ULAMA PANUTAN MERUJUK KEPADA SYARIAT YANG BENAR
Luthfi Bashori
Kewaspadaan umat, khususnya akhir-akhir ini, perlu ditingkatkan secara terus menerus, terutama di kalangan masyarakat awam7 yang banyak menjadi korban, karena ketidakmengertian di bidang ilmu agama.
Seringkali kita dengar adanya penipuan berkedok agama oleh `tokoh agama`. Tentunya `tokoh agama` yg dimaksud di sini adalah `oknum` yang tidak bertanggung jawab.
Maka ekses yang ditimbulkan, adakalanya munculnya aliran baru dengan ajaran yang sebelumnya tidak pernah didengar sama sekali, bahkan sangat berbeda dengan apa yg umumya dipahami oleh masyarakat.
Tidak jarang pula sang oknum secara vulgar mentahbiskan diri sebagai figur seorang Ulama dengan segudang predikat, semisal Kiai, Gus, Habib, Tuan Guru, Buya, Ustadz, dll.
Padahal dirinya tidak mengerti `Alif Bengkong` (sebuah istilah yang digunakan oleh kalangan pondok pesantren sebagai simbul pintar mengaji).
Predikat-predikat tersebut, pada hakikatnya bukanlah hasil `rekayasa` sebuah lembaga resmi pemerintahan maupun lembaga pendidikan. Bahkan pondok pesantren sekalipun, tidak bisa menjamin seluruh alumninya menjadi ulama panutan umat, karena pemberian predikat ini menjadi hak `prerogatif` Allah, selaku penentu tunggal bagi nasib dan kodrat hamba ciptaan-Nya. Yang mana pemberian gelar itu dilewatkan `kesepakatan` masyarakat yang tidak dapat diganggu gugat.
Sering terjadi fenomena di antara para ulama, ternyata mereka tidak tahu dengan pasti, mulai kapan dirinya dipanggil dengan sebutan Kiai, atau Gus, atau Ustadz, dll oleh masyarakat.
Namun ada pula di kalangan ulama yang lebih senang dipanggil dengan sebutan yang umum dipergunakan oleh sesepuh masyarakat seperti panggilan Mbah, Pak, Mas, Kang, Bang, dll. Padahal eksistensi mereka sebagai ulama tidak perlu diragukan.
Realita ini sangat kontradiksi dengan perilaku Sang Oknum pengguna gelar karbitan, yang tidak jarang dalam praktek `ritualnya` sengaja menggaet masyarakat kelas bawah, menengah, bahkan kalangan atas, dengan kemahirannya berdiplomasi dan tutur bahasa yang menarik disertai `bumbu-bumbu` tertentu untuk `menundukkan` calon `mangsa`nya.
Biasanya `ritual` yang diperagakan, tiada lain hanyalah sebagai kedok untuk memuluskan `ambisi` pribadinya. Bisa jadi mencari uang, fasilitas, atau kedudukan.
Runyamnya, banyak masyarakat terperdaya hanya karena melihat penampilan, gaya tutur kata, keberaniannya saat mendekati `calon mangsa`, atau terkadang masyarakat hanya sekedar melihat garis keturunan, tanpa mau menyeleksi secara jeli, benar, dan mendasar tentang hakikat keilmuan dan akhlaq keulamaan Sang Oknum.
Dengan adanya figur oknum semacam ini, maka seringkali `institusi Ulama` berpredikat Kiai, Gus, Habib, Tuan Guru, Buya, Ustadz yang benar-benar original sesuai dengan `rukun dan syarat` -nya, menjadi tercemari.
Hal ini karena masyarakat awam, kadangkala `menggebyah uyah` (menyamaratakan) saat menghukumi pelanggaran etika yang dilakukan oleh Sang Oknum.
Contoh kongkrit, dulu ada seorang mantan petinju, yang badannya dibalut dengan tato, telinga bertindik serta memelihara anjing Herder, tiba-tiba mentahbiskan diri sebagai Kiai atau Gus. Bahkan karena suatu sebab, keberadaannya dibollow up oleh media.
Oknum ini mengajarkan ritual ‘nyelenehnya’ yaitu mengajak para pengikutnya untuk shalat berjamah dengan menggunakan dwi bahasa. Padahal jika ditilik dengan seksama, maka background hidupnya sangat bertentangan dengan `rukun dan syarat` menjadi figur seorang ulama.
Tentu contoh yang semacam ini banyak terjadi di tengah masyarakat, semisal ada seorang yang ahli bilyard bal sodok, bertindik, bercelana ketat, keluar masuk bar cafe, yang tiba-tiba dikenalkan sebagai calon Imam Mahdi versi Nusantara.
Atau ada juga trend 'Imam Mahdi' versi India bernama Alqosim, ajarannya hanya berdasarkan cerita mimpi-mimpi belaka, namun dibollow up oleh pihak-pihak tertentu, hingga dijadikan panutan oleh masyarakat awwam.
Contoh lain adalah adanya sekelompok oknum yang berpemikiran liberal. Mereka menerjemahkan ajaran agama disesuaikan keinginan hawa nafsunya, Sebagai contoh, mereka menganggap khamer atau minuman keras itu halal, jika saat meminumnya tidak sampai mabuk.
Di sinilah para Ulama yang benar-benar waratsatul anbiya (pewaris para Nabi) harus berani dengan tegas menerangkan kepada umat, bahwa tidak semua orang yang di`predikat`kan sebagai Kiai, Gus, Habib, Buya, Ustadz, dll harus diikuti dengan membabi buta, tetapi hendaklah umat Islam cerdas membaca, manakala ada oknum berpredikat Kiai, Gus, Habib, Buya, Ustadz, dll, tetapi mengajarkan `ilmu` yg bertentangan dengan Alquran dan Hadits, serta ajaran para ulama salaf, maka umat harus meninggalkannya, bahkan wajib ikut `memerangi` aqidahnya.
Wallahu a’lam.
baca juga kajian tentang ulama berikut :
- Nabi dan Ulama Salafush Sholeh, Juga Berziarah
- Syaikh Shalih Al-Fauzan Mendustakan Perkataan Ulama
- Ulama Panutan Merujuk Kepada Syariat Yang Benar
- Seri Takwil yang Dilakukan Ulama Salaf
- Hadith Sahih Amalan-Amalan Malam Nisfu Sya’ban Yang Disahihkan Oleh Albani dan Para Ulama Aswaja
Sumber FB Ustadz : Luthfi Bashori
25 Maret 2022 ·