Mudik, saling berkunjung, dan memaafkan di hari raya
Pada akhirnya, fatwa syadz (nyleneh/ganjil) akan haramnya mudik, anjang sana (saling berkunjung) dan memaafkan di hari raya, tidak dihiraukan sama sekali oleh mayoritas umat Islam di Indonesia. Bahkan hampir-hampir tidak ada yang mengikutinya kecuali segelintir orang saja. Itupun, banyak pengikutnya (diam-diam) juga tidak mengamalkannya. Umat Islam dari penjuru Sabang sampai Merauke yang jumlahnya ratusan juta tetap mengamalkan dan menghidupkan tradisi yang baik ini.
Kenapa kita katakan syadz ? Ya, karena perkara-perkara di atas termasuk tradisi. Kalau tradisi, itu hukumnya asalnya boleh. Lha bagaimana kemudian sesuatu yang hukum asalnya boleh dituntul dalil atau contoh dari nabi ? Ini kan aneh. Tidak ada seorang pun ulama mu’tabar yang memiliki pemahaman seperti ini. Sudah saya katakan berulang kali, bahwa dalil itu hanya untuk sesuatu yang hukum asalnya dilarang, bukan untuk sesuatu yang hukum asalnya boleh.
Terlebih, tradisi ini merupakan sesuatu yang secara umum memiliki asal perintah (anjuran) dari syariat. Jadi, dari yang hukum asalnya mubah, naik ke mustahab (dianjurkan). Apalagi jika yang dikunjungi adalah orang-orang yang memiliki jasa besar bagi kehidupan seorang muslim, seperti kedua orang tua. Kapan lagi kita akan berbakti dan menengok keduanya kalau tidak memanfaatkan moment seperti ini ? Dan biasanya, orang tua akan sangat bahagia jika anaknya mudik. Membahagiakan hati seorang muslim saja bernilai sedekah, apalagi kedua orang tua.
Dalam sebuah hadis dari Ibnu Abbas ra, Rasulullah Saw bersabda : “Amalan yang paling Allah cintai setelah faraidh (yang hukumnya wajib) adalah memasukkan kebahagian kepada hati seorang muslim.”(H.R. Ath-Thabrani dan Ibnu Hibban)
(Abdullah Al-Jirani)
Sumber FB Ustadz : Abdulah Al Jirani