Pemikiran Takfiri Wahabi Dan Perang Senjata Terhadap Masyarakat Sunni
Fenomena gerakan Wahabi di Arab Saudi periode 1-2, memiliki dua dimensi utama:
- Nasyr Fikrah (menyebarkan ideologi)
- Bina' Daulah (mendirikan negara)
Pada dua periode ini, aroma takfir sangat kentara dan bisa dilacak secara jelas pada dua bentuk dokumentasi:
- Rasail para Dai Wahabi, seperti yang ada pada kitab ad-Durar as-Sunniyyah, dan Majmu`ah ar-Rasa'il as-Syakhsiyyah.
- Catatan ahli sejarah pro Wahabi, seperti: Ibnu Ghannam & Ibnu Basyr.
Adapun dalam buku-buku seperti Kitab at-Tauhid, Kasyf as-Syubuhat, atau Utsul at-Tsalatsah, aroma takfir masih samar alias masih sebatas kesan.
Pada dimensi Bina' Daulah, para Umara' Wahabi di fase 1-2 menggunakan beberapa jurus strategi, seperti:
1. Mengirimkan surat-surat berisikan ajaran Tauhid ke berbagai wilayah. Tujuannya, untuk tabligh (menyampaikan) ajaran Tauhid kepada umat Islam di berbagai wilayah.
Surat-surat itu diposisikan sebagai Tabligh ad-Da`wah, yang akan menjadi batu pijakan untuk keputusan selanjutnya.
Jika warga di wilayah penerima surat itu 'ngeyel', maka wilayah itu dinilai sebagai penentang ajaran tauhid, lalu diposisikan sebagai wilayah Kuffar atau Musyrikin. Selanjutnya, siap untuk diperangi dengan senjata.
2. Menanamkan doktrin wajib hijrah ke wilayah kekuasaan Wahabi, bagi siapa saja yang sudah mengetahui dakwah Wahabi dan mengamininya, tapi tidak mampu menampakkan dan mendakwahkannya di tengah masyarakat tempat tinggalnya. Jika tidak hijrah, maka dianggap sama statusnya dengan masyarakat yang tidak mengamini dakwah Wahabi.
Strategi ini akan menambah jumlah anggota dan pasukan di pihak Wahabi serta 'mengacaukan' stabilitas di wilayah yang dianggap penentang dakwah Tauhid.
3. Menerapkan konsep Ghanimah, untuk wilayah penentang yang berhasil dikuasai. Ini tentunya sangat menguntungkan untuk tambahan amunisi dan biaya perang.
Terkait dimensi Nasyr Fikrah, sebenarnya yang diyakini, disebarkan, dan dimanifestasikan oleh Wahabi, adalah kelanjutan dari apa yang diyakini, disampaikan, dan diperjuangkan oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.
Dari sisi Fikrah, sebetulnya antara dua pendakwah ini tidak jauh berbeda. Sama-sama 'ekstrim' dalam persoalan 'Tauhid Uluhiyyah'. Karenanya, penentang dakwah Wahabi juga sebetulnya melanjutkan estafet karya, pemikiran, dan kritikan para ulama yang semasa dengan Ibnu Taimiyah, seperti: Taqiyuddin as-Subki, al-Bakry dan lainnya.
Bedanya, dua tokoh terakhir ini hanya sebatas penyampaian Fikrah minus senjata, karena tidak didukung oleh kelompok bersenjata atau penguasa. Adapun gerakan Wahabi, itu sudah disertakan dengan senjata, alias disokong oleh kelompok bersenjata atau penguasa.
Kalau ditarik ke Nusantara saat ini, gerakan dakwah Wahabi saat ini terlihat masih seperti yang ada di era Ibnu Taimiyah. Hanya fikrah minus senjata atau kekuasaan.
Selain itu, kubu penentang dakwah Wahabi sekarang ini, juga kelanjutan dari estafet para ulama penentang meraka di era Ibnu Taimiyah dan fase awal mula Wahabi. Buktinya, argumentasi kritik, dalil dan referensi yang digunakan, tidak keluar dari apa yang dulu sudah disampaikan oleh para ulama penentang dakwah Ibnu Taimiah dan Wahabi.
Lantas, akankah pergerakan dakwah Wahabi suatu saat di Nusantara ini berubah menjadi seperti yang ada era generasi awal Wahabi, setelah menguasai atau menggandeng penguasa dengan mesra, bak Ibnu Su`ud dan penerusnya berkolaborasi dengan Muhammad bin Abdil Wahhab dan penerusnya?
Tidak ada yang bisa memastikan. Semoga tidak sampai terulang lagi. Amin.
Jika dibiarkan Wahabi membesar dan berkuasa, siap-siaplah merasakan vonis takfir dan diperangi oleh Wahabi dengan senjata! Jika terus dibendung, Wahabi tidak akan besar dan mereka hanya berani taqiyah, seperti Syi'ah.
Sumber FB Ustadz : Alnofiandri Dinar
15 Maret 2022 pukul 07.28 ·