Keluarga Kaya Yang Sombong Apakah Wajib Dikunjungi Oleh Keluarga Miskin?
Pertanyaan di atas cukup menggelitik. Kita tahu bahwa secara umum silaturahmi (menyambung ikatan keluarga) itu wajib dan memutusnya adalah dosa besar. Ya, dosa besar bukan sekedar dosa biasa. Sebelum masuk ke pembahasan, perlu diketahui bahwa yang dimaksud keluarga di sini bukan seluruh keluarga besar, satu marga atau satu Bani yang jumlahnya bisa ratusan bahkan ribuan itu tetapi hanya mereka yang termasuk dalam daftar ahli waris menurut pendapat Syafi'iyah, bahkan hanya yang mahram (orang yang haram dinikahi) saja menurut mazhab lainnya. Selain itu tidak wajib silaturahmi tapi sunnah yang pahalanya amat besar. Inilah hukum fikih yang realistis sebab bila batasnya diperluas lebih dari ini maka orang-orang bisa kena dosa besar semua sebab tak mungkin sempat terus.
Tapi bagaimana bila di antara saudara atau keluarga yang wajib dikunjungi dan tetap saling kontak itu ada yang kaya dan sombong suka meremehkan orang miskin, apakah keluarga yang miskin tetap wajib menyambung silaturahmi pada mereka? Bila dianggap wajib tentu saja artinya berdosa besar bila si miskin tidak berkunjung pada si kaya sombong itu. Bagaimanakah ulama fikih menjawabnya?
Jawabannya adalah: Kondisi itu menjadikan si miskin tidak wajib melakukan silaturahmi menurut Ulama Malikiyah. Artinya dia tidak wajib setor muka untuk diremehkan dan direndahkan oleh keluarganya yang memang sombong. Dalam kitab Mausu'ah Kuwaitiyah dinyatakan:
ومِنَ الأْعْذارِ الَّتِي زادَها المالِكِيَّةُ تَكَبُّرُ القَرِيبِ الغَنِيِّ عَلى قَرِيبِهِ الفَقِيرِ، فَلاَ صِلَةَ عَلى الفَقِيرِ حِينَئِذٍ
"Termasuk uzur yang ditambah oleh ulama Malikiyah adalah sikap sombong dari keluarga yang kaya atas keluarga yang miskin, maka tidak wajib atas si miskin bersilaturahmi saat itu".
Sombong di sini adalah kesombongan yang nyata dalam arti dia memang suka merendahkan orang miskin dengan kata-kata atau tindakan yang menyakitkan hati. Kalau hanya menampakkan kekayaan, pakai mobil mewah, rumahnya besar, baju dan asesorisnya mahal dan sebagainya maka itu bukan sombong namanya tapi menampakkan rezeki yang kebetulan lebih banyak dari orang lain. Kadang menampakkan kenikmatan, kesuksesan atau rezeki dianggap sebagai kesombongan oleh orang yang hasud dan iri, ini salah dan bukan yang dimaksud dalam tulisan ini.
Saya, AWA, merasa pendapat ulama Malikiyah di atas lebih realistis daripada pendapat yang tetap mewajibkan si miskin bersilaturahmi dalam kondisi yang akan menyakitkannya itu. Bagi yang tetap mewajibkan silaturahmi meskipun simalakama, maka yang wajib adalah kadar minimal seperti tetap memenuhi undangan walimah, tetap menyapa tatkala bertemu atau tetap berkirim pesan saat lebaran dalam arti haram ikatan persaudaraan diputus sama-sekali. Pendapat ini sebenarnya juga realistis sebab tidak begitu sulit dilakukan. Yang tidak realistis adalah yang tetap mewajibkan bentuk silaturahmi yang lebih dari itu di mana seolah si miskin didosa-dosakan ketika menghindarkan dirinya dan keluarganya dari penghinaan. Ibaratnya sudah jatuh masih dilempar tangga pula.
Hanya saja semua sepakat bahwa tetap bersilaturahmi secara maksimal dalam arti berkunjung dan membawa hadiah, adalah kebaikan yang paripurna. Ini adalah pilihan orang-orang hebat yang dimuliakan oleh Allah. Silakan pilih ini untuk diri sendiri, tapi jangan paksakan pada orang lain.
Lalu bagaimana dengan si kaya itu sendiri? Tentu dia tetap terkena kewajiban bersilaturahmi pada si miskin dan wajib pula membuang kesombongannya. Sebagian ulama bahkan mewajibkan si kaya memberi sesuatu pada si miskin dan tidak dianggap cukup bersilaturahmi apabila hanya berkunjung atau berkirim pesan saja.
Ohya, sebagai tambahan, silaturahmi yang dibahas di sini jangan diwajibkan harus pas di hari lebaran sebab tidak ada aturan semacam itu dalam fikih. Selama masih saling kontak, saling bertemu di berbagai acara, saling sapa meskipun via hape, saling berkirim hadiah, artinya masih bersilaturahmi meskipun barangkali tidak bisa mudik atau bertemu secara fisik pas hari lebaran. Ini perlu saya utarakan sebab ada juga yang membuat aturan baru seolah keluarga yang tidak sempat berkumpul di hari raya adalah pemutus silaturahmi dan telah melakukan dosa besar. Lagi-lagi, ini aturan tidak realistis yang tidak dikenal dalam fikih.
Semoga bermanfaat.
Sumber FB Ustadz : Abdul Wahab Ahmad
8 Mei 2022 pukul 03.25 ·