Kewajiban Rumah Tangga itu Sedikit
Ini adalah bentuk kemurahan syariat yang tidak memberi banyak kewajiban agar tidak banyak terjadi pelanggaran yang berujung dosa. Beda dengan adat istiadat kita, buaaaanyak banget kewajiban yang dibebankan yang kalau tidak dikerjakan seolah menjadi kesalahan besar. Kebanyakan hal dalam rumah tangga yang dianggap kewajiban sebenarnya secara fikih hanya sunnah menyenangkan pasangan saja sehingga masuk kategori sedekah dan perbuatan mulia yang akan menjadi investasi besar di akhirat nanti.
Sebelum anda berharap terlalu banyak, saya tidak akan membahas soal ini dengan lengkap, cuma mau nulis sedikit saja sebab tergelitik ketika baca komen di status istri saya yang mengupload video seorang suami yang sewot karena istrinya lebih mementingkan pergi ke kajian hingga suaminya merasa terlantar sebab tidak disediakan makanan dan ketika diingatkan malah istrinya marah. Soal kasus ini, seorang istri tidak boleh keluar rumah tanpa izin suami kecuali dalam hal si istri mencari ilmu yang fardhu ain baginya yang tidak mampu disediakan oleh suami, semisal ilmu tatacara shalat lima waktu, puasa Ramadhan, ilmu tentang haid dan sebagainya yang wajib diketahui olehnya. Tapi kalau kajiannya membahas hal fardhu kifayah dan sunah, atau ilmu tersebut bisa dijelaskan sendiri oleh suami, maka suami berhak melarang istrinya keluar untuk kajian dan si istri harus patuh.
Tapi bukan ini bahasan utama status ini tapi soal pekerjaan rumah yang ditinggal oleh si istri. To the point saja ya:
Pertanyaannya, wajibkah seorang istri menyediakan makanan dan meladeni semua kebutuhan hidup suami?
Jawabannya, para ulama berbeda pendapat. Ulama Syafi'iyah, Hanabilah dan sebagian Malikiyah berpendapat: Tidak wajib! Jadi kalau mengikuti ini, maka suami tidak berhak marah-marah kalau istrinya tidak memasak, tidak mencuci baju, menyapu rumah dan sebagainya sebab dia tidak wajib melakukannya.
Sedangkan menurut Hanafiyah, istri wajib melakukan semua khidmah tersebut sebab itu yang terjadi dalam rumah tangga Rasulullah dan aturan yang Rasulullah berlakukan pada keluarga Siti Fathimah dan Sayyidina Ali. Suami bekerja mengurusi urusan eksternal seperti mencari nafkah, ke pasar dan sebagainya, sedangkan istri mengurusi ururan internal rumah. Jadi, pendapat ini yang selama ini dipakai kebanyaka bangsa Indonesia sehingga suami kerap komplain kalau istrinya tidak mengurus rumah dengan baik. Jadi, kalau ditanya mazhab yang berlaku di Indonesia soal mengurus rumah, maka jawaban yang pas bukan mazhab Syafi'i tapi mazhab Hanafi.
Bagaimana bila konsisten mau ikut mazhab Syafi'i saja soal mengurus rumah ini? Boleh, tentu sangat boleh. Ini impian para istri yang membaca tulisan ini kayaknya. Hahaha... Kalau mengikuti pendapat Syafi'iyah, maka tugas wajib istri sangat ringan hanya urusan ranjang saja! Kata Imam al-Imrani asy-Syafi'i:
ولا يجب على الزوجة الخدمة للزوج في الخبز والطبخ والغزل وغير ذلك؛ لأن المعقود عليه هو الاستمتاع دون هذه الأشياء.
"Seorang istri tidak wajib melayani kebutuhan suami dalam hal membuat roti, memasak, menenun baju dan sebagainya sebab akad nikahnya hanya untuk bercumbu, bukan hal-hal semacam ini"
Ketika membaca teks semacam ini, banyak ibu-ibu langsung menyimpulkan bahwa berarti hal-hal semacam itu adalah kewajiban suami dong; Berarti suami yang harus memasak untuk istri, yang harus menyapu dan mengepel rumah, mencucikan baju istri dan menyetrikanya. Akhirnya muncullah meme-meme yang isinya seperti memperbudak suami. Hahaha... Eits.... Itu kesimpulan yang salah, wahai ibu-ibu.
Istri tidak wajib melakukan semua tugas itu untuk suami, bukan berarti suami lantas wajib mengerjakan itu semua untuk istri. Yang benar, secara fikih tidak ada yang wajib melakukan pekerjaan itu semua. Ya, anda tidak salah baca, tidak ada yang wajib! Jadi, kalau tidak ada yang mencuci baju, membersihkan rumah, dan sebagainya maka tidak ada yang berdosa. Cuma kotor dan tidak enak saja, tak ada urusannya dengan dosa segala. Lah wong tinggal di tempat sampah juga tidak dosa kok asalkan sama-sama mau. Sekali lagi, jangan pahami ini dengan pandangan negatif, tapi pandanglah sisi baiknya bahwa syariat tidak akan memasukkan seseorang ke neraka sebab hal-hal semacam ini tapi bisa memasukkan seseorang ke surga bila orangnya mau menjaga kebersihan, menjaga keharmonisan dan saling membantu.
Yang wajib bagi suami adalah menyediakan makanan pokok plus lauk pauk yang pantas, rumah dan pakaian yang pantas. Detailnya terlalu panjang untuk diurai di sini. Soal makanan, yang wajib atas suami hanya memberikan mentahnya berikut menyediakan alat memasaknya. Kalau istrinya bukan tipe perempuan elit yang biasanya dilayani pembantu, maka suami tidak wajib menyediakan pembantu atau memasakkannya untuk sang isteri tapi istri itulah yang wajib memasaknya untuk dirinya sendiri (ya, hanya wajib memasak untuk dirinya sendiri, tidak wajib memasakkan untuk suami).
Kecuali kalau istrinya dari kalangan elit yang tidak biasa bekerja sendiri, maka suami wajib menyediakan pembantu untuk istrinya atau kalau ia mau maka boleh memasakkannya sendiri untuk istrinya. Tapi yang beristri tipe ini lumrahnya memang tipe lelaki yang juga dilayani pembantu sehingga bukan masalah besar.
Kalau begitu enak dong, istri tidak wajib menyediakan makanan suami atau apa pun di luar urusan ranjang? Ya tentu saja enak mengikuti pendapat Syafi'iyah ini. Tapi harus diingat bahwa suami juga enak tidak terikat apa pun pada istrinya di luar kewajiban dasar, menurut Syafi'iyah. Suami tidak harus membayar biaya pengobatan istrinya bila sakit dan tidak wajib menyediakan perawatan tubuh semisal lotion, pelembab, dan semacamnya atau parfum. Yang wajib hanya kebutuhan pokok seperti sabun mandi, deodoran, sisir dan kosmetik dasar yang lumrahnya diperlukan semisal bedak. Kalau suami menyuruh istrinya memakai perhiasan, maka itu artinya bukan memberi tapi hanya pinjam pakai (kecuali dinyatakan jelas bahwa itu adalah pemberian). Istri juga sama sekali tidak berhak untuk mengatur kehidupan suami dalam sisi apa pun, jangankan mengatur mau pulang kapan, menginap di mana atau mengatur uang suami, melarang menikah lagi juga tidak berhak.
Karena itu semua bukan kewajiban, maka adat bangsa kita yang biasanya melakukan hal-hal tersebut merupakan tindakan sunnah yang bernilai pahala besar. Tulisan ini bukan untuk membuat suasana rumah tangga pembaca menjadi kering atau hidup sendiri-sendiri tanpa peduli, tapi agar semakin banyak alasan untuk memaklumi pasangan ketika tidak melakukan hal-hal di luar kewajibannya. Dan, agar lebih banyak apresiasi pada pasangan yang dengan setulus hati sudah berbuat baik di luar tupoksinya. Si istri setiap hari memasak dan mencuci baju suaminya, si suami memberikan banyak hal pada istrinya,mengajak jalan-jalan dan membiayai perawatannya ketika sakit. Ini semua adalah amalan yang berujung surga.
Jadi pesannya di sini, jangan banyak menuntut, tapi banyaklah berbuat baik pada pasangan. Jangan banyak mewajibkan pasangan untuk ini dan itu lalu marah-marah ketika dia tidak menjalankannya dengan sempurna, tapi banyaklah memaklumi dan menghargai. Yang penting kan bisa masuk surga bersama, bukan ribut bersama. Yang jelas, siapa yang all-out pada pasangannya, maka pasangannya juga akan all-out padanya. Siapa yang perhitungan pada pasangannya, maka pasangannya juga akan perhitungan padanya.
Semoga bermanfaat.
Sumber FB Ustadz : Abdul Wahab Ahmad