Semoga Yang Begini Tidak Banyak...
Sebenarnya masyarakat secara umum sudah cukup dewasa dalam menyikapi perbedaan pendapat termasuk perbedaan Idul Adha tahun ini. Lisan hal mereka berkata: “Selama masing-masing punya dalil berarti tak ada yang salah."
Kedewasaan dan kelapangan dalam melihat perbedaan pendapat ini tentu tak lepas dari taw’iyah dan pencerahan dari banyak Ustadz dan Muballigh yang selalu mengajak masyarakat untuk berlapang dada dalam menyikapi perbedaan.
***
Hanya sayangnya, ada ‘segelintir’ ustadz yang tidak selapang masyarakat awam dalam melihat perbedaan hari raya ini.
Ada yang bersikukuh mengajak masyarakat untuk mengikuti hari Wukuf di Arab Saudi dan menganggap yang berbeda dengan itu sebagai keluar dari ijma', dan ada yang bersikeras menyerukan untuk mengikuti keputusan Pemerintah sebagai Waliyul Amri yang sah. Parahnya, yang terakhir ini sampai memvonis bahwa siapa yang Idul Adha-nya tidak mengikuti Pemerintah (Idul Adha-nya kemarin hari Sabtu, 9 Juli 2022) berarti shalat ied dan ibadah kurbannya tidak sah. Ustadz yang mengeluarkan pendapat ini sempat viral beberapa hari ini.
Pendapat ini bisa saja diterima kalau negara kita memiliki keputusan bersama yang mengikat seluruh elemen masyarakat. Dalam konteks ini, maka mereka yang berbeda hanyalah segelintir orang yang tidak dianggap dan diperhitungkan.
Tapi akan berbeda halnya ketika keputusan Pemerintah dalam hal ini belum mengikat. Dan yang berbeda dengan Pemerintah juga bukan segelintir orang.
Kalau dalam menetapkan 1 Dzulhijjah Pemerintah mengundang para ulama dan pakar ilmu falak yang berkompeten, maka pihak yang berbeda (sebut saja Muhammadiyyah) juga memiliki para ulama dan pakar ilmu falak yang tidak kalah kompetensinya.
Karena itu maka penggunaan hadits :
الصوم يوم تصومون والفطر يوم تفطرون والأضحى يوم تضحون
Menjadi kurang tepat karena menurut Imam Tirmidzi yang meriwayatkan hadits ini, maksud dari hadits ini adalah berpuasa dan berbuka itu bersama orang banyak (عظم الناس).
Untuk konteks negara kita, tidak mudah mengatakan pihak A adalah ‘uzhm an-nas sementara yang lain hanyalah afrad (beberapa orang).
Dengan kata lain, kalau mereka berlebaran hari ini mengikuti keputusan Pemerintahdisebut ‘uzhm an-nas, apakah kemudian yang berlebaran hari kemarin adalah afrad an-nas (beberapa orang saja)? Kita tidak tahu secara pasti mana yang lebih patut disebut sebagai ‘uzhm an-nas.
Tentang kewajiban untuk mengikuti Pemerintah dalam penentuan hilal, sebenarnya tidak sesederhana seperti disampaikan sang ustadz. Ia dengan sangat percaya diri mengatakan: “Semua ulama sepakat kita wajib ikut pemerintah. Kalau tidak maka berdosa.”
Lagi-lagi, saya pribadi menyayangkan para ustadz yang terlalu gandrung menggunakan ‘pisau’ ijma’ untuk ‘membedah’ pendapat-pendapat yang berbeda. Tidakkah ia membaca perbedaan pendapat para ulama tentang orang yang menyaksikan hilal dengan mata kepalanya sendiri tapi kesaksiannya ditolak oleh pemerintah, apakah ia mesti mengikuti pemerintah dan mengabaikan kesaksiannya sendiri ataukah ia tetap berpatokan pada kesaksiannya sendiri? Hal ini bisa dibaca lebih detail dalam kitab-kitab fiqih klasik seperti al Mabsuth, al Majmu', dan sebagainya.
***
Daripada mencoba 'mampatagakkan' pendapat sendiri lalu memvonis pendapat yang lain salah, bukankah akan lebih sejuk dan adem kalau kita ikuti petuah Imam al-Khattabi dalam kitabnya Ma'alim as Sunan :
الخطأ موضوع عن الناس فيما كان سبيله الاجتهاد، فلو أن قوما اجتهدوا فلم يروا الهلال إلا بعد ثلاثين فلم يفطروا حتى استوفوا العدد ثم ثبت عندهم أن الشهر كان تسعا وعشرين فإن صومهم وفطرهم ماض فلا شيء عليهم من وزر أو عنت، وكذلك فى الحج إذا أخطأوا يوم عرفة فإنه ليس عليهم إعادته ويجزيهم أضحاهم كذلك، وإنما هذا من الله سبحانه ورفق بعباده
“Kesalahan 'diangkat' dari sesuatu yang jalannya ijtihad. Kalau ada sebuah kaum berijtihad untuk menentukan hilal tapi mereka tidak melihatnya kecuali setelah genap tiga puluh hari sehingga mereka tidak berbuka sampai sempurnanya bilangan bulan (30 hari), kemudian terbukti bahwa ternyata bulan hanya 29 hari, maka sesungguhnya puasa dan berbuka mereka adalah sah, tidak ada dosa bagi mereka. Demikian juga halnya dalam ibadah haji. Kalau mereka ternyata keliru dalam menentukan hari ‘Arafah mereka tidak mesti mengulang wukuf dan kurban mereka pun juga sah. Ini adalah keringanan dari Allah SWT sebagai bentuk kasih dan sayang-Nya. "
***
Selamat Hari Raya Idul Adha 10 Dzulhijjah 1443 H baik yang bertepatan dengan 9 Juli maupun 10 Juli 2022.
تقبل الله منا ومنكم صالح الأعمال
Baca juga kajian tentang ikhtilaf berikut :
Sumber FB Ustadz : Yendri Junaidi
10 Juli 2022 ·