UPDATE STATUS TENTANG PERILAKU DIRI : TAHADDUTS BIN NI’MAH ATAU PAMER?
(Live TV9 hari ini pukul 15.45 - 17.00)
Antara tahadduts bin-ni’mah dan pamer bedanya sangat tipis, dan ternyata perbedaan itu kembali ke hati. Riya adalah mengharapkan tujuan-tujuan duniawi melalui ibadah yang dilakukan. Tujuan duniawi itu bisa untuk mengambil kemanfatan seperti popularitas, atau menolak kemudaratan seperti menutupi kekurangan.
Sedangan tahadduts bin-ni’mah adalah menyampaikan suatu kenikmatan yang ia terima sebagai penyempurna syukur nikmatnya.
Dengan bahasa lain, riya itu targetnya pada manusia dengan ibadah yang seharusnya untuk Allah, sedangkan tahadduts bin-ni’mah itu targetnya ke Allah, meski disampaikan kepada manusia.
Perintah untuk ber-tahadduts bin-ni’mah disebutkan dalam al-Qur’an surat adh-Dhuha ayat 11.
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).” (QS. Adh-Dhuha: 11)
Al-Qurthubi menjelaskan, pihak yang menjadi obyek pembicaraan (mukhathab) dalam ayat ini adalah Nabi Muhammad, namun hukumnya menyasar manusia secara umum, maksudnya untuk Nabi Muhamamad dan selain beliau. Al-Qurthubi menjelaskan:
وَالْخِطَابُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَالْحُكْمُ عَامٌّ لَهُ وَلِغَيْرِهِ.
“Khithab dalam ayat ini untuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, namun hukumnya umum untuk beliau dan selain beliau.” (Tafsir al-Qurthubi, 20/102).
Al-Hasan meriwayatkan dari sang ayah, Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhuma yang mengatakan:
إِذَا أَصَبْتَ خَيْراً، أَوْ عَملْتَ خَيْراً، فَحَدِّثْ بِهِ الثِّقَةَ مِنْ إِخْوَانِكَ.
“Jika kau mendapati suatu kebaikan, atau usai melakukan kebaikan, maka sampaikan kepada saudaramu yang kau percayai.”
Ibnu al-‘Arabi menambahkan, motifasi menyampaikan nikmat itu adalah karena syukur, bukan untuk kebanggaan dan menyombongkan diri.
Al-Qurthubi merilis pernyataan Amr bin Maimun :
إِذَا لَقِيَ الرَّجُلُ مِنْ إِخْوَانِهِ مَنْ يَثِقُ بِهِ، يَقُوْلُ لَهُ: رَزَقَنِي اللهُ مِنَ الصَّلاَةِ البَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا.
“Jika bertemu saudara terpercaya, seseorang katakan padanya, ‘Tadi malam Allah telah memberiku karunia untuk dapat melaksanakan shalat sekian-sekian rakaat.”
Kisah tentang Abu Firas Abdullah bin Ghalib menegaskan tentang contoh tahadduts bin ni’mah ini. Syahdan di suatu pagi, ia berkata:
لَقَدْ رَزَقَنِي اللهُ البَارِحَةَ كَذَا، قَرَأْتُ كَذَا، وَصَلَّيْتُ كَذَا، وَذَكَرْتُ اللهَ كَذَا، وَفَعَلْتُ كَذَا.
“Semalam Allah telah memberikan karunia-Nya kepadaku. Aku membaca (al-Qur’an), Shalat sekian rakaat, berdzikir kepada Allah sekian waktu, dan aku melakukan ini itu.”
Mendengar itu, seorang sahabatnya mengatakan, “Wahai Abu Firas, orang seperti Anda seharusnya tidak mengatakan itu.”
Abu Firas menjawab, “Allah memerintahkan agar manusia ber-tahadduts bin-ni’mah, sedangkan kamu melarangnya.” (Tafsir al-Qurthubi, 20/102).
Dus, orang yang menyebut “kebaikan dirinya” itu ada beberapa kemungkinan. Bila niat dan tujuannya tahadduts bin-ni’mah maka itu baik. Demikian pula bila motifnya untuk menyemangati orang lain untuk juga melakukan kebaikan. Namun bila tujuannya untuk menyombongkan diri dan pamer maka tentu tidak boleh.
Kesemua potensi itu kembalinya kepada hati dan niat.
So, berhati-hatilah dengan hatimu saat update status :-)
Wallahu a’lam…
Sumber FB Ustadz : Faris Khoirul Anam
27 April 2021