Tak Perlu Membanding-Bandingkan
Masa muda saya tumbuh di lingkungan di mana orang-orang suka membanding-bandingkan. Pernah ada tamu (kawan lama ayah) bertanya kepada ayah, saya kuliah di mana? Ayah saya menjawab bahwa saya kuliah di STAIN. Si tamu lalu menyayangkan hal itu sambil membanding-bandingkan anaknya yang dia sekolahkan di SMK dan sekarang sudah bekerja di sebuah bengkel. Katanya, kalau kuliah di kampus agama akan susah kerja dan bisa-bisa hanya jadi pengangguran. Saya hanya tersenyum mendengar hal yang "ada benarnya" itu.
Tapi benar, saat lulus kuliah jadi sarjana saya memang tidak langsung bekerja. Kesibukan saya hanya membantu orang tua dan ngajar anak kecil mengaji sambil kuliah lagi di strata dua. Pada masa ini lebih sering saya mendengar orang yang menbanding-bandingkan diri saya dengan orang lain yang dianggap sudah sukses sebab sudah bekerja. Intinya, saya dianggap kalah bila dibandingkan dengan si A, B, C, D, dan seterusnya yang sudah mandiri menghasilkan uang sedangkan saya hanya menghabiskan uang. Yang lain sudah jadi orang, saya masih pengangguran yang kerjaannya hanya rebahan baca buku. Apalagi saya mengambil jurusan hukum islam, dianggap sok idealis.
Pernah saya mengadu pada salah satu guru saya, seorang dosen senior di kampus, bahwa saya ingin bekerja, siapa tahu ada lowongan staff di kampus daripada menganggur. hahaha... Beliau tegas tanpa berpikir panjang langsung menjawab, jangan!. Teruskan saja kuliahmu sampai lulus soal kerja apa kata nanti, katanya. Meski agak kecewa, tapi saya mematuhi saran itu.
Sekarang, bila mengingat masa-masa itu saya bersyukur pada Allah yang meneguhkan langkah saya. Kadang saya bertemu dengan si A, B, C, D yang dulu dijadikan banding-bandingan dengan saya, namun sekarang tampaknya semua pihak setuju bahwa saya sudah jauh di atas mereka semua dalam semua aspek. Saya juga bertemu yang suka membandingkan yang sekarang menampakkan respek dan pengakuan, namun respek yang sama sulit saya berikan sebab tahu bahwa dia tidak menghargai proses yang saya lalui.
Ini hanya kisah saya, tapi saya yakin saya tidak sendiri. Pasti dari anda banyak yang berada di posisi yang sama, dibanding-bandingkan dengan orang lain tatkala masih berproses. Itu adalah tantangan yang jangan sampai membuat anda berhenti berproses. Belajarlah, lalui jalan anda bila itu jelas-jelas bagus lalu kejar kesuksesan anda sendiri.
Kita hanya wajib ikhtiyar menapaki jalan, soal hasilnya itu adalah urusan Tuhan. Karena itu, dalam hadis-hadis yang ditemukan hanya pujian bagi orang yang berproses, bukan bagi orang yang sudah "sampai" sebab sampai di posisi mana adalah porsi rezeki dari Tuhan. Yang dipuji oleh Nabi adalah orang yang mencari ilmu, orang yang bekerja, orang yang tangguh, orang yang membantu orang lain dan semacamnya yang selalu melambangkan sebuah proses tanpa akhir, bukan orang yang jadi juragan, jadi pejabat, jadi kyai atau jadi apa pun. Sebab itu tidak tepat membanding-bandingkan posisi atau profesi seseorang dengan orang lain, penghasilan seseorang dengan orang lain atau pun pangkat seseorang dengan orang lain.
Hal ini juga perlu diingat oleh para orang tua. Jangan mendidik anak dengan cara membanding-bandingkan. Meski maksudnya untuk menyemangati, kadang efeknya buruk pada mental si anak. Bukan tidak mungkin si anak malah tumbuh dengan mental iri dan hasud pada kesuksesan orang lain karena sejak kecil dia terbiasa dibanding-bandingkan. Akhirnya ketika besar dia terbiasa membandingkan dirinya sendiri dengan orang lain yang tidak salah apa-apa tetapi dianggap bersalah sebab mempunyai kelebihan. Membanding-bandingkan adalah salah satu asal muasal sifat iri dan dengki.
Semoga bermanfaat.
baca juga kajian tentang parenting berikut :
- Jadikan Sebagai Cambuk
- Birul Walidain Dengan Banyak Bershalawat
- Jangan Pilih Kasih Terhadap Anak
- Mentalak Istri atas Perintah Orang Tua
- Cara Unik Seorang Ibu Mendidik Anaknya
Sumber FB Ustadz : Abdul Wahab Ahmad