Haji Tanpa Mina?

Haji Tanpa Mina?

Haji Tanpa Mina?

By. Ahmad Sarwat, Lc.MA

Al-Abbas bin Abdul Muththalib adalah paman Nabi SAW. Saat Nabi SAW melaksanakan ibadah haji di tahun kesepuluh, beliau ikut haji juga. 

Tapi uniknya beliau minta izin tidak ikut seluruh prosesi haji hingga selesai. Memang ketika wuquf di Arafah, beliau ikut serta. Sebab puncak prosesi haji memang wuqufnya. Nabi SAW sendiri yang menegaskan bahwa haji itu Arafah. 

Tapi giliran bermalam tiga hari di Mina, Nabi SAW mengizinkan sang paman untuk tidak ikutan. 

Tahu kah Anda apa alasan sang paman sampai minta izin tidak ikut ke Mina? 

Ternyata alasannya sederhana sekali, yaitu hanya karena khawatir kambing gembalaan tidak ada yang mengurusi, nanti makannya bagaimana, kalau hilang nanti bagaimana, kalau diserang srigala nanti bagaimana. 

Dan anehnya, alasan seperti itu diterima oleh Nabi SAW dan izin pun diberikan. 

Dari situlah kemudian pada ulama sepakat mengatakan bahwa status bermalam di Mina tiga hari itu bukan termasuk rukun haji. Statusnya hanya menjadi 'wajib' haji. Tidak dikerjakan pun tidak mengapa, asalkan bayar denda (dam) seekor kambing. 

Adapun melontar jamarat tetap bisa dilakukan, baik oleh diri sendiri, tapi boleh juga diwakilkan  oleh orang lain yang ditunjuk. 

* * *

Keringanan semacam ini walau pun sangat syar'i dan direstui oleh Nabi SAW langsung, namun  bagi sebagian kalangan dianggap cacat dan sebagai ketidak-sempurnaan ibadah haji. 

Haji kok nggak ke Mina? Haji kok tidak melontar jamarat? Ber-haji kok manja dan tidak mau prihatin? 

Dan banyak lagi komentar nyinyir lainnya yang sering kita dengar. 

Padahal hari ini keringanan yang Nabi SAW berikan kepada sang paman itu justru banyak sekali maslahatnya. Khususnya kita yang hidup di era antrian haji sampai puluhan tahun. 

Bagaimana hubungannya?

Tahu kah anda kenapa anggota negara OKI mengharuskan ada kuota hanya 1 per seribu penduduk muslim yang diizinkan berhaji? 

Alasannya karena teknis menghindari berdesakan jamaah haji. Dimana lokasi yang dikhawatirkan akan terjadi desakan yang membawa maut? 

Apakah di Masjidil Haram Mekkah? Atau di Masjid Nabawi Madinah? Atau di bandara Jeddah?

Bukan, bukan di tempat-tempat itu. Toh tempat-tempat itu bisa diperluas seluas-luasnya. 

Tapi yang amat krusial adalah di tenda-tenda di Mina, khususnya di tempat melontar jamarat. Termasuk di jalan antara lokasi tenda penginapan ke lokasi jamarat dan juga terowongannya juga. 

Tahun 1990 terjadi tragedi Mina, tidak kurang dari 1.400 jamaah haji mati terinjak-injak dalam Terowongan Haratul Lisan. Sebanyak 600 orang di antara mereka adalah jamaah haji asal Indonesia.

Inna lillahi wa Inna ilaihi Raji'un

Maka pembatasan kuota haji menjadi harga mati. Pemerintah Saudi yang pasti akan kena sasaran kesalahan kalau di Mina sampai terjadi apa-apa. 

Maka Visa haji tidak akan diberikan melebihi batas kuota. Tanpa visa resmi, jangan harap bisa masuk wilayah negara Saudi Arabia. Bahkan meski sudah mendarat di Jeddah, tapi kalau visanya abal-abal, tanpa ampun akan diusir, silahkan balik kanan pulang balik ke negara masing-masing. 

***

Lalu ada kah upaya biar kuota haji bisa bertambah? 

Secara teknis kalau jamaah rela tidak semua boleh ke Mina, cukup hanya sebagian kecil saja, maka sesungguhnya ibadah haji tetap sah.

Bahkan ke Arafah untuk wuquf pun tidak harus menginap di tenda-tenda. Sebutlah kasus orang sakit yang di-safari-wuquf-kan, mereka toh cuma naik ambulan, masuk ke batas Arafah lalu lewat sejenak dan balik lagi. Mereka tetap sah ibadah hajinya.

Itu berarti mau ditambah kuotanya sampai dua tiga empat lima kali lipat pun tidak masalah. Wuqufnya gantian. 

Secara hukum fiqih tidak masalah, toh sudah sah. 

***

Lalu apa masalahnya?

Masalahnya adalah pandangan jamaah, khususnya para pembimbing haji, yang menganggap cara haji seperti itu tidak sempurna. 

Padahal secara fiqih tidak jadi masalah. Yang bermasalah sebatas paradigma berpikirnya. Apa-apa harus serba yang paling afdhal, tidak mau diwakilkan ketika melontar jamarat. Tidak mau bayar dam untuk tidak usah ke Mina. 

Padahal nyaris seluruh jamaah pun tidak afdhal juga, ketika mereka tidak menyembelih sendiri kambing dam mereka. Bukankah semua penyembelihan itu diwakilkan? Tidak seorang pun dari jamaah haji yang mengerjakan sendiri penyembelihan itu, bukan?

Padahal bab penyembelihan hadyu disebut berkali-kali dalam Al-Quran. Namun tak seorang pun yang mengerjakan sendiri penyembelihan itu.

***

Jadi sekarang silahkan pilih, masih mau bikin antrian haji sampai 20, 30, 40 tahun bahkan 100 tahun tanpa solusi? Atau mau belajar fiqih haji lagi biar tahu pilihan-pilihannya, ternyata tidak ke Mina pun sah, tidak melontar pun bisa diwakilkan, dan seterusnya. 

Judulnya, yuk ngaji kitab haji lagi.

***

Link Pembelian :

https://www.rumahfiqih.com/buku/1/6

https://shopee.co.id/product/803205613/20816599201...

https://tokopedia.link/NiP6WaNVtrb

Sumber FB Ustadz : Ahmad Sarwat

8 Juli 2022 · 

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Haji Tanpa Mina? - Kajian Ulama". Semoga Allah senantiasa memberikan Ilmu, Taufiq dan Hidayah-Nya untuk kita semua. aamiin. by Kajian Ulama Aswaja ®