Salah Kurikulum adalah Awal Bencana
Orang belajar agama Islam sampai ke Barat, kemudian punya kesimpulan aneh yang melanggar ijmak, bahkan rukun Islam dan Iman, sejatinya karena kesalahan kurikulum.
Ini bukan terbatas di Barat saja. Tapi juga terjadi di kampus Islam di Indonesia. Kesalahannya kurikulum. Lebih akuratnya, kurikulumnya gak lengkap, loncat-loncat dan tak bermetodologis.
Serius? Serius! Mari kita bahas.
Dalam dirkursus syariat. Mengapa terlalu semangat membahas ijtihad, sedangkan Fathul Qarib saja belum khatam dan paham? Jauh-jauh mengkritik bab hudud dalam syariat, tapi bab thaharah di awal bab belum dibaca. Padahal hudud itu bab terakhir. Kritik habis bab jihad, tapi membedakan jihad, hirabah dan bughat saja tak bisa. Itu semua karena salah kurikulum. Seharusnya, setelah khatam Fathul Qarib — misal mazhab syafi’i — ya lanjutkan ke Minhaj Thalibin, atau minimal al-Iqna’ deh. Membaca matan Taqrib saja tak tuntas, sudah mengkritik banyak hal seputar hukum fikih. Bukankah ini kecerobohan kurikulum yang menjerumuskan kepada jahil murakkab?
Dalam diskursus teologi. Pelajaran ilmu kalam, malah diktatnya adalah sejarah Ilmu Kalam. Hallooww.. sejarah ilmu itu beda dengan ilmu itu sendiri. Karena ilmu membincang kaedah, definisi, cakupan dan argumentasi.
Apalagi pelajaran sejarahnya dicampur aduk. Belum bisa mengidentifikasikn mana teologi Muktazilah, Asy’ariyah, Mujassimah, namun sudah berbusa-busa menentukan banyak hal.
Ilmu Kalam yang benar selalu terdiri dari 3 ilmu minor yang perlu dipelajari dulu: logika, maqulat dan umur ‘ammah. Baru selanjutnya masuk ke pembahasan inti yang berupa: ilahiyyat, nubuwwat dan sam’iyyat. Parahnya, matan ilmu mantiq semacam Sullam Munawraq saja belum tuntas baca, namun sudah muluk-muluk baca Ilmu Kalam.
20 tahun belajar dari diktat sejarah Ilmu Kalam tak akan menjadikanmu sebagai pakar teologi Islam bro!
Kitab-kitab seperti Kharidah Bahiyyah, Jauharat Tauhid, Sanusiyyat, tuntaskan dulu. Kemudian melangkah ke Thawali’ al-Anwar, Syarah Mawaqif dan Syarah Maqashid.
Terlalu semangat membahas teologi pembebasan, teologi adaptif, teologi lingkungan hidup, dan jenis-jenis teologi lain yang entah darimana dapat wahyu semacam ini. Padahal istilah-istilah itu menunjukkn kebodohan tentang topik ilmu teologi itu sendiri.
Dalam bidang tafsir. Semangat sekali mengulik ayat-ayat yang menurutnya problematis, tapi syarat dasar memahami tafsir saja tak terpenuhi. Sudah membaca ilmu nahwu kitab apa? Sharafnya sudah belum? Balaghah sudah khatam Jauhar Maknun atau Talkhis Miftah belum?
Belum termasuk syarat lain. Harus memahami bahasa Arab. Sudah sering buka kamus as-Shihah? Sudah membaca ushul fikih dengan kitab Waraqat atau selanjutnya Jam’ul Jawamik atau Minhajul Ushul Imam Baidhawi belum?
Yang paling simpel dalam tafsir, paket komplit. Sudah membaca Tafsir Baidhawi belum? Apa sudah mengulik hasyiyah-hasyiyahnya? Padahal tafsir Baidhawi adalah tafsir paling banyak memiliki hasyiyah di muka bumi, menurut para ulama tafsir sepanjang zaman.
Belum lagi diskursus hadits. Mushtalahat Baiquniyyah gak dipelajari. Taqrib Nawawi juga gak kenal. Apalagi Tadribur Rawi.
Belum Kutubussittahnya untuk dirayah hadits. Tapi sudah semangat membaca teori-teori aneh dan absurd sarjana yang gak teruji dan terakui global kapasitasnya.
Semua kerancuan berpikir dalam wacana keislaman disebabkan sejak awal kerancuan kurikulum. Tak metodologis. Tak berjenjang. Tak lengkap. Bahkan salah sasaran. Apalagi kitab-kitab yang tak muktamad.
Selama kurikulum kampus tak diperbaiki, selama itu pula kerancuan berpikir seputar wacana keislaman akan terus muncul dari sarjana modal ijazah kertas itu. Sarjana doang, disuruh mengakses literatur muktamad sesuai bidang, malah mundur.
Semoga kerancuan ini segera berakhir.
Sumber FB Ustadz : Muhammad Nora Burhanuddin
7 Maret 2022 ·