shahih al-Bukhari, rata-rata mengartikan kata al-ma’azif dalam hadits di atas sebagai alat yang melenakan (aalaat al-malaahi). Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitabnya Fath al-Bari Syarah Shahih al-Bukhari (hlm. 1/156), Imam Badruddin al-Aini dalam kitabnya Umdah al-Qari Syarah Shahih al-Bukhari (hlm. 17/64), dan Imam Syihabuddin al-Qasthalani dalam kitabnya Irsyad as-Sari Syarah Shahih al-Bukhari (hlm. 8/59).
Atas dasar ini, mengharamkan secara mutlak permainan alat musik dengan merujuk kepada kesepakatan para ulama yang mengharamkannya adalah sikap hukum yang kurang tepat dan tidak mengindahkan dasar dan sikap hukum yang diambil oleh para ulama yang mengharamkannya. Sebab mereka pada dasarnya tidaklah mengharamkan permainan musik secara mutlak. Dan juga karena pengharaman permainan alat musik secara mutlak, akan berakibat pada tuduhan bahwa Nabi - shallallahu 'alaihi wasallam - membiarkan adanya perbuatan haram yang ada di hadapannya. Padahal, Nabi - shallallahu 'alaihi wasallam – tidak diperkenankan membiarkan adanya kebatilan di hadapannya.
Demikian pula menghalalkan permainan alat musik secara mutlak, juga merupakan sikap hukum yang kurang tepat dan tidak mengindahkan dasar dan sikap hukum para ulama yang menghalalkannya. Sebab mereka pada dasarnya tidak menghalalkan permainan musik secara mutlak. Dan juga karena penghalalan permainan alat musik secara mutlak, akan berakibat pada pengabaian dalil-dalil yang mengharamkannya atau berpotensi pada penghalalan perbuatan yang dapat berdampak pada perbuatan yang diharamkan secara pasti.
Kesimpulannya, hukum permainan alat musik dapat menjadi halal ataupun haram, tergantung pada illat yang melatar belakanginya berdasarkan kaidah berikut ini:
الحكم يدور مع العلة وجودا وعدما
Hukum berputar bersama illat ada dan tidaknya.
Dan fatwa hukum atas permainan alat musik, akan tergantung pula pada gambaran dari illat hukum yang menjadi dasar dikeluarkannya fatwa tersebut.
الحكم على الشيئ فرع عن تصوره
Justifikasi hukum atas sesuatu, merupakan cabang dari penggambaran (konsepsi) atas sesuatu tersebut.
Wallahua’lam.
Baca juga kajian tentang ikhtilaf berikut :
- Bumi Bulat vs Datar II
- Bumi Bulat vs Datar I
- Jika Perbedaan itu Rahmat, Lalu Apakah Sepakat itu Azab?
- Saat Berdo’a Tangan Tidak Boleh Direnggangkan?
- Ayatnya Satu, Kesimpulannya Ada Sebelas Macam
Sumber FB Ustadz : Isnan Ansory MA