𝗜𝗻𝘀𝗮𝗳𝗻𝘆𝗮 𝗨𝗹𝗮𝗺𝗮 𝗜𝘀𝗹𝗮𝗺
Oleh : Muhammad zulfa
Dalam dunia keilmuan Islam, tidak ada istilah kawan kalau si kawan salah, tidak ada kata saudara bila dia keliru, tidak ada pembelaan mati- matian atas suatu kelompok jika telah terbukti bahwa mereka salah. Karena agama tegak dengan ilmu, maka semua harus diukur dengan ilmu. Barang sudah maklum tentunya, jika dalam dunia ilmiah tidak ada istilah 𝘮𝘶𝘫𝘢𝘮𝘢𝘭𝘢𝘩 alias basa-basi.
Begitulah adanya, seluruh tubuh Islam dilengkapi dengan ilmu. Karena itu, sebagai agama ilmiah, Islam akan selalu kuat sekalipun umat Islam lemah dan Islam akan selalu bertahan sekalipun badai Barat menghantamnya. Dakwaan ini bukan hanya omongan belaka. Kita dapat menilik langsung karya-karya para tokoh-tokoh utama Islam saat mereka menjelaskan tentang Islam. Sikap objektif para ulama saat menilai suatu permasalahan membuat Islam mampu bertahan hingga sekarang. Tak kisah itu kawan, lawan, tokoh paling berpengaruh, bahkan orang yang menjadi rujukan utama sekalipun jika pendapatnya terbukti keliru maka tetap dianggap keliru dan diberi bantahan, dan tentunya dengan adab yang telah ditetapkan.
Mari kita contohkan. Siapa yang tak kenal Imam Ghazali. Bagi penggiat Fikh, Tauhid, Filsafat, Usul Fikh, apalagi Tasawuf, sudah pasti mengenal nama ini. Imam Ghazali adalah salah satu tokoh paling berpengaruh di dunia keilmuan Islam, mungkin dengan julukannya sebagai 𝘏𝘶𝘫𝘫𝘢𝘵𝘶𝘭 𝘐𝘴𝘭𝘢𝘮 sudah cukup menjadi bukti kebesarannya, 𝘛𝘢𝘩𝘢𝘧𝘶𝘵 𝘍𝘢𝘭𝘢𝘴𝘪𝘧𝘢𝘩, salah satu karya besar Imam Ghazali yang beliau tulis untuk meruntuhkan beberapa konsep filsafat. Lahirnya karya ini membuat gempar dunia pemikiran Islam kala itu. Namun, satu abad setelah itu, kitab ini malah dikritik oleh seorang filosof Islam asal Spanyol, Ibnu Rusyd, hingga membuat orang bertanya-tanya mana yang benar antara keduanya. Barulah kemudian di masa pemerintahan Sultan Muhammad al-Fatih, dua karya tokoh ini diadili oleh ulama Aswaja.Nah, jika kita perhatikan, karya dari tokoh sekelas Imam Ghazali untuk apa dilibatkan dalam persidangan, padahal cukup kritikan dari Ibnu Rusyd saja.
Tidak bisa begitu, sehebat apapun Imam al-Ghazali, sebesar apapun pengaruhnya, yang 𝘩𝘢𝘲 tetap 𝘩𝘢𝘲. Maka Imam Ghazali beserta Ibnu Rusyd melalui karya mereka disidang oleh ulama Aswaja, di antara mereka paling masyhur adalah Khawajah Zadah dan Alaudin at-Tusi.
𝐊𝐞𝐧𝐚𝐩𝐚 𝐢𝐧𝐢 𝐝𝐢𝐥𝐚𝐤𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐨𝐥𝐞𝐡 𝐮𝐥𝐚𝐦𝐚 𝐀𝐬𝐰𝐚𝐣𝐚?
Karena ulama kita tidak mau jika orang yang lain yang mengadilinya, biar kita saja yang membuat penghakiman. Sehingga, dengan ini orang di luar Aswaja bisa melihat bagaimana objektifnya ulama Aswaja.Atau kita lihat contoh lain. Zamakhsyari,tokoh penting Mu'tazilah, pemilik karya yang sangat fenomenal, yaitu 𝘛𝘢𝘧𝘴𝘪𝘳 𝘢𝘭-𝘒𝘢𝘴𝘺𝘢𝘧. Ulama setelahnya banyak mengkritisi kekeliruannya, baik dari sisi i'rab maupun sisi logika Mu'tazilah yang beliau selipkan dalam 𝘢𝘭-𝘒𝘢𝘴𝘺𝘢𝘧 antara ulama yang paling banyak menaruh perhatian terhadap ini adalah Ibnu Munir. Melalui al-Intisaf, Ibnu Munir mengkritisi habis-habisan sisi logika Mu'tazilah dari Zamakhsyari.
Apakah ulama-ulama Aswaja setelahnya menerima begitu saja kritikan Ibnu Munir terhadap Zamakhsyari yang notabenenya seorang Mu'tazilah? Tidak. Al-Iraqi tampil sebagai pengadil antara Zamakhsyari dan Ibnu Munir melalui karyanya yang bernama 𝘢𝘭-𝘐𝘯𝘴𝘢𝘧.. Lagi- lagi, ini yang dilakukan oleh ulama Aswaja. Di sini sangat jelas bagaimana objektifnya ulama Aswaja.
Contoh terakhir, Imam ar-Razi yang memberi syarahan terhadap salah satu karya Ibnu Sina, 𝘢𝘭-𝘐𝘴𝘺𝘢𝘳𝘢𝘵 𝘸𝘢 𝘛𝘢𝘯𝘣𝘪𝘩𝘢𝘵. Syarahan ini menurut Nashiruddin at-Thusi sama sekali bukan memberi penjelasan terhadap kitab Ibnu Sina, tapi malah mengkritisi karyanya. Dari sini, lahirlah syarahan at-Thusi terhadap kitab Ibnu Sina yang pada hakikatnya juga bukan penjelasan terhadap kitab itu, tapi malah mengkritik balik ar-Razi yang telah meretakkan sendi-sendi filsafat.
Lalu, apakah ulama setelahnya langsung mengimani dengan apa yang disampaikan oleh Imam ar-Razi dan menolak mentah-mentah terhadap argumen at-Thusi, apalagi jika dituduh Thusi sebagai Syiah? Tidak.
Seorang ulama besar yang dikenal dengan Qutub ar-Razi Tahtani (𝘱𝘦𝘯𝘴𝘺𝘢𝘳𝘢𝘩 𝘔𝘢𝘵𝘢𝘯 𝘚𝘺𝘢𝘮𝘴𝘪𝘺𝘺𝘢𝘩) membuat kembali sidang antara dua tokoh besar kalam ini. Beliau menulis kitab dengan judul 𝘔𝘶𝘩𝘢𝘬𝘢𝘮𝘢𝘩 𝘣𝘢𝘪𝘯𝘢 𝘢𝘳-𝘙𝘢𝘻𝘪 𝘸𝘢 𝘢𝘵- 𝘛𝘩𝘶𝘴𝘪. Akhir sidang ini, ada hal yang ditolak dari Imam Razi dan ada juga yang diterima dari Thusi.
Dari beberapa cuplikan di atas, kita bisa melihat bagaimana ulama Aswaja sangat objektif dalam menilai suatu masalah. Makanya, tidak perlu mengajari ulama Aswaja tentang objektivitas. Karena begitulah turunan dan tradisi keilmuan Aswaja, sekalipun sekarang ini merupakan barang yang langka. Wallahu a'lam.
baca juga kajian tentang ulama berikut :
- Pengorbanan Finansial Ulama Dahulu Untuk Ilmu
- Tahrif Ucapan Ulama?
- Menandu Ulama, Ghuluw?
- Bukan Kembali Kepada Quran dan Sunnah
- Tafwidh, Ikut Jumhur Ulama atau Ibn Taimiyah
Sumber FB : Serambi Salaf