Patut untuk Diapresiasi
Akhir-akhir ini, saya sering diajak sharing seputar masalah metodologi pembelajaran fiqh oleh beberapa teman yang sebelumya tidak atau bahkan (maaf) antipati terhadap mazhab. Ada yang via inbox atau mesengger, ada yang secara khusus bertamu ke rumah, dan ada yang menyempatkan diri hadir di kajian saya. Ada dari kalangan umum, dan ada juga dari kalangan penuntut ilmu, bahkan ustadz. Ada yang di dalam negeri, ada juga yang masih studi di luar negeri. Masya Allah.
Setelah melalui perenungan yang cukup lama, mereka akhirnya menyadari dengan sesadar-sadarnya akan urgensi (pentingnya) bermazhab dengan salah satu dari mazhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali). Terkhusus mazhab imam Syafi’i yang paling banyak dianut oleh kaum muslimin di negara kita, Indonesia. Walau bisa dikatakan agak terlambat, tapi ini merupakan kemajuan yang patut untuk diapresisasi.
Dengan jujur mereka menyampaikan, bahwa dulu, istilah mazhab memiliki konotasi yang negatif. Mazhab identik dengan jumud, kemunduran, taqlid buta, dan kering dari dalil. Tapi setelah mau belajar mazhab lebih mendalam, mereka baru tersadar, bahwa berbagai anggapan mereka tersebut keliru. Dulu, mereka memahami bahwa ijtihad, istinbath, dan istidlal dalam hukum-hukumnya syar’i adalah perkara yang mudah dan mampu dilakukan oleh setiap orang. Tapi setelah mereka mau membuka diri untuk belajar kembali, mereka menyadari bahwa semua anggapan itu salah. Mencukupkan diri dengan madzahib arba’ah dan taqlid kepada ulama mujtahidin merupakan jalan yang paling praktis dan aman.
Syaikh Ali Haidar Khawajah (wafat : 1353 H)berujar :
إنَّ لِلْمُجْتَهِدِ شُرُوطًا وَصِفَاتٍ مُعَيَّنَةً فِي كُتُبِ أُصُولِ الْفِقْهِ، فَلَا يُقَالُ لِلْعَالِمِ مُجْتَهِدٌ مَا لَمْ يَكُنْ حَائِزًا عَلَى تِلْكَ الصِّفَاتِ. وَمَعَ ذَلِكَ فَالْمُتَأَخِّرُونَ مِنْ الْفُقَهَاءِ قَدْ أَجْمَعُوا عَلَى سَدِّ بَابِ الِاجْتِهَادِ خَوْفًا مِنْ تَشَتُّتِ الْأَحْكَامِ، وَلِأَنَّ الْمَذَاهِبَ الْمَوْجُودَةَ، وَهِيَ (الْمَذَاهِبُ الْأَرْبَعَةُ) قَدْ وَرَدَ فِيهَا مَا فِيهِ الْكِفَايَةُ
“Seorang mujtahid memiliki syarat-syarat dan sifat-sifat tertentu yang tercantum dalam kitab-kitab ushul fiqh. Maka tidaklah seorang yang berilmu dikatakan sebagai seorang mujtahid, selama dia belum bisa mengumpulkan seluruh sifat-sifat tersebut. Namun bersamaan dengan hal itu, para fuqaha (ahli fiqh) dari kurun belakangan telah sepakat untuk menutup pintu ijtihad karena khawatir hukum-hukum yang ada akan tercerai-berai. Karena mazhab-madzhab yang ada, yaitu madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) telah datang dengan membawa kecukupan di dalamnya.” (Syarh Majallatil Ahkam : 1/34)
Memperkenalkan metodologi mazhab kepada suatu komunitas atau kelompok yang sudah kadung terdoktrin antipati terhadapnya, merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Butuh kesabaran ekstra, ketelatenan, dan siap menanggung berbagai tudunhan miring. Tapi, seiring berjalannya waktu dan bertambahnya ilmu, metodologi warisan ulama salaf ini sudah mulai diterima dan diakui (di sebagian kecil komunitas, tidak dengan jumhur muslimin yang sejak awal telah bermadzhab).
Tiap waktu bermuculan orang-orang yang tersadarkan akan pentingnya hal ini. Kami optimis, tahun-tahun yang akan datang insya Allah akan semakin banyak lagi.
Ini mereka sudah pada bermadzhab, kalian kapan ?
(Abdullah Al-Jirani)
#madzhab #mazhabempat #bermazhab #mazhabsyafi’i #semuaakanbermadzabpadawaktunya
Baca juga kajian ulama tentang mazhab berikut :
- Buku Fiqih Empat Mazhab
- Perbedaan Madzhab
- Imam Bukhori Pun Bermadzhab
- Para Imam Ahli Hadits Pun Bermadzhab
- Perbedaan Jumlah Takbir Tambahan Shalat Id Antara Madzhab
Sumber FB Ustadz : Abdullah Al Jirani
8 November 2021·