Syafi'i VS Hanafi (Pengantar Ilmu Hadits)
by Dr. Ahmad Sarwat
Dahulu jauh sebelum saya merasakan duduk di Fakultas Syariah Jurusan Perbandingan Mazhab, kalau ditanya orang tentang perbedaan hakiki antara Mazhab Syafi'i dengan Mazhab Hanafi saya akan bilang begini :
"Mazhab Syafi’i lebih mengutamakan hadits, sedangkan Mazhab Hanafi lebih mengutamakan akal dan logika".
Tentu saja sekarang saya harus mengoreksi pandangan yang terlalu mensimplikasi masalah itu. Sebab jawaban model seperti itu sama sekali tidak akurat, terkesan hanya jawaban kelas receh khas hasil pencarian di Google atau Chat GPT yang tidak bersumber dari literatur yang otoritatif.
Namun harus dimaklumi karena saya waktu itu belum sempat duduk di bangku kuliah fakultas yang secara khusus mendalami tema perbandingan mazhab. Jadi kalau bicara rada ngasal dan asal kutip saja, tanpa tahu kualias referensi yang akurat.
Dengan jawaban keliru versi saya di atas, jelas menimbulkan kerancuan, karena muncul kesan bahwa mazhab Syafi'i tidak pakai logika dan sebaliknya mazhab Hanafi tidak pakai hadits. Dan ini kesimpulan yang jelas ngawur sengawurnya.
Yang benar bahwa semua mazhab fiqih itu dipastikan secara mutlak memakai hadits nabawi sebagai sumber pengambilan hukum dan ijtihadnya. Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hambali dan semua mazhab fiqih lainnya mutlak pakai hadits. Sebab hadits itu sumber hukum Islam kedua yang sifatnya muttafaqun alaihi. Dan ini tidak mungkin disangkal.
Lalu kenapa ada orang mengira dengan keliru bahwa Mazhab Hanafi tidak pakai hadits dan hanya mengandalkan logika?
Ada banyak sebab, salah satunya boleh jadi karena di masa lalunya Al-Imam Abu Hanifah memang seorang ahli di bidang ilmu kalam. Dan para pendekar ilmu kalam memang terbiasa berdebat dengan menggunakan pendekatan logika.
Namun ketika Beliau memutuskan untuk pindah jalur menekuni ilmu fiqih, mau tidak mau gaya mengandalkan logika sudah tidak lagi bisa digunakan. Sebab dalam ilmu fiqih, penggunaan hadits mutlak harus digunakan. Tidak ada fiqih bila tanpa hadits.
Memang pernah ada yang menduga secara keliru bahwa Mazhab Hanafi tidak pakai hadits karena langkanya hadits di Kufah tempatnya berdomisili.
Ini pun analisa yang terkoreksi juga. Sebab Kufah tempat dimana Abu Hanifah berdomisili justru dijejali oleh para ulama ahli hadits. Bahkan jauh sebelumnya, ketika Khalifah Rasyidah keempat Ali bin Abi Thalib memindahkan ibukota dari Madinah ke Kufah, beserta beliau ikut juga tidak kurang 1.500 shahabat nabi yang mulia.
Maka Kufah tidak pernah kekurangan ahli hadits dan juga sumber hadits. Justru Kufah dikenal juga sebagai pusat pengembangan ilmu hadits di masanya.
Di sisi lain, kenapa dikesankan oleh orang awam bahwa yang menggunakan hadits justru Mazhab Syafi'i? Padahal Al-Imam Asy-Syafi'i sendiri pun mendirikan mazhabnya bukan di Mekkah atau Madinah, tetapi justru di Baghdad dan Mesir. Artinya dari sisi akses terhadap hadits, baik mazhab Hanafi ataupun mazhab Syafi'i sama-sama punya akses yang kuat kepada hadits.
Kalau begitu lantas apa yang membedakan antara mazhab Syafi'i dan mazhab Hanafi, kalau ternyata keduanya sama-sama pakai hadits?
Disini kita sampai pada titik paling kritis dan penting dalam tulisan ini. Titiknya adalah revolusi besar yang dikembangkan oleh Al-Imam Asy-Syafi'i dalam menerima atau menolak suatu hadits.
Sebelum era Asy-Syafi'i, para ulama, termasuk Imam Abu Hanifah pendiri Mazhab Hanafi, lebih banyak menggunakan pendekatan jumlah perawi dalam menentukan kekuatan suatu hadits.
Prinsipnya sederhana, yaitu semakin banyak jalur periwayatannya serta jumlah perawinya, maka hadits itu dianggap lebih kuat dan lebih representatif. Sebaliknya, semakin sedikit jumlah perawinya, maka hadits itu semakin tergeser ke belakang.
Metode pendekatan seperti ini memang medote yang sejak awal diperkenalkan para shahabat di masa lalu. Khalifah Abu Bakar bila ingin memutuskan suatu perkata, akan meminta shahabat menguatkan pendapatnya dengan hadits yang mereka dengar langsung dari Nabi SAW.
Begitu juga yang dilakukan Umar, Utsman dan Ali. Intinya, semakin banyak kesaksian para shahabat yang lain atas hadits yang mereka dengar dari Nabi SAW, maka akan semakin kuat hadits itu untuk dijadikan hujjah.
Namun metode ini mengalami pergeseran dan koreksi di masa berikutnya. Sebab kondisi realitasnya sudah berubah. Yang meriwayatkan sudah bukan lagi di level shahabat tapi level generasi setelah shahabat. Maka metodoginya harus dikalibrasi ulang.
Dan tokoh legendarisnya tidak lain adalah Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah. Menurut Beliau para perawi setelah generasi shahabat kualitas periwayatannya tidak bisa disamakan begitu saja dengan para shahabat, karena memang beda bahan baku. Para shahabat Nabi itu generasi terbaik, status mereka dalam urusan periwayatan hadits adalah orang-orang yang adil. Kalau suatu hadits sampai di level para shahabat, kita tidak perlu lagi mempertanyakan apakah mereka tsiqah atau tidak.
Lain halnya bila perawi di level bawahnya, baik level tabi'in, tabi'ut-tabi'in, dan level-level selanjutnya, mereka bisa saja seorang pendusta, pembohong, pemalsu hadits, mudallis dan macam-macam lagi. Kita tidak pernah tahu siapa mereka, kecuali setelah dilakukan penelitian mendalam sosok mereka masing-masing.
Dalam konsep yang diperkenalkan oleh Asy-Syafi'i, semua jalur hadits di level mereka, harus dilakukan screening yang ketat dan menyeluruh. Kita tidak bisa main husnudzan begitu saja, semua harus diperiksa satu per satu.
Pemeriksaan dilakukan di dua titik utama. Pertama, pada kualitas perawinya, yang difokuskan pada sisi al-'adalah atau kualitas kehidupan beragamanya dan dari sisi dhabith atau kekuatan hafalannya. Mereka yang lolos diberi predikat sehat (shahih), sebaliknya yang mereka yang bermasalah diberi predikat lemah (dhaif).
Kedua, penyelidikan ketat pada kualitas jalur sanadnya, apakah ada noise dan gangguan atau tidak.
Lalu Asy-Syafi'i memperkenal dua istilah baku yang akhirnya digunakan oleh semua ulama sepanjang sejarah, yaitu istilah SHAHIH dan DHAIF.
Hadits yang disebut shahih adalah hadits memenuhi dua syarat utama, yaitu sosok para perawi yang punya kualifikasi tinggi, baik dari sisi al-'adalah dan juga dalam hal dhabithnya. Ditambah lagi jalur sandanya tidak ada masalah noise dan syadz.
Sebaliknya yang disebut hadits Dhaif adalah hadits yang di bawah kualifikasi shahih, baik pada kualitas personal para perawinya atau pun dari sisi kualitas jalur sandanya.
Dengan model kalibrasi ciptaan Asy-Syafi'i itulah maka tonggak pertama ilmu musthalah hadits dipancangkan. Ke depannya seluruh ulama ahli hadits hanya tinggal mengikuti apa yang telah diletakkan dasar pondasinya oleh Asy-Syafi'i. Oleh karena itulah As-Syafi'i disepakati dalam sejarah Islam sebagai pembaharu (mujaddid) muslim di abad kedua.
Sampai disini jelas bahwa perbedaan antara mazhab Syafi'i dengan Hanafi dari sisi penggunaan hadits, yaitu mazhab Hanafi masih menggunakan pendekatan jumlah perawi dalam urusan menerima atau menolak hadits. Sebaliknya, mazhab Asy-Syafi'i sudah tidak lagi menggunakan pendekatan jumlah perawi, tetapi sudah bicara tentang kualitas perawi dan kualitas jalur periwayatan.
Yang unik, karena tolok ukurnya mengandalkan kualitas jalur sanad dan bukan kuantitas jumlah periwayatan, maka bisa saja suatu hadits dianggap kurang populer, ternyata punya kualitas periwatan yang sangat mumpuni dari segi sanad serta menyandang gelar shahih. Maka haditsi itu diterima dan digunakan sebagai sumber hukum.
Dari sanalah kita kemudian memahami tag-line mazhab Syafi'i yang terkenal dari sering disalah-pahami banyak orang :
إِذَا صَحَّ الحَدِيْثُ فَهُوَ مَذْهَبِي
Apabila suatu hadits memenuhi kriteria shahih, maka itulah mazhab-ku.
Lucunya di masa berikutnya ada orang yang kurang ilmu malah membolak-balik ungkapan ini. Mereka tidak pernah duduk di fakultas hadits dan tidak pernah belajar ilmu hadits secara standar baku, tiba-tiba mengklaim diri sebagai pakar hadits, lalu dengan sepenuh syahwat mengeluarkan penilaian sembrono tentang status hadits : hadits ini dhaif, hadits itu dhaif.
Ujung-ujungnya mereka tuduh bahwa mazhab Syafi'i adalah mazhab yang tidak pakai hadits shahih, karena itu harus ditinggalkan. Ini benar-benar lawakan yang bikin sakit perut kalau kita mendengarnya.
Padahal hadits yang mereka tuduh sebagai dhaif itu ternyata sebatas hadits-hadits yang dia tidak suka isi. Ternyata hadits itu isinya bertentangan dengan tradisi dan budaya yang dia ketahui selama ini dari lingkungan tempatnya bertaqlid buta. Lalu dituduhlah hadits itu dhaif.
Padahal mazhab Asy-Syafi'i justru sudah memastikan keshahihan haditsi itu, meski pun hanya sedikit yang tahu kualitas haditsi itu. Lucunya, di tangan orang kurang ilmu, apabila mereka tidak kenal hadits itu, maka dituduhlah hadits itu dhaif.
Padahal boleh jadi hadits itu shahih seshahih-shahihnya. Dan yang punya hak preogratif untuk menyatakan suatu hadits itu shahih atau tidak shahih tentu saja penciptanya yang pertama, yaitu Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah.
Al-Bukhari, Muslim, At-Tirmizy dan semua ulama hadits tidak pernah kenal ada istilah hadits shahih dan dhaif, kecuali mereka belajar dari karya cipta Al-Imam Asy-Syafi'i. Istilah shahih itu penciptanya adalah Al-Imam Asy-Syafi'i. Lha kok malah dituduh mazhab Syaf'i haditsnya dhaif.
Agak lucu sih memang kelakuan orang-orang itu.
* * *
Di level berikutnya, revolusi besar dalam ilmu hadits yang digaungkan Al-Imam Asy-Syafi'i lebih unik lagi, yaitu bagaimana apabila ada beberapa hadits yang sama-sama kualiasnya sudah shahih, namun dari sisi isi matannya malah terkesan saling bertentangan.
Nah, kajian tentang ini kita lanjutkan dalam pertemuan berikutnya. Yang jelas, Al-Imam As-Syafi'i sudah menuliskan masalah ini dalam kitabnya yang fenomenal, judulnya : Ikhtilaful Hadits.
Judul kitab ini juga jadi judul mata kuliah saya sewaktu masih duduk di S-2 Institut Ilmu Al-Quran. Dosen pengampu saya waktu itu adalah Dr. KH. Ali Mustafa Ya'qub, Allahu yarham.
Sumber FB Ustadz : Ahmad Sarwat