Mengapa Lebaran Berbeda
Oleh M. Cholil Nafis, Lc., Ph D.
Kecenderungan berbeda dalam memahami agama itu sudah terjadi sejak Nabi saw. Ada yang cenderung tekstual dan ada yang cenderung kontekstual. Seperti sahabat Nabi saw. yang mereka mendengar langsung sabda Nabi saw. pun masih terjadi Perbedaan dalam memahami perintah dan pelaksanaannya. Hadits berikut menjadi ilustrasi mengapa terjadi perbedaan?
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْأَحْزَابِ لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ فَأَدْرَكَ بَعْضُهُمْ الْعَصْرَ فِي الطَّرِيقِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا نُصَلِّي حَتَّى نَأْتِيَهَا وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ نُصَلِّي لَمْ يُرِدْ مِنَّا ذَلِكَ فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُعَنِّفْ وَاحِدًا مِنْهُمْ
Dari Ibnu Umar RA yang berkata, “Nabi SAW berkata pada hari Perang Ahzab, ‘Jangan lah seorang dari kalian shalat Ashar kecuali di kampung Bani Quraizhah. Sebagian di antara sahabat kemudian melaksanakan shalat Ashar di jalan. Sebagian lagi berkata, ‘kami tidak akan shalat Ashar sampai di kampung Bani Quraizhah. Sebagian lagi berkata, ‘Kita shalat (sekarang), Nabi tidak menginginkan pengertian tekstualnya.’ Lalu permasalahan tersebut diadukan kepada Nabi saw. Nabi saw. tidak mencela salah satu dari dua golongan tersebut. (HR Al-Bukhari).
Hadis ini menunjukkan bahwa ada sahabat Nabi yang beraliran tekstual, yang memahami hadis apa adanya. Ada pula sahabat Nabi yang beraliran kontekstual, yang mencoba memahami hadis berdasarkan substansinya, konteksnya, dan mempertimbangkan teks lain yang terkait.
Teks hadits menyebutkan tentang larangan disertai kalimat penguat bahwa jangan shalat kecuali di kampung Qaraizhah sehingga sebagian sahabat shalatnya ‘ashar terlambat sampe’ malam hari karena menyelesaikan perjalanan sampai Bani Quraizhah. Sedangkan sebagian sahabat lain melakukan shalat di perjalanan krn konteksnya shalat tepat waktu dan larangan itu untuk segera sampai lampung Quraizhah di sore hari. Keduanya dibenarkan oleh Rasulullah saw dan sah shalatnya.
Menurut Kiai Hasyim Asy’ari dalam kitab Risalatu Ahlissunnah wal-Jema’ah, bahwa hadits tersebut menunjukkan bahwa umat muslim dalam beragama menjalankan sesuai dengan kadar kemampuannya dan keyakinannya asalkan bukan karena dorongan hawa nafsu.
Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, ketika menjelaskan hadis tersebut, mengatakan bahwa kedua aliran pemahaman tersebut merupakan bentuk ijtihad yang direstui oleh Nabi. Nabi tidak mencela salah satunya. Karenanya, kedua golongan tidak boleh saling mencela.
Dalam konteks lebaran 1444 H./2023 dimana sebagian umat ada yang berlebaran hari Jum’at tanggal 21 April dan ada yang berlebaran 22 April 2023. Keduanya sama-sama dalam keyakinan dan prinsip beragama yang sama, hanya berbeda dalam menentukan awal bulan dan berlebaran. Sehingga meskipun harinya berbeda namun sama-sama berlebaran dan menganggap 1 syawal 1444 H.
Perbedaan ini karena metode yang digunakan. Yaitu hisab wujudul hilal hakiki (adanya bulan yanh sebenarnya) dengan cara memperkirakan menurut ilmu hisab. Sedangkan sebagian yang lain menggunakan ru’yatul hilal bil fi’li (melihat hilal secara langsung) yang mengacu pada ilmu hisab imkanurru’yah (kemungkinan melihat bulan).
Kedua metode tersebut dibenarkan dalam Islam baik secara sendiri-sendiri atau dikombinasi. Sebagaimana sabda Rasulullaj saw.
لا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه، فإن غم عليكم فاقدروا له
“Janganlah kamu berpuasa sehingga kamu melihat hilal (ramadan) dan janganlah kamu berhenti berpuasa sehingga kamu melihat hilal syawal, jika jika hilal tertutup bagimu maka perkirakanlah.
Abu al-Abbas Ahmad bin Umar bin Suraij mengkompromikan dua riwayat hadis di atas dengan menggunakan pendekatan yang dalam istilah sekarang disebut dengan teori multi-dimensi (نظرية تعدد الأبعاد), yaitu bahwa sabda Nabi (فاقدرواله) bermakna: “perkirakanlah hilal itu dengan menghitung posisi-posisi-nya”. Ini ditujukan kepada mereka yang oleh Allah Swt dianugerahi pengetahuan tentang hisab,
Dasar yang menggunakan ikmal 30 hari puasanya adalah hadits riwayat Abu Hurairah bahwa Nabi saw. bersabda:
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته، فإن غم عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين يوما.
“Berpuasalah kamu ketika telah melihat hilal Ramadan dan berhentilah kamu berpuasa ketika telah melihat hilal bulan Syawal, jika hilal tertutup bagimu maka genapkanlah bulan syakban menjadi 30 hari”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Kedua pendapat itu selamanya akan muncul perdebatan. Selama perdebatannya secara ilmiah maka akan menambah ilmu. Yang menggunakan hisab wujudul hilal hakiki dasarnya kuat karena ilmu astronomi sudah cukup maju dan akurat. Yang menggunakan hisab imkanurru’yah juga kuat karena perintah hadits harus melihat bulan yang diilustrasikan dengan mendung dan kemudian menyempurnakan 30 hari. Demikian yang menggunakan ru’yatul hilal bil fi’li sampai menggunakan teropong demi mengamalkan teks hadits untuk
Melihat bulan.
Bagi umat muslim semua perdebatan itu ilmu dan menunjukan bahwa Islam itu kaya ilmu dan membangun peradaban. Pemahaman orang yang berbeda-beda adalah suatu yang niscaya. Seharusnya tetap menjaga ukhuwah dan persatuan serta saling toleransi. Meskipun saya pribadi berharap suatu saat umat bersatu dalam menggunakan metode itsbat sehingga bersamaan dalam berlebaran dan serasa lebih nyaman dalam merayakan hari kemenangan.
Baca juga kajian tentang ikhtilaf berikut :
- Hamka dan Perubahan Ijtihad Hisab Ru'yah
- Aktivitas Mencampur Pendapat Antara Madzhab
- Bingung Di Saat Harusnya Senang
- Rabb-nya Satu, Kitabnya Satu, Rasulnya satu, Kenapa Bisa Berbeda?
- Sebab Perbedaan Jumlah Ayat AlQuran
Sumber FB Ustadz : Cholil Nafis