"Rukhshah itu tidak bisa diambil dengan maksiat"
Terjemah dari kaidah ini sepertinya sudah cukup jelas menggambarkan maksudnya. Rukhshah hanya dapat dilakukan jika ada sebabnya, dan sebab tersebut tidak boleh berupa suatu perbuatan yang maksiat, karena jelas merupakan suatu tindakan yang tidak elok jika rukhsah yang merupakan kebaikan dari Allah diambil untuk tujuan yang justru melanggar ketentuan Allah. Atas dasar inilah disyaratkan penyebab terjadinya rukhshah haruslah perkara yang halal karena jika penyebabnya adalah hal haram maka rukhshah pun tidak bisa diambil.
Contohnya adalah ketika seorang istri kabur dari rumah suaminya atau seorang budak yang melarikan diri dari tuannya, meski mereka melakukan perjalanan jauh tetaplah mereka tidak berhak untuk mengambil rukhshah safar karena perginya mereka adalah maksiat. Ini beda kasusnya jika perjalanannya adalah perjalanan yang diperbolehkan tapi melakukan maksiat di perjalanan, maka ia berdosa karena bermaksiat namun perjalanannya tetap mubah hingga ia masih boleh mengambil rukhsah safar.
Contoh lain adalah jika orang yang murtad kemudian gila, ia tetap wajib qadha semua shalat yang tertinggal di masa gila karena sejak awal ia telah murtad, ini berbeda jika orang muslim lalu gila maka ia tidak wajib mengqadha shalat yang tertinggal ketika gila. Pada dasarnya orang gila memang tidak dibebani oleh syariat, syariat memberikan keringanan baginya hingga shalat yang ditinggalkan selama masa gila itu tidak wajib diqadha, berbeda jika ia sudah murtad sejak awal, ketika ia gila maka syariat tidak memberikan keringanan baginya karena sejak awal ia memang telah melanggar.
Contoh lain, istinja dengan suatu hal yang bernilai seperti makanan atau kertas yang padanya tertulis asma Allah atau ilmu syariat maka hukum istinjanya tidak sah karena istinja dengan selain air hanyalah rukhshah dan rukhshah tidak bisa diambil dengan maksiat.
Sumber FB Ustadz : Fahmi Hasan Nugroho