Perluasan Makna Fi Sabilillah Sebagai Mustahiq Zakat
Pertanyaan :
Salah satu mustahik zakat adalah fisabilillah. Dan sekarang banyak orang yang menafsirkan fisabilillah dengan tafsir yang sangat luas. Seperti untuk membangun lembaga pendidikan Islam, masjid dll. Intinya semua amal yang ada unsur di jalan Allah tidak masalah memakai dana zakat.
Mohon dijelaskan! Berikut dalil pendukungnya. Syukron
Jawaban :
Ust. Ahmad Sarwat, Lc., MA
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Para ulama memang berbeda pendapat tentang makna mustahiq zakat yang satu ini, yaitu fi sabilillah.
Perbedaan ini terpolarisasi menjadi dua, yaitu mereka yang cenderung muwassain (meluaskan makna) dan mudhayyiqin (menyempitkan makna).
Para ulama mudhayyiqin bersikeras untuk tidak memperluas makna fi sabilillah seenaknya. Zakat untuk fi sabilillah harus diberikan persis seperti yang dijalankan di masa Rasulullah SAW dan para shahabat, yaitu untuk para mujahidin yang perang secara pisik.
Sebaliknya, para ulama muwassa'in memperluas maknanya seluas-luasnya.
1. Pendapat Yang Menyempitkan
Jumhur ulama termasuk di dalamnya 4 imam mazhab yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali umumnya termasuk yang cenderung kepada pendapat yang pertama (mudhayyiqin).
Mereka menegaskan bahwa yang termasuk fi sabilillah adalah para peserta pertempuran pisik melawan musuh-musuh Allah dalam rangka menegakkan agama Islam.
Di kalangan ulama kontemporer yang mendukung hal ini adalah Syeikh Muhammad Abu Zahrah.
Perbedaannya bukan dari segi dalil, tetapi dari segi manhaj atau metodologi istimbath ahkam. Yaitu sebuah metode yang merupakan logika dan alur berpikir untuk menghasilkan hukum fiqih dari sumber-sumber Al-Quran dan Sunnah.
Para ulama jumhur mengatakan bahwa para mujahidin di medan tempur mereka berhak menerima dana zakat, meskipun secara materi mereka cukup berada. Sebab dalam hal ini memang bukan sisi kemiskinannya yang dijadikan objek zakat, melainkan apa yang dikerjakan oleh para mujahidin itu merupakan mashlahat umum.
Adapun para tentara yang sudah berada di dalam kesatuan, di mana mereka sudah mendapatkan gaji tetap dari kesatuannya, tidak termasuk di dalam kelompok penerima zakat.
Namun seorang peserta perang yang kaya, tidaklah berperang dengan menggunakan harta yang wajib dizakati dari kekayaannya. Sebagai seorang yang kaya, bila kekayaannya itu mewajibakan zakat, wajiblah atasnya mengeluarkan harta zakat dan menyerahkannya kepada amil zakat.
Adapun bila kemudian dia ikut perang, dia berhak mendapatkan harta dari amil zakat karena ikut sertanya dalam peperangan. Tapi tidak boleh langsung di-bypass. Dia harus bayar zakat dulu baru kemudian menerima dana zakat.
***
Dalam pandangan mereka, kalau pada kenyataannya sudah tidak ada lagi jihad atau perang secara fisik, ya sudah tidak apa-apa. Kita toh tidak diperintah untuk mencari-carikan qiyas dan ijtihad baru.
Kasusnya mirip seperti ashnaf budak yang hari ini juga sudah tidak ada lagi. Tidak perlu juga kita mengada-adakan kembali perbudakan, juga tidak perlu mengqiyaskan budak dengan pembantu rumah tangga.
Intinya, kalau mustahik yang disebutkan dalam Al-Quran itu masih ada, berikan zakat kepada mereka. Tapi ketika satu per satu menghilang ditelan perubahan zaman, ya sudah, tidak usah repot mencari gantinya.
***
2. Pendapat Yang Meluaskan
Sedangkan para ulama kontemporer umumnya cenderung meluaskan makna dan ruang lingkup fi sabilillah. Tidak hanya sebatas para peserta perang pisik, tetapi juga untuk berbagai kepentingan dakwah yang lain.
Di antara yang mendukung pendapat ini adalah Syeikh Muhammad Rasyid Ridha, Dr. Muhammad `Abdul Qadir Abu Farisdan, Dr. Yusuf Al-Qradawi dan masih banyak lagi.
Dasar pendapat mereka juga ijtihad yang sifatnya agak luas serta bicara dalam konteks fiqih prioritas. Sebagaimana kita tahu bahwa lahan-lahan untuk perang fisik nyaris sudah tidak ada lagi.
Untuk itu mereka enggan menghilangkan ashnaf jihad, justru malah menggunakan qiyas yang luas, intinya segala kepentingan di jalan Allah bisa dianggak ashnaf zakat.
Dalam kitab Fiqhuz Zakah, Dr. Yusuf al-Qaradawi menyebutkan bahwa ashnaf fi sabilillah, selain jihad secara pisik, juga termasuk di antaranya adalah:
1. Membangun pusat-pusat dakwah (al-Markaz Al-Islami) yang menunjang program dakwah Islam di wilayah minoritas, dan menyampaikan risalah Islam kepada non muslim di berbagai benua merupakan jihad fi sabilillah.
2. Membangun pusat-pusat dakwah (al-Markaz Al-Islami) di negeri Islam sendiri yang membimbing para pemuda Islam kepada ajaran Islam yang benar serta melindungi mereka dari pengaruh ateisme, kerancuan fikrah, penyelewengan akhlaq serta menyiapkan mereka untuk menjadi pembela Islam dan melawan para musuh Islam adalah jihad fi sabilillah.
3. Menerbitkan tulisan tentang Islam untuk mengantisipasi tulisan yang menyerang Islam, atau menyebarkan tulisan yang bisa menjawab kebohongan para penipu dan keraguan yang disuntikkan musuh Islam, serta mengajarkan agama Islam kepada para pemeluknya adalah jihad fi sabilillah.
4. Membantu para tenaga dai Islam yang menghadapi kekuatan yang memusuhi Islam dimana kekuatan itu dibantu oleh para thaghut dan orang-orang murtad, adalah jihad fi sabilillah.
5. Termasuk di antaranya untuk biaya pendidikan sekolah Islam yang akan melahirkan para pembela Islam dan generasi Islam yang baik atau biaya pendidikan seorang calon kader dakwah/ da`i yang akan diprintasikan hidupnya untuk berjuang di jalan Allah melalui ilmunya adalah jihad fi sabilillah
***
Dengan meneliti karakteristik keduanya, kita bisa memetakan fatwa masing-masing kelompok.
Kalangan yang menyempitkan akhirnya mencoret alokasi dana zakat untuk membangun masjid, madrasah, pesantren, yayasan dan organiasasi dakwah, termasuk juga mencoret honor para tenaga da'i dan para ustadz.
Sebaliknya kalangan yang meluas-luaskan cenderung membagikan zakat kepada mereka semua. Pendeknya apapun proyek yang di jalan Allah, boleh saja dibiayai dana zakat.
Kalau pakai pendapat yang kedua ini, zakat boleh disalurkan buat kebutuhan apa saja. Toh semuanya pasti di jalan Allah. Memang ada aktifitas kita yang tidsk di jalan Allah?
NOTE
Perbedaan ini tidak mungkin dihindari di zaman sekarang ini. Yang dibutuhkan ada keluasan dan keluwesan sikap kita atas perbedaan pandangan.
Sumber FB Ustadz : Ahmad Sarwat
30 April 2022