๐๐๐๐๐ ๐๐๐ง๐๐๐ก๐ฌ๐ ๐ช๐จ๐๐๐จ ๐ฆ๐๐๐๐ ๐ฆ๐๐ก๐ง๐จ๐๐๐ก ๐๐๐ช๐๐ก ๐๐๐ก๐๐ฆ
๐๐ข๐ญ๐ข๐ฎ ๐ฎ๐ข๐ฅ๐ป๐ฉ๐ข๐ฃ ๐ด๐บ๐ข๐ง๐ช’๐ช ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐ด๐ฆ๐ฏ๐ต๐ถ๐ฉ๐ข๐ฏ ๐ด๐ถ๐ข๐ฎ๐ช ๐ช๐ด๐ต๐ณ๐ช ๐ฃ๐ช๐ด๐ข ๐ฎ๐ฆ๐ฎ๐ฃ๐ข๐ต๐ข๐ญ๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ธ๐ถ๐ฅ๐ฉ๐ถ. ๐๐ข๐ฑ๐ช ๐ข๐ฅ๐ข ๐ฉ๐ข๐ฅ๐ช๐ต๐ด ๐๐ข๐ฃ๐ช ๐ฃ๐ข๐ฉ๐ธ๐ข๐ด๐ข๐ฏ๐บ๐ข ๐๐ข๐ด๐ถ๐ญ๐ถ๐ญ๐ญ๐ข๐ฉ ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐ค๐ถ๐ฎ๐ฃ๐ถ ๐ช๐ด๐ต๐ณ๐ช๐ฏ๐บ๐ข ๐ญ๐ข๐ญ๐ถ ๐ด๐ฉ๐ข๐ญ๐ข๐ต ๐ต๐ข๐ฏ๐ฑ๐ข ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ถ๐ญ๐ข๐ฏ๐จ ๐ธ๐ถ๐ฅ๐ฉ๐ถ. ๐๐ข๐จ๐ข๐ช๐ฎ๐ข๐ฏ๐ข ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ฌ๐ฐ๐ณ๐ฆ๐ญ๐ข๐ด๐ช๐ฌ๐ข๐ฏ๐ฏ๐บ๐ข ๐ถ๐ด๐ต๐ข๐ฅ๐ป ?
๐๐ฎ๐๐ฎ๐ฏ๐ฎ๐ป
Oleh Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq
Tentang sentuhan lawan jenis yang bukan mahram telah kami jelaskan di bahasan sebelumnya bahwasanya ulama berbeda pendapat menjadi tiga kelompok.
Pendapat pertama batal bila tanpa lapis, ini adalah pendapat Syafi’iyyah. Tidak batal kecuali bila dengan syahwat, ini adalah pendapat Malikiyyah dan Hanabilah. Tidak batal secara mutlak, baik menyentuh tidak dengan syahwat maupun dengan syahwat.
Dan kali ini kita akan melihat dari perspektif kalangan Syafi’iyyah, bagaimana pendalilan madzhab ini, terutama dari hadits yang ditanyakan, koq bisanya madzhab syafi’i menetapkan sebuah pendapat yang bertentangan dengan dalil.
Nah di sinilah kita harus sadar diri dan harus terus mau untuk belajar. Jangan karena melihat sepintas pendapat ulama bertentangan dengan hadits langsung kita vonis : Ikuti dalil tinggalkan pendapat yang menyelisihi dalil.
Padahal dia belum melakukan penelitian yang mendalam terhadap dalil terkait dan juga pendapat yang ia tuduh tersebut.
๐๐ฎ๐น๐ถ๐น ๐ธ๐ฎ๐น๐ฎ๐ป๐ด๐ฎ๐ป ๐ฆ๐๐ฎ๐ณ๐ถ’๐ถ๐๐๐ฎ๐ต ๐ฏ๐ฎ๐๐ฎ๐น๐ป๐๐ฎ ๐๐ฒ๐ป๐๐๐ต๐ฎ๐ป ๐น๐ฎ๐๐ฎ๐ป ๐ท๐ฒ๐ป๐ถ๐ ๐๐ฎ๐ป๐ฝ๐ฎ ๐ฝ๐ฒ๐บ๐ฏ๐ฎ๐๐ฎ๐
Firman Allah ta’ala di surah al Maidah ayat 6 :
َูุง ุฃََُّููุง ุงَّูุฐَِูู ุขَู َُููุง ุฅِุฐَุง ُูู ْุชُู ْ ุฅَِูู ุงูุตََّูุงุฉِ َูุงุบْุณُِููุง ُูุฌَُُูููู ْ َูุฃَْูุฏَُِููู ْ ุฅَِูู ุงْูู َุฑَุงِِูู َูุงู ْุณَุญُูุง ุจِุฑُุกُูุณُِูู ْ َูุฃَุฑْุฌَُُููู ْ ุฅَِูู ุงَْููุนْุจَِْูู َูุฅِْู ُْููุชُู ْ ุฌُُูุจًุง َูุงุทََّّูุฑُูุง َูุฅِْู ُْููุชُู ْ ู َุฑْุถَู ุฃَْู ุนََูู ุณََูุฑٍ ุฃَْู ุฌَุงุกَ ุฃَุญَุฏٌ ู ُِْููู ْ ู َِู ุงْูุบَุงุฆِุทِ ุฃَْู َูุงู َุณْุชُู ُ ุงِّููุณَุงุกَ ََููู ْ ุชَุฌِุฏُูุง ู َุงุกً َูุชََูู َّู ُูุง ุตَุนِูุฏًุง ุทَِّูุจًุง َูุงู ْุณَุญُูุง ุจُِูุฌُُِูููู ْ َูุฃَْูุฏُِููู ْ ู ُِْูู
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu....”
Kalangan Syafi’iyyah menafsirkan kata “Menyentuh wanita” dalam ayat dengan makna bersentuhan kulit dan kulit, bukan berjimak. Ini sebagaimana yang juga dinyatakan oleh beberapa shahabat nabi diantaranya Abdullah Mas’ud dan juga Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma.[1]
Tafsiran ini dengan beberapa alasan :
๐ฃ๐ฒ๐ฟ๐๐ฎ๐บ๐ฎ : Secara bahasa kata lamasa (menyentuh) dalam banyak kontek berbahasa Arab dipahami secara dzahir yang artinya menyentuh dengan tangan,[2] termasuk yang digunakan oleh al Qur’an maupun dalam hadits, seperti firman Allah ta’ala :
ََْููู َูุฒََّْููุง ุนَََْููู ِูุชَุงุจًุง ِูู ِูุฑْุทَุงุณٍ ََููู َุณُُูู ุจِุฃَْูุฏِِููู ْ
“Dan kalau Kami turunkan kepadamu tulisan di atas kertas, lalu mereka dapat menyentuhnya dengan tangan mereka sendiri.” (QS. Al An’am: 7)
Seperti dalam hadits :
ุนَْู ุฃَุจِู ُูุฑَْูุฑَุฉَ ุฃََّู ุฑَุณَُูู ุงَِّููู ุตََّูู ุงَُّููู ุนََِْููู َูุณََّูู َ ََููู ุนَْู ุงْูู َُูุงู َุณَุฉِ َูุงْูู َُูุงุจَุฐَุฉِ
“Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah ๏ทบ melarang jual beli dengan cara “mulamasah” dan “munabadzah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
๐๐ฒ๐ฑ๐๐ฎ : Makna ayat ini diperkuat oleh beberapa hadits, diantaranya dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata :
ُูุจَْูุฉُ ุงูุฑَّุฌُِู ุงู ْุฑَุฃَุชَُู َูุฌَุณَُّูุง ุจَِูุฏِِู ู ِْู ุงْูู َُูุงู َุณَุฉِ َูู َْู َูุจََّู ุงู ْุฑَุฃَุชَُู ุฃَْู ุฌَุณََّูุง ุจَِูุฏِِู َูุนََِْููู ุงُْููุถُูุกُ
“Ciuman dan rabaan tangan laki-laki pada istrinya termasuk mulamasah. Barangsiapa yang mencium istrinya atau merabanya, wajib baginya berwudhu.” (HR. Malik)
Lalu dari Ma’qil bin Yasar dari Nabi ๏ทบ : “Sesungguhnya ditusuknya kepala salah seorang diantara kamu dengan jarum besi itu lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya.”(HR. Thabrani)
Lalu dari asy-Sya’bi bahwa Nabi ๏ทบ ketika membai’at kaum wanita beliau membawa kain selimut bergaris dari Qatar lalu beliau meletakkannya di atas tangan beliau, seraya berkata, “Aku tidak berjabat dengan menyentuh wanita.” (HR Abu Daud)
๐๐ฒ๐๐ถ๐ด๐ฎ : Allah menyebutkan tentang junub pada awal ayat, lalu menyebutkan setelah itu “menyentuh wanita” dibarengkan dengan al-ghaith (buang hajat). Hal ini menunjukkan bahwa “menyentuh” yang dimaksud adalah jenis hadats kecil seperti buang hajat, dan itu bukan karena junub.
๐๐ฎ๐ป๐๐ฎ๐ต๐ฎ๐ป ๐๐ฒ๐ฟ๐ต๐ฎ๐ฑ๐ฎ๐ฝ ๐ฑ๐ฎ๐น๐ถ๐น ๐๐ฎ๐ป๐ด ๐บ๐ฒ๐ป๐๐ฎ๐๐ฎ๐ธ๐ฎ๐ป ๐๐ถ๐ฑ๐ฎ๐ธ ๐ฏ๐ฎ๐๐ฎ๐น๐ป๐๐ฎ ๐๐ฒ๐ป๐๐๐ต๐ฎ๐ป
Kalangan Syafi’iyyah juga menjawab dalil-dalil yang digunakan oleh madzhab lain yang berpendapat bahwa bersentuhan kulit lawan jenis tidak membatalkan wudhu. Mari kita simak sebagiannya :
๐ญ. ๐๐ฎ๐น๐ถ๐น ๐ฝ๐ฒ๐ฟ๐๐ฎ๐บ๐ฎ
Dari Ummul Mukminin Asiyah diriwayatkan bahwa Nabi ๏ทบ mencium sebahgaian istrinya, kemudian beliau keluar pergi shalat dan beliau tidak berwudhu lebih dahulu.” (HR. Ahmad)
๐ฆ๐ฎ๐ป๐ด๐ด๐ฎ๐ต๐ฎ๐ป :
Hadits ini selain termuat dalam musnad imam Ahmad, juga ada dalam sunan Tirmidzi dan Abu Daud. Dan para ulama hadits telah menyatakan kelemahan riwayatnya. Ibnu Hajar al Asqalani rahimahullah berkata :
ูุงูุญุฏูุซ ุถุนَّูู ุฌู ุน ู ู ุฃูู ุงูุนูู ، ู ููู : ูุญูู ุจู ุณุนูุฏ ุงููุทَّุงู ูุงูุจุฎุงุฑู ูุฃุจู ุฒุฑุนุฉ ูุฃุจู ุญุงุชู ูุงูุชุฑู ุฐู
“Hadits ini lemah menurut sekelompok besar ahli ilmu, seperti Yahya bin Sa’id al Qathan, Bukhari, Abu Zar’ah, Abu Hatim dan Tirmidzi.”[3]
Imam Nasai berkata :
ููุณ ูู ูุฐุง ุงูุจุงุจ ุญุฏูุซ ุฃุญุณู ู ูู، ููููู ู ุฑุณู
“Tidak ada di bab permasalahan ini hadits yang lebih baik dari riwayat ini, tapi ini pun hadits mursal.”[4]
Abu Bakar an-Naisaburi berkata bahwa dalam satu rawinya Habib bin Abi Tsabit adalah orang yang sering keliru dalam meriwayatkan hadits, imam Ahmad sendiri mengakui akan hal ini.
Dalam hal ini dikatakan bahwa ia menyebut Nabi mencium istrinya dalam keadaan berwudhu’ padahal riwayat yang benar adalah dalam keadaan berpuasa.[5]
Hadits ini juga dilemahkan oleh imam Bukhari, beliau berkata :
ุญุจูุจ ุจู ุฃุจู ุซุงุจุช ูู ูุณู ุน ู ู ุนุฑูุฉ، ููุง ูุตุญ ูู ูุฐุง ุงูุจุงุจ ุดูุก
“Habib bin Abi Tsabit tidak pernah mendengar dari ‘Urwah, dan tidak ada yang shahih sedikitpun dalam bab ini (Nabi mencium istri dan tidak berwudhu lagi).[6]
Abu Daud berkata : Diriwayatkan oleh Sofyan Tsuri, bahwa Habib bin Abi Tsabit hanya merawikan hadits dari Urwah al-Muzni bukan Urwah bin Zubeir.[7]
Sedangkan ulama yang menshahihkan hadits ini adalah al imam Ibnu Abdil Barr, beliau berkata :
ููู ุทุฑู ูุดุฏ ุจุนุถูุง ุจุนุถًุง
“Hadits ini memiliki beberapa jalur periwayatan yang bisa saling menguatkan satu sama lainnya.”[8]
Namun al imam Baihaqi menyatakan bantahannya jika hadits ini bisa saling menguatkan dalam kitabnya al Khilafat. Beliau telah menghimpun tidak kurang dari sepuluh hadits dalam masalah ini, dan menyimpulkan semuanya dhaif.[9]
๐ฎ. ๐๐ฎ๐น๐ถ๐น ๐ธ๐ฒ๐ฑ๐๐ฎ
“Dari Aisyah beliau berkata: Adalah aku tidur di hadapan Rasulullah ๏ทบ dan kakiku ke arah kiblat. Apabila beliau sujud ia menekan kakiku (dengan tangannya), maka saya tarik kakiku, dan apabila beliau telah berdiri saya luruskan kembali”. (HR. Bukhari)
๐ฆ๐ฎ๐ป๐ด๐ด๐ฎ๐ต๐ฎ๐ป : Hadits ini masih mengandung Ihtimal (kemungkinan) lain, karena menekannya Rasulullah ๏ทบ ke kaki Aisyah bisa saja bagian kaki Asiyah yang tertutupi kain.[10]
Berkata al imam Nawawi rahimahullah :
ูุงูุฌูุงุจ ุนู ุญุฏูุซ ุนุงุฆุดุฉ ูู ูููุน ูุฏูุง ุนูู ุจุทู ูุฏู ุงููุจู ุตูู ุงููู ุนููู ูุณูู ุฃูู ูุญุชู ู ูููู ููู ุญุงุฆู ูุงูุฌูุงุจ ุนู ุญุฏูุซูุง ุงูุขุฎุฑ ุฃูู ูู ุณ ู ู ูุฑุงุก ุญุงุฆู ููุฐุง ูู ุงูุธุงูุฑ ููู ู ูู ูุงุฆู ูู ูุฑุงุด ููุฐุงู ุงูุฌูุงุจุงู
“Dan jawaban atas Hadits ‘Aisyah tentang tangan beliau yang mengenai bagian dalam telapak kaki Nabi ๏ทบ, bahwa ada kemungkinan hal itu terjadi dengan adanya penghalang. Dan jawaban atas Hadits beliau yang lainny lagi, bahwa itu adalah sentuhan dari balik penghalang, dan ini hal yang biasa terjadi pada orang yang tidur di atas tempat tidur (yakni berselimut pent.).”
Sedangkan dalam kaidah ushul fiqh dikatakan :
ุงูุฏููู ุงุฐุง ุชุทุฑู ุงูุฅุญุชู ุงู ุณูุท ุจู ุงูุฅุณุชุฏูุงู
“Dalil-dalil yang mengandung “ihtimal” (kemungkinan) maka gugurlah (tidak boleh digunakan) menjadi dalil.”[11]
๐ฃ๐ฒ๐ป๐๐๐๐ฝ
Dari paparan di atas kita belajar untuk b isa lebih menghargai pendapat ulama. Jangan sembrono menuduh pendapat setingkat ulama madzhab dengan tidak berdalil atau menentang dalil.
Menyimpulkan hukum untuk satu persoalan bukan perkara mudah, karena harus melewati proses menggali dalil yang yang terkait, lalu memilah antara hadits yang shahih dari yang dhaif, ada proses mengkompromikan dalil-dalil yang sepintas bertentangan.
Jadang juga harus mentarjih saat terjadi pertentangan antar dalil di mata peneliti, ada juga proses memahami makna yang dikandung oleh satu lafazh, dan berbagai proses lainnya.
Yag jelas, semua proses itu tidak bisa hanya lewat cara comot sana paste sini. Ada kaidah dan alat bantu yang harus digunakan secara benar untuk menghasilkan produk hukum yang baik dan benar.
Sehingga tidak seperti sangkaan sebagian orang yang lugu dalam beragama, jika sebuah pendapat yang diikutinya memiliki hadits shahih sebagai pendukung pendapat, maka otomatis pendapat yang berseberangan bisa dikatakan lemah apalagi salah.
Karena bisa jadi pihak lain juga memakai hadits yang tak kalah shahihnya, atau bisa jadi juga haditsnya memang paling shahih, tapi pemahaman atas hadits itu yang salah dan bermasalah.
๐Wallahu a’lam.
________
[1] Tafsir ath-Thabari (1/502), Subulus-Salam (1/260).
[2] Kamus Al-Muhith (2/ 249), Fiqh al Islami (1/431).
[3] Bulughul Maram Hal. 70
[4] Badrul at Tamam (2/25)
[5] Majmu’ Syarh al Muhadzdzab (2/32)
[6] Syarh Sunnah li al Baghawi (1/346)
[7] Mizanul I’tidal (2/55).
[8] Al Ihkam Syarh Ushul Ahkam (1/75)
[9] Taudhih al Ahkam ( 1/290)
[10] Syarah Muslim (4/229-230)
[11] Ghayah al Wushul hal. 74.
Sumber FB Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq