“Kenapa Allah marah kepada orang kafir padahal Dia sendiri yang menciptakan mereka dan menjadikan mereka kafir?”
Pertanyaan semacam ini pernah dilontarkan oleh salah seorang anggota grup di WA (tidak perlu saya sebut nama grupnya dan nama orangnya, fokus saja pada pertanyaannya).
Lalu saya menjawab bahwa makna kemarahan Allah adalah kehendak Allah untuk menghukum hamba-Nya. Kehendak ini sudah ada sejak lama, bahkan sebelum ada hamba itu sendiri. Jadi, kehendak Allah telah mendahului seluruh makhluk-Nya.
Kemarahan Allah bukanlah bermakna perubahan yang terjadi pada diri Allah akibat perilaku hamba-Nya. Sebab, kalau itu yang terjadi maka artinya diri Allah berubah dan dipengaruhi oleh perbuatan hamba-Nya, sedangkan Allah adalah Maha Tahu dan telah menulis (menetapkan) takdir sebelum manusia diciptakan, sehingga ini mustahil terjadi.
Banyak ayat dan hadis yang menegaskan "kemarahan" Allah, bahkan ada juga di dalam Surat Al Fatihah ayat terakhir:
غَیۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَیۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّاۤلِّینَ
“Bukan jalan mereka yang Engkau marahi (murkai) dan bukan pula jalan mereka yang tersesat.” (QS. Al-Fatihah: 7)
Imam Fakhruddin Ar Razi menjelaskan bahwa kata "marah" atau "kemarahan" (الغضب) punya dua makna:
Pertama, mendidihnya darah di dalam jantung (غَلَيَانُ دَمِ الْقَلْبِ). Ini adalah kemarahan makhluk.
Kedua, marah adalah kehendak untuk mencelakakan (إرادة الإضرار) atau kehendak untuk menghukum (إِرَادَةُ الِانْتِقَامِ). Inilah makna "kemarahan" Allah, yaitu kehendak untuk menghukum, mencelakakan dan menyiksa sebagian hamba-Nya. Kehendak ini sudah ada sejak lama, bahkan sebelum ada langit dan bumi.
Rasulullah SAW bersabda:
كَتَبَ اللهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
“Allah telah menulis (menetapkan) takdir makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi.” (HR. Muslim)
Jadi, kehendak Allah telah tertulis dalam Lauhul Mahfuzh sejak lama.
Dalam hadis lain, Rasulullah SAW bersabda:
وَيُؤْمَرُ بِأرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ
“Malaikat diperintah (oleh Allah) untuk menulis empat takdir manusia sebelum lahir, yaitu menulis (1) rezekinya, (2) ajalnya, (3) amalnya dan (4) nasib baik atau nasib buruknya.” (Muttafaq Alaih)
Jadi, kehendak Allah telah mendahului wujud manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, makna “kemarahan Allah” adalah kehendak Allah untuk menghukum dan menyiksa sebagian hamba-Nya. Kehendak itu sudah ada sejak lama, bukan baru ada setelah hamba itu ada.
Imam Fakhrurrazi berkata:
هاهنا قَاعِدَةٌ كُلِّيَّةٌ، وَهِيَ أَنَّ جَمِيعَ الْأَعْرَاضِ النَّفْسَانِيَّةِ- أَعْنِي الرَّحْمَةَ، وَالْفَرَحَ، وَالسُّرُورَ، وَالْغَضَبَ، وَالْحَيَاءَ، وَالْغَيْرَةَ، وَالْمَكْرَ وَالْخِدَاعَ، وَالتَّكَبُّرَ، وَالِاسْتِهْزَاءَ- لَهَا أَوَائِلُ، وَلَهَا غَايَاتٌ، وَمِثَالُهُ الْغَضَبُ فَإِنَّ أَوَّلَهُ غَلَيَانُ دَمِ الْقَلْبِ، وَغَايَتَهُ إِرَادَةُ إِيصَالِ الضَّرَرِ إِلَى الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِ، فَلَفْظُ الْغَضَبِ فِي حَقِّ اللَّهِ تَعَالَى لَا يُحْمَلُ عَلَى أَوَّلِهِ الَّذِي هُوَ غَلَيَانُ دَمِ الْقَلْبِ، بَلْ عَلَى غَايَتِهِ الَّذِي هُوَ إرادة الاضرار، وأيضاً، والحياء لَهُ أَوَّلٌ وَهُوَ انْكِسَارٌ يَحْصُلُ فِي النَّفْسِ، وَلَهُ غَرَضٌ وَهُوَ تَرْكُ الْفِعْلِ، فَلَفْظُ الْحَيَاءِ فِي حَقِّ اللَّهِ يُحْمَلُ عَلَى تَرْكِ الْفِعْلِ لَا عَلَى انْكِسَارِ النَّفْسِ، وَهَذِهِ قَاعِدَةٌ شَرِيفَةٌ فِي هَذَا الْبَابِ.
“Di sini adalah sebuah kaidah umum, yaitu bahwa semua perubahan jiwa seperti kasihan, kegembiraan, kebahagiaan, kemarahan, malu, cemburu, niat jahat dan menipu, sombong dan olok-olok, semua itu memiliki awal dan memiliki akhir. Contohnya “marah”, awalnya adalah mendidihnya darah dalam jantung dan akhirnya adalah kehendak untuk melayangkan hukuman kepada pihak yang dimarahi. Maka, kata “marah” bagi Allah tidak dibawa kepada makna awal yakni mendidihnya darah dalam jantung, melainkan dibawa kepada makna akhir yaitu kehendak untuk melayangkan hukuman… ini adalah sebuah kaidah yang mulia dalam bab ini.” (Mafatihul Ghaib, 1/223)
Jadi, makna “kemarahan Allah” adalah kehendak Allah untuk melayangkan hukuman kepada hamba-Nya. Kehendak Allah inilah yang kemudian mempengaruhi manusia sehingga ia melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Jadi, bukan manusia berbuat buruk lalu Allah terpengaruh dan marah. Yang benar adalah Allah marah (berkehendak menakdirkan hamba itu celaka) lalu hamba tersebut melakukan perbuatan buruk sehingga akhirnya ia celaka.
Imam Fakhrurrazi berkata tentang Surat Al Fatihah ayat terakhir:
وَقَالَ أَصْحَابُنَا: لَمَّا ذُكِرَ غَضَبُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ وَأَتْبَعَهُ بِذِكْرِ كَوْنِهِمْ ضَالِّينَ دَلَّ ذَلِكَ عَلَى أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهِمْ عِلَّةٌ لِكَوْنِهِمْ ضَالِّينَ، وَحِينَئِذٍ تَكُونُ صِفَةُ اللَّهِ مُؤَثِّرَةً فِي صِفَةِ الْعَبْدِ، أَمَّا لَوْ قُلْنَا إِنَّ كَوْنَهُمْ ضَالِّينَ يُوجِبُ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهِمْ لَزِمَ أَنْ تَكُونَ صِفَةُ الْعَبْدِ مُؤَثِّرَةً فِي صِفَةِ اللَّهِ تَعَالَى، وَذَلِكَ مُحَالٌ
“Para ulama kami berkata: Ketika disebutkan kemarahan Allah lalu diikuti dengan penyebutan kesesatan mereka (QS. Al Fatihah: 7), ini menunjukkan bahwa kemarahan Allah menjadi penyebab kesesatan mereka, sehingga yang terjadi sebenarnya adalah sifat Allah mempengaruhi sifat hamba-Nya. Adapun kalau kita katakan bahwa kesesatan mereka menjadi penyebab kemarahan Allah, maka berarti sifat hamba mempengaruhi sifat Allah. Ini tentu mustahil.” (Mafatihul Ghaib, 1/223)
Demikianlah makna sifat “marah” bagi Allah. Semoga mudah dipahami.
Allah SWT berfirman, “Kehebatan adalah sarung-Ku dan kesombongan adalah baju-Ku. Barangsiapa merebut salah satunya dari-Ku, Aku pasti menyiksanya.” (HR. Muslim)
Sumber FB Ustadz : Danang Kuncoro Wicaksono