Mungkinkah Anda Mengkritik Imam Nawawi?
Setiap karya ulama itu tidak lepas dari kritikan. Termasuk karya imam Syafi’i sendiri. Apalagi karya-karya ulama setelahnya, termasuk kitab-kitab Imam Nawawi. Semua orang tahu itu. Tapi, apakah kritikan itu tepat sasaran? kalau tidak, mau diarahkan kemana kritikan itu? Ini tidak semua orang tahu.
Rasanya, kurang adil kalau terlalu cepat mengamini kritikan-kritikan itu sebelum menyelam lebih dalam. Jika yang dikritik adalah konsep, maka pahami dulu konsep yang dikritik dengan baik. Jika titik kritikan diarahkan kepada sebuah istilah, maka melumat istilah yang dikritik sehalus mungkin adalah langkah yang paling awal sebelum mengamini kritikan itu sendiri.
Sekritis apapun cara pikir pelajar, konsep ini mesti diterapkan. Mungkin pertanyaan yang fair dalam kontek ini adalah “Memangnya ada kritikan ulama yang tidak tepat sasaran”? Tidak mudah untuk menjawab ini. Tapi, ikutilah uraian berikut! Siapkan cemilan! karena ini sedikit panjang.
Kita kembali ke lebaran awal kitab Minhaj at-Thalibin. Ketika imam Nawawi mengatakan al-mahzab, maka dari dua thariq atau beberapa thariq (perbedaan ashab dalam menghikayahkan pendapat imam atau perbedaan ashab mutaakhirin dalam meriwayatkan pendapat ashab mutaqaddimin).
Hanya ini yang dijanjikan oleh Imam Nawawi saat istilah al-mazhab beliau munculkan dalam Minhaj at-Thalibin. Saat beliau tidak melabel dengan al-mazhab pada kasus yang adanya perbedaan hikayah ashab, mungkinkah Anda mengkritik imam Nawawi? Tidak. Apakah semua masalah yang ada khilaf thariqnya akan beliau tandai dengan al-mazhab? Imam Nawawi tidak menjanjikan itu. Itu terserah beliau. Kenapa demikian? Jawabannya simpel.
Jika saya mengatakan “Seaindainya ini Zaid, maka dia pasti manusia" maka lewat frasa itu Anda tidak bisa mengambil kesimpulan terbaik (seaindainya ini manusia, maka saya pasti akan mengatakan dia adalah Zaid), karena manusia lebih umum dari Zaid. Memberikan pernyataan kepada sesuatu yang khusus tidak otomatis pernyataan terhadap keumumannya yang dalam hal ini adalah manusia. Lewat teori ini, Anda tidak bisa mengkritik ketika saya tidak mengatakan Zaid saat disana adalah manusia. (Bacalah teori dasar mantiq yang membahas Qiyas Syarthi!).
Masih lewat implikasi konsep logika diatas, siapapun tidak bisa mengkritik Imam Nawawi saat disana adanya khilaf thariq tapi beliau tidak menandai dengan al-Mahzab. Kami rasa, semua orang menerima teori ini. Tapi lihatlah apa yang terjadi dalam salah satu kenyataan dibawah ini!
(Minhaj at-Thalibin dan al-Mahalli)
(وَيَصِحُ) بِمَعْنَى اللَّفْظَيْنِ ( بِالْعَجَمِيَّةِ) وَإِنْ أَحْسَنَ الْعَاقِدُ الْعَرَبِيَّةَ ( فِي الْأَصَحُ) اعْتِبَارًا بِالمَعْنَى ، وَالثَّانِي: لَا ؛ اعْتِبَارًا بِاللَّفْظِ الْوَارِدِ، فَمَنْ لَمْ يُحْسِنْهُ يَصْبِرُ إِلَىٰ أَنْ يَتَعَلَّمَهُ أَوْ يُوَكُلُ، وَالثَّالِثُ : إِنْ أَحْسَنَهُ لَمْ يَصِحٌ بِغَيْرِهِ، وَإِلَّا صَح لِعَجْزِهِ ، وَقَطَعَ بَعْضُهُمْ بِالشَّقِّ الْأَوَّلِ ،وَبَعْضُهُمْ، بِالثَّانِي وَالْمُرَادُ بِالْعَجَمِيَّةِ مَا عَدَا الْعَرَبِيَّةَ
(Hasiyyah Qulyubi)
قوْلُهُ: (وَقَطَعَ بَعْضُهُمْ إلَخْ) فِيهِ اعْتِرَاضٌ عَلَى الْمُصَنِّفِ فِي تَعْبِيرِهِ بِالْأَصَحِّ وَالشِّقُّ الْأَوَّلُ رَاجِعٌ لِقَوْلِهِ إنْ أَحْسَنَهُ، وَالشِّقُّ الثَّانِي رَاجِعٌ لِقَوْلِهِ: وَالْأَصَحُّ لِعَجْزِهِ
Setelah Anda membaca dengan baik redaksi diatas, yang Anda lihat adalah Imam Jalaluddin al-Mahalli menambahkan beberapa redaksi yang terkait dengan apa yang sedang disajikan oleh imam Nawawi. Ada beberapa kemungkinan kenapa imam Mahalli menambahkan itu. Dari beberapa kemungkinan yang bisa kita asumsikan (tidak kami tulis disini) ada dua kemungkinan yang paling dekat.
1. Bentuk kritikan Imam Jalaluddin Mahalli terhadap imam Nawawi karena tidak memberi label al-Mazhab pada kasus yang ada khilaf thariq (kritikan terhadap istilah yang dipahami lewat janji dalam muqaddimah).
2. Imam Jalaluddin al-Mahalli hanya ingin memberitahu bahwa pada kasus bersangkutan adanya khilaf thariq. Hanya saja imam Nawawi tidak memberitahu kepada pembaca. (Bukan kritikan terhadap istilah al-mazhab dalam muqaddimah).
Terlepas dari dua kemungkinan itu -juga beberapa kemungkinan lain-, lewat redaksi tambahan imam Jalaludidin al-Mahalli itu kemudian diinterpretasikan oleh imam Qulyubi secara tegas dalam Hasyiyyahnya. Maksud Imam Jalaluddin al-Mahalli adalah kritik terhadap Imam Nawawi karena tidak menandai al-mazhab, beliau memilih diksi al-ashah pada kasus yang adanya khilaf thariq. Begitu klaim Imam Qulyubi. Ini adalah kemungkinan no satu diatas.
Sekali lagi, Ketika imam Nawawi mengatakan al-mahzab, maka dari dua thariq atau beberapa thariq. Sampai di sini, kami rasa kita sudah mengamini bahwa imam Nawawi tidak bisa dikritik pada kontek ini. Tapi bagaimana dengan redaksi imam Jalaludiin al-Mahalli dan pernyataan tegas imam Qulyubi? Juga tidak mudah untuk menjawab ini. Tapi ikutilah narasi berikut!
Apakah imam Jalaluddin al-Mahalli sendiri yang mengarahkan redaksi tambahannya sebagai kritikan kepada imam Nawawi? Beliau tidak pernah menyatakan ini. Tapi, kemungkinan ini sudah bisa ditutup, karena berjalalan diatas teori Qiyah Syarthi yang sudah kita lumat.
Apakah Jalaluddin Mahalli lewat redaksi tambahnnya hanya memberitahu bahwa disana adanya khilaf Thariq, tetapi imam Qulyubi sendiri yang memanah imam Nawawi lewat redaksi itu terkait istilah al-mazhab? al-Mahalli juga tidak bilang ini. Kita tidak bisa menutup kumungkinan ini karena gaya bahasa imam Qulyubi begitu tegas dalam hasiyyahnya.
Sampai di sini, mungkinkah imam Qulyubi mengkritik imam Nawawi pada konteks ini? lewat teori diatas -Qiyah Syarthi- tentu kita akan menjawab “Tidak”. Tapi, kita buka satu kemungkinan. Bisa jadi imam Qulyubi punya definisi lain untuk istilah al-Mazhab yang tidak imam Nawawi sebutkan. Ini kemungkinan yang paling kuat untuk mendukung kritikan imam Qulyubi. Penting dicatat bahwa sangat mudah untuk menguburkan kemungkinan ini. Jika kita mengamini kemungkinan yang satu ini, maka terjadilah Strawman Fallacy, (cacat berpikir).
Begini ilustrasinya, misalnya ada seseorang yang punya musuh, lalu ia membuat orang-orangan sawah yang dipersepsikan sebagai musuhnya, kemudian dengan penuh semangat ia menghajar "musuh" itu sampai babak belur. Ia merasa bangga karena telah berhasil mengalahkan musuhnya. Ini yang dikatakan dengan “Strawman Fallacy”. Dalam hal ini, imam Qulyubi membuat sendiri istilah al-Mazhab yang beliau persepsikan sebagai istilah imam Nawawi kemudian beliau mengkritik “istilah” itu. Tentu, kenyataannya, yang dikritik bukan istilah imam Nawawi melainkan istilah yang beliau bentuk sendiri.
Penting dicatat bahwa membahasakan kritikan secara tegas lewat bantuan penjelasan imam Jalaluddin Mahalli sangat sering dilakukan oleh imam Qulyubi dalam Hasiyyahnya atas Syarah al-Mahalli. Yang pastinya Imam Nawawi tidak bisa dikritik lewat istilah Mazhab saat beliau tidak memilih istilah ini pada kasus yang adanya khilaf thariq.
Kritikan yang tepat untuk beliau dalam hal ini adalah ketika imam Nawawi melabel al-mazhab pada kasus yang tidak ada khilaf thariq (jika ada) . Sampai di sini, benarkah kritikan imam Qulyubi bagian dari Strawman Fallacy? Tidak mudah menjawab ini. Tapi, kalau tidak, mau diarahkan kemana lagi sejumlah pertanyaan imam Qulyubi dalam hasyiyyahnya? Sekali lagi, tidak mudah untuk memastikan ini. Tapi lumatlah narasi yang terulas!
Semoga bermanfaat
Sumber FB Ustadz : Zulkarnain Ar