MASALAH LOGIKA ATAU KELAINAN JIWA?
Ketika ada yang bikin acara membaca sirah nabawi (sejarah Nabi), lalu dia menyimpulkan bahwa berarti membaca sejarah Nabi hanya sekali dalam setahun.
Ketika ada yang bikin acara untuk mengingat teladan Nabi, lalu dia menyimpulkan bahwa berarti mengingat Nabi Muhammad hanya sekali setahun.
Ketika ada yang bikin acara sebagai wujud bahagia dan rasa syukur atas kelahiran Nabi Muhammad, lalu dia menyimpulkan berarti bahagianya dan syukurnya hanya setahun sekali.
Ketika ada yang bikin acara untuk menunjukkan cinta pada Nabi Muhammad, lalu dia menyimpulkan berarti cintanya hanya setahun sekali.
Jangan-jangan yang berpikir semacam itu punya keterbelakangan sehingga bisa menarik kesimpulan yang begitu konyol. Apa kalau seseorang sujud syukur hanya beberapa kali seumur hidup artinya selama sisa hidupnya tidak bersyukur? Apa kalau orang sedekah memberi amplop pada pengantin baru lantas bisa disimpulkan bahwa sedekahnya hanya ketika ada pengantin baru saja? Apa ketika ada murid belajar menjelang ujian lantas bisa disimpulkan kalau belajarnya hanya ketika hendak ujian? Apa ketika ada suami yang memberikan oleh-oleh untuk keluarga selepas bepergian sebagai wujud kasih sayang lantas disimpulkan bahwa kasih sayangnya hanya ketika datang dari perjalanan? Apa kalau ada orang pipis di terminal lantas bisa disimpulkan bahwa dia hanya pipis ketika di terminal saja?
Penarikan kesimpulan semacam ini bukan lagi kesalahan berlogika tapi penyakit kejiwaan. Bawaannya nyinyir terus pada sesama muslim. Mereka pura-pura lupa bahwa peringatan maulid itu setiap minggu ada yang melakukan meski kecil-kecilan.
Acara maulid diselenggarakan di berbagai tempat dengan jadwal yang berbeda-beda. Di pesantren-pesantren dan di desa-desa, banyak yang membaca maulid tiap minggu, bahkan ada yang membacanya seminggu dua kali, biasanya setiap malam selasa dan malam jumat. Itu adalah wujud cinta masyarakat pada Nabi Muhammad.
Kenapa yang dipermasalahkan orang anti maulid hanya yang setahun sekali?
Kemungkinan besar sebab mereka tidak punya hujjah yang cukup kuat untuk mengharamkannya sehingga mereka diam dan pura-pura tidak terjadi apa-apa. Kita tahu bahwa seluruh alasan mereka hanya cocokologi semata, semisal menyama-nyamakan dengan natalan, menyamakan dengan membuat hari ied baru dan sebagainya yang mengada-ada dan tidak terbesit di hati penyelenggara maulid. Kalau mereka mengakui adanya maulidan yang mingguan, maka blunder sendiri.
Sumber FB Ustadz : Abdul Wahab Ahmad
10 Oktober 2022 pada 13.35 ·