Ibadah Tanpa Tangisan Hampa
Oleh : Rahmat Taufik Tambusai
Jarang kita menyaksikan jamaah umroh dari negara lain yang ketika melihat ka'bah untuk pertama atau yang kedua beruraikan air mata disertai isakan tangis.
Yang terdengar rata - rata dari lisan mereka hanya berupa ucapan pujian akan kebesaran Allah dengan suara serak serak basah.
Dengan muka khusuk penuh harap, diiringi dengan harapan, pinta dan doa.
Sangat jauh berbeda dengan jamaah dari nusantara, hampir keseluruhan mereka menitikkan air mata pada saat melihat kabah secara langsung.
Sebagian terlihat dengan isakan tangis, seperti keadaan kehilangan orang yang dicintai atau berjumpa dengan sanak keluarga yang sudah lama merantau.
Kemudian perbedaan yang lain, jamaah negara lain dengan percaya diri melangkah maju menuju pelataran kabah untuk ikut iringan gelombang tawaf, hanya bermodal keberanian berputar di sekeliling kabah.
Sedangkan jamaah nusantara hanyut dalam suasana batin haru bagaikan mimpi terpaku sahdu.
Ketika mutawwif mengingatkan untuk melangkah maju sambil membaca zikir dan doa, sambil menyeka air mata dan terbata bata lisan melafaz zikir, mengikuti apa yang diucapkan oleh pemandu.
Tersirat wajah yang ragu, apakah sudah benar yang dilakukan dan apalagi yang akan dikerjakan, kemudian dengan yakin berujar dalam hati, tidak mungkin pemandu salah dalam membimbing kami.
Kemudian disetiap munajat diiringi tetesan air mata, mengalir tanpa henti, terutama kaum ibu - ibu, sedangkan kaum bapak membatin dalam hati, kadang tumpah juga tak terkendali.
Adapun jemaah dari negara lain, pada saat munajat sebagian kecil diantara kaum hawanya menangis serius sambil memuji Allah dengan lisannya, sedangkan jamaah nusantara air mata berderai deras diiringi ucapan lisan yang sangat lirih sayup sayup terdengar, yang lebih terdengar isakan tangis nan pilu.
Dua fenomena ini sangat kontras terlihat di pelataran kabah, entah kebetulan atau hanya pengamatan yang terbatas, dari saya yang menyaksikan.
Atau mungkin alam mempengaruhi sikap dalam beribadah, kita dari nusantara karena alamnya indah, sehingga setiap sesuatu perbuatan terbawa perasaan, sampai dalam hal ibadah.
Sedang negara yang wilayahnya dengan iklim ekstrim, akan mempengaruhi sikap manusianya yang lebih keras, sehingga dalam ibadah tidak terlalu terbawa perasaan, maka ketika beribadah lebih mengedepankan akal, yang menghayati keagungan dan kemuliaan Allah.
Sedangkan yang terbawa perasaan, hanyut dalam merasa bersalah karena betapa banyak nikmat Allah yang diberi, tetapi tidak pandai bersyukur dan bergelimang salah dan dosa.
Maka wajar yang datang dari daerah yang dimanja oleh alam, dengan segala kekayaannya, akan lebih mudah berurai air mata dengan iringan isak tangis yang pilu menyayat hati.
Sedangkan dari wilayah yang tidak dimanjakan oleh alam, agak lebih sulit untuk menitik air mata, karena kerasnya hidup, jikalau pun ia menangis disebabkan merasa lemahnya diri dihadapan kuasa ilahi.
Dan ini hanya pengamatan dari satu sudut pandang, bisa jadi benar dan bisa jadi salah, yang salah adalah yang tidak pernah menangis karena Allah.
Jikalau tidak mampu menangis walaupun sudah berusaha menghayati kekuasan Allah atas diri dan tidak bisa pula terbawa perasaan setelah mengakui kehinaan diri, maka tetap paksakan untuk menangis sampai menetes air mata satu dua butir agar hilang kehampaan diri.
Menangis karena disebabkan kekuasaan ilahi dan kehinaan diri pertanda jiwa yang kuat dan hati yang lembut.
Menangislah sebelum ditangisi dan menangisi, karena hidup ini antara dua saja ditangisi atau menangisi.
Mekah, Selasa 5 April 2022
Yuk umroh, yang minat hubungi kami, promo akhir tahun.
Sumber FB Ustadz : Abee Syareefa
5 April 2022 pada 22.22 ·