Dalil akidah ada dua macam: naqli dan aqli. Naqli adalah dalil yang didapatkan dari naql (riwayat), sedangkan aqli adalah dalil yang didapatkan dari akal. Keduanya tak bertentangan, justru saling menyokong. Maka, salah besar orang yang mempertentangkan keduanya dengan mengatakan, “Pilih aqli atau naqli?” Pertanyaan yang harus dijawab adalah, “Sejak kapan aqli dan naqli bertentangan sehingga harus ditarjih?”
Misalnya, jika ada orang mengatakan bahwa Allah menyerupai manusia karena ada hadis, “Allah menciptakan Adam sesuai rupaNYA” sebenarnya bukan hadis itu yang salah dan bertentangan dengan akal, melainkan akal orang itu yang salah dalam memahaminya. Imbuhan “NYA” dalam hadis itu kembali kepada Adam itu sendiri atau kepada lelaki yang ditampar oleh majikannya sesuai sebab munculnya hadis tersebut, bukan kepada Allah. Maksudnya, Allah menciptakan Adam ketika turun ke bumi sesuai rupa Adam itu sendiri ketika masih di surga, bukan berbeda lalu berubah melalui proses evolusi atau semacamnya. Atau, Allah menciptakan Adam sesuai rupa lelaki yang ditampar oleh majikannya sehingga kita dilarang memukul wajah manusia, sebab wajah manusia serupa dengan wajah Nabi Adam.
Tapi, apa salahnya jika hadis itu dipahami bahwa Allah menciptakan Adam sesuai rupa Allah?
Jawabnya, pemahaman itu salah karena Allah tidak menyerupai apapun dan tak ada apapun yang menyerupai Allah, sehingga mustahil Allah menyerupai manusia.
Allah SWT berfirman:
لَیۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَیۡءࣱۖ وَهُوَ ٱلسَّمِیعُ ٱلۡبَصِیرُ﴿ ١١ ﴾
“Tiada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dialah yang Maha Mendengar dan Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11)
Jadi, salah besar kalau dipahami bahwa Allah menyerupai manusia sehingga punya kepala, wajah, leher, bahu, dada, perut, kemaluan, dua tangan, dua kaki dan seterusnya.
Tapi, bukankah banyak ayat atau hadis yang menyebut bahwa Allah punya wajah, mata dan tangan?
Jawabnya, benar, tapi bukan sebagai anggota tubuh (jarihah), melainkan sebagai sifat seperti mendengar, melihat, mengetahui dan sebagainya. Jadi, kata-kata itu dipinjam sebagai majas untuk menunjukkan makna, bukan materi fisik. Sebab, Allah tidak menyerupai apapun. Oleh sebab itu, pemahaman terhadap teks harus diluruskan supaya sinkron dan tidak bertabrakan dengan teks-teks lain.
Sekali lagi, tidak ada pertentangan antara teks (naql) dengan akal. Yang ada adalah pertentangan antara pemahaman yang benar versus pemahaman yang salah. Pemahaman yang benar menjadikan semua teks harmoni dan sinkron, sedangkan pemahaman yang salah menjadikan teks-teks yang ada justru saling bertentangan satu sama lain.
Wallahu a’lam.
Berakidah yang benar didukung oleh Dalil Naqli dan Aqli. "Ustadz Alnofiandri Dinas"
Sumber FB Ustadz : Danang Kuncoro Wicaksono