Tidak Faham Bahasa Arab.
Mempelajari bahasa Arab dengan berbagai macam cabangnya merupakan hal yang sangat wajib bagi orang yang ingin mendalami agama Islam. Level pemahaman seseorang akan nash agama diukur lewat barometer kemampuannya dalam bahasa arab. Jika dia masih level awal, maka ilmu lainnya juga masih pada level awal, dst.
Ibnu Jinni dalam Al-Khasais bahkan menuliskan sebuah judul: “Bab: Ilmu Bahasa Arab yang Dapat Menjaga Seseorang dari Salahnya Keyakinan.”
Ibnu Jinni saat menuliskan sebuah bab, gayanya sedikit mirip dengan Imam Al-Bukhari, sama-sama memiliki maksud tertentu. Dalam soalan ini misalnya, Ibnu Jinni ingin mengalihkan perhatian pembaca akan pentingnya belajar bahasa Arab hingga bisa menyentuh ke arah keyakinan.
Dalam bab tersebut, beliau terus terang bahwa ilmu ini sangat penting, dan bahaya jika tidak difahami dengan baik. Alasannya karena dari sekian banyak orang yang tersesat dari pemahaman agama yang bena, rata-rata disebabkan karena minimnya ilmu mereka terhadap bahasa Arab.
Salah satu ulama sastra Andalus; Abu Bakr Muhammad bin Abdul Malik (w. 549 H) yang dikenal dengan Ibnu Al-Sarraj juga sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Ibnu Jinni. Bahkan beliau melihatnya dengan kaca mata yang lebih luas. Dalam pandangan Ibnu Al-Sarraj: semua perdebatan yang ada, dari agama apapun itu, awal mulanya karena tidak ada kesetaraan dalam ilmu bahasa yang dipakai.
Contoh kecilnya saja, jika orang yang belum mengerti apa itu majaz, maka ia akan bersikeras memahami ayat yang menuliskan al-yad atau al-wajh dengan bahasa hakikat yang ia ketahui. Sekeras apapun kita bantah, ia tidak akan terima. Toh dia tidak faham arah yang kita tunjukkan.
Dalam kitab yang sama, Ibnu Al-Sarraj bercerita tentang apa yang ia lihat pada orang yang tidak faham bahasa Arab:
و لقد رأيت جماعة من الفقهاء المتقدمين الذين لم يبلغوا درجة المجتهدين قد تكلموا في مسائل من الفقه فأخطئوا فيها، و ليس ذلك لقصور أفهامهم و لا لقلة محفوظاتهم و لكن لضعفهم في هذا العلم و عدم استقلالهم به.
“Aku pernah melihat sekelompok ahli fiqih yang belum sampai ke tingkatkan mujtahid, mereka bicara tentang masalah fiqih dan kemudian salah dalam menyimpulkan hukum. Sebabnya bukan karena lemahnya pemahaman atau sedikitnya hafalan yang mereka punya, akan tetapi sebabnya adalah karena mereka lemah dalam ilmu ini (bahasa arab) dan tidak pakemnya ilmu tersebut di diri mereka.”
Al-Syatibi dalam kitab Al-'Itisham mengatakan: banyak bicara tentang al-Quran dan Sunnah tanpa pemahaman yang cukup terhadap ilmu bahasa Arab terlalu memaksakan diri –Sedangkan islam jelas melarang untuk memaksa diri melakukan apa yang tidak ia mampu–hingga nanti orang yang seperti ini akan masuk kepada apa yang dikatakan oleh Rasulullah: “jika suatu saat nanti tidak ada lagi orang alim yang tersisa di bumi, maka orang akan mengangkat orang bodoh sebagai guru mereka.”
Karena jika diantara mereka sudah tidak ada yang faham bahasa arab dengan baik, maka mereka akan bertanya kepada orang yang tidak faham, kemudian orang itu akan menafsirkan al-Quran dan Hadits sesuai dengan apa yang inginkan, jauh dari kebenaran.
Oleh karena itu, Al-Imam Muhammad bin Idris Al-Syafi'i rela menghabiskan waktunya selama 20 tahun hanya untuk belajar bahasa Arab, dan beliau berkata: “Aku menghabiskan waktu selama ini agar ilmu tersebut membantuku untuk memahami fiqih.”
Pentingnya bahasa Arab dalam memahami hukum tergambar jelas pada sebuah kisah yang terjadi antara Abu Yusuf, murid dari Imam Abu Hanifah dengan Abu Al-Hasan Ali bin Hamzah Al-Kisai.
Singkat cerita, Al-Kisai bertanya kepada Abu Yusuf, jika ada dua orang yang berkata kepadamu, satu di antaranya mengatakan: (أنا قاتلُ غلامك) dan yang satu lagi mengatakan: (أنا قاتلٌ غلامَك), orang yang mana yang Anda akan jatuhi hukuman pembunuhan?
Abu Yusuf menjawab: “keduanya akan aku jatuhi hukuman pembunuhan.” Al-Kisai dengan cepat menanggapi: “Anda salah, Abu Yusuf!”
Al-Kisai melanjutkan: “Orang pertama yang seharusnya dihukum. Lihat susunan kalimatnya. Itu susunan idhafah yang bertujuan memberikan info bahwa dia telah membunuh seseorang. Sedangkan yang kedua, dia hanya mengungkapkan keinginan bahwa ia ingin membunuh, dan belum melakukan keinginannya tersebut. Bukankah Allah berfirman:
و لا تقولن لشيء إني فاعلٌ ذلك غدا
Bukankah pada ayat tersebut kalimat (فاعل) dibaca dengan tanwin yang menunjukkan bahwa ia baru berencana melakukan suatu, dan belum melakukan hal tersebut?”
Abu Yusuf pun faham dan akhirnya beliau tidak pernah meninggalkan Al-Kisai demi merauk ilmu yang ia miliki. (Kitab Thabaqah Al-Nahwiyin wa Al-Lughawiyyin)
__
Fahrizal Fadil.
Sabtu, 12 Maret 2022.
Sumber FB Ustadz : Fahrizal Fadil
12 Maret 2022 pada 07.17 ·